TAJUK

Menunggu Insentif Riset dan Vokasi

Redaksi DDTCNews | Senin, 25 Maret 2019 | 14:19 WIB
Menunggu Insentif Riset dan Vokasi

Ilustrasi. (Foto: nnkpservices.com)

SUDAH sejak lama sebetulnya, berbagai kalangan di Indonesia telah mendesakkan perlunya insentif fiskal atas kegiatan riset dan vokasi oleh perusahaan. Insentif fiskal itu berupa dijadikannya biaya riset sebagai kredit pengurang omzet perusahaan, antara 100%-200%.

Karena selama ini tidak ada insentif itu, kegiatan riset di Indonesia pun tergolong minim, di samping ada faktor-faktor lain yang memang tidak mendukung. Perusahaan pun akhirnya memakai hasil riset dari luar negeri, dan membayar royalti atas penggunaan hasil riset tersebut.

Masalahnya baru kemudian disadari, bahwa besaran royalti yang dibayarkan perusahaan ini terus meningkat tiap tahun, dari Rp44 triliun (2016), Rp46 triliun (2017), dan Rp103 triliun (2018). Apabila hal ini terus berlangsung, tentu ia akan bekerja menggerus penerimaan.

Baca Juga:
Coretax Nyambung dengan Data Perbankan, DJP Rilis Imbauan Soal SPT

Di sisi lain, periset di Indonesia yang mendapatkan royalti juga dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atau 26 dengan tarif bervariasi, 2%-15%. Kebijakan tersebut dengan sendirinya membuat masyarakat semakin enggan menjadi peneliti di Indonesia.

Karena itu, meski terlambat, rencana pemerintah membuat insentif untuk riset harus diapresiasi. Insentif ini akan membendung keluarnya arus dana karena kewajiban pembayaran royalti ke luar negeri. Beberapa negara seperti Singapura, Jepang, Prancis, Jerman, juga sudah melakukannya.

Menurut rencana, kebijakan ini akan diluncurkan setelah Pemilu 2019. Besarannya terbagi menjadi dua, yaitu pengurangan omzet 100% dalam hal hasil riset digunakan untuk berproduksi baik produk baru maupun efisiensi operasi, dan 200% ketika hasil riset itu sudah dipatenkan.

Baca Juga:
Usaha Sektor Panas Bumi, Apa Saja Fasilitas PPh yang Bisa Digunakan?

Sementara itu, untuk pendidikan vokasi, besarannya 100%. Pendidikan vokasi ini dilakukan melalui kegiatan pembinaan dan pengembangan SMK, politeknik, atau balai latihan kerja, melalui penyediaan fasilitas praktik kerja untuk siswa dan pemagangan untuk tenaga pengajar.

Beberapa negara seperti Singapura, Jepang, Prancis, Jerman, juga Uni Eropa, sudah menerapkan kebijakan tersebut. Singapura misalnya, memberlakukan insentif pengurangan omzet 100% untuk kegiatan riset dan bisa ditambah 150% hingga 400%.

Insentif fiskal ini juga bisa menjadi opsi untuk mendukung kebijakan pengembangan sumber daya manusia (SDM) lokal. Perusahaan akan terdorong meningkatkan kualitas tenaga kerja di Indonesia, dengan meningkatkan bujetnya untuk pendidikan vokasi.

Baca Juga:
Kemenkeu Thailand Susun RUU Financial Hub, Ada Insentif Pajaknya

Pemberian insentif ini akan berjalan mulus bila pemerintah memperhatikan tiga faktor. Pertama, kajian manfaat dan biaya. Sudah menjadi rumus dasar setiap pemberian insentif pajak akan menggerus penerimaan dalam jangka pendek. Karena itu, perhitungannya harus cermat.

Kedua, aspek transparansi dalam pemberian insentif. Ini menjadi bagian pertanggungjawaban kepada publik terkait pihak yang mendapat manfaat dari fasilitas fiskal. Ketiga, dukungan administrasi pajak yang mumpuni. Aspek ini penting untuk memastikan insentif banyak dimanfaatkan pelaku usaha.

Ketiga faktor tadi akan bekerja memastikan skema insentif untuk riset dan vokasi ini memang layak diberikan, akuntabel untuk dipertanggungjawabkan, dan laku atau mudah dimanfaatkan perusahaan. Itu yang perlu diingat. (Bsi)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Sabtu, 25 Januari 2025 | 14:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sebanyak 41.150 Unit Rumah Nikmati Insentif PPN DTP pada 2024

Sabtu, 25 Januari 2025 | 12:30 WIB BERITA PAJAK SEPEKAN

Coretax Nyambung dengan Data Perbankan, DJP Rilis Imbauan Soal SPT

Kamis, 23 Januari 2025 | 15:19 WIB KONSULTASI PAJAK

Usaha Sektor Panas Bumi, Apa Saja Fasilitas PPh yang Bisa Digunakan?

BERITA PILIHAN
Senin, 27 Januari 2025 | 11:30 WIB PERDAGANGAN BERJANGKA

Nilai Transaksi Perdagangan Berjangka Komoditi 2024 Naik 29,3 Persen

Senin, 27 Januari 2025 | 10:00 WIB PMK 119/2024

Pemerintah Perinci Objek Penelitian atas PKP Berisiko Rendah

Senin, 27 Januari 2025 | 09:00 WIB KEBIJAKAN FISKAL

Siap-Siap SBN Ritel Perdana 2025! Besok Dirilis ORI027T3 dan ORI027T6

Senin, 27 Januari 2025 | 08:43 WIB LAYANAN PAJAK

Butuh Layanan Pajak? Kantor Pajak Baru Buka Lagi 30 Januari 2025

Senin, 27 Januari 2025 | 08:15 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Pembaruan Objek Penelitian PKP Berisiko Rendah untuk Cairkan Restitusi

Senin, 27 Januari 2025 | 08:00 WIB KOTA PALANGKA RAYA

Bayar Pajak Sudah Serba Online, Kepatuhan WP Ditarget Membaik

Minggu, 26 Januari 2025 | 14:30 WIB PERATURAN PAJAK

Soal DPP Nilai Lain atas Jasa Penyediaan Tenaga Kerja, Ini Kata DJP

Minggu, 26 Januari 2025 | 13:30 WIB PERDAGANGAN KARBON

Luncurkan Perdagangan Karbon Internasional di IDXCarbon, Ini Kata BEI