KEBIJAKAN PAJAK

Mengurai Kontroversi Belanja Perpajakan

Redaksi DDTCNews | Jumat, 31 Juli 2020 | 12:00 WIB
Mengurai Kontroversi Belanja Perpajakan

KETENTUAN hukum di bidang perpajakan umumnya ditujukan untuk meningkatkan penerimaan negara. Kebijakan terkait dengan belanja perpajakan justru sebaliknya.

Awalnya, konsep belanja perpajakan lebih dirancang untuk “menyamakan” kebijakan pengeluaran pemerintah melalui sistem pajak dengan kebijakan pengeluaran pemerintah secara langsung dikarenakan keterbatasan anggaran.

Dalam perkembangannya, belanja perpajakan kerap digunakan untuk mengidentifikasi berbagai jenis kebijakan pajak yang tidak berorientasi pada pendapatan negara. Belanja perpajakan menjadi suatu bentuk “policy gap” yang didesain pemerintah untuk mencapai tujuan nonpenerimaan.

Baca Juga:
Gratis! Download 10 Buku Pajak yang Diterbitkan DDTC

Dikarenakan hal-hal tersebut, kebijakan ini sering kali diintegrasikan pula ke dalam proses penganggaran pemerintahan. Selain untuk memastikan akuntabilitas fiskal suatu negara, laporan atas berbagai jenis belanja perpajakan menjadi bahan evaluasi kebijakan.

Laporan belanja perpajakan akan menunjukkan sejauh mana efektivitas pengeluaran pemerintah melalui sistem pajak tersebut untuk mencapai suatu tujuan, terutama apabila dibandingkan dengan kebijakan yang bersifat nonpajak lainnya.

Meskipun secara konsep tidak terlalu kompleks, penerapannya ternyata tidak sesederhana itu. Setidaknya demikian temuan atas penerapan kebijakan belanja perpajakan yang ditelusuri oleh Mark Burton dan Kerrie Sadiq.

Baca Juga:
DDTC Rilis Buku SDSN UU KUP, PPh, dan PPN Terbaru Versi Bahasa Inggris

Kedua akademisi dari negara Australia itu menjabarkan berbagai catatan kritis mengenai pengelolaan belanja tidak langsung pemerintah tersebut dalam buku berjudul “Tax Expenditure Management: A Critical Assessment” yang diterbitkan pada 2013.

Bagian awal dari buku ini memberikan gambaran mengenai banyaknya perdebatan terkait konsep belanja perpajakan di berbagai negara. Membandingkan besaran belanja perpajakan antara negara satu dengan negara lainnya merupakan sesuatu yang tidak bijak dan tidak sepadan. Hal ini utamanya disebabkan oleh benchmark dan metode estimasinya yang sangat beragam.

Tidak cukup mengulas perbedaan pendefinisian dan konseptual, keduanya juga menemukan fakta-fakta lapangan. Salah satunya adalah penerapan belanja perpajakan justru semakin terdivergensi alih-alih menjadi suatu sistem yang bersifat universal.

Baca Juga:
Menkeu Rilis Pedoman Pembukuan Terbaru di Bidang Kepabeanan dan Cukai

Selain itu, terdapat pula ulasan terkait dengan banyaknya kebijakan belanja perpajakan justru dapat semakin menguntungkan kaum “elit” dan “politis”. Hal ini pada gilirannya membuat belanja perpajakan tidak sesuai dengan tujuan awal ketika kebijakan dirancang.

Meskipun isi buku didominasi pembahasan mengenai permasalahan dan perdebatan belanja perpajakan, kedua penulis sesungguhnya tidak menentang adanya kebijakan ini. Hal ini sebagaimana yang mereka ungkapkan pada bagian penutup, sebagai berikut:

The scale and significance of tax expenditures make them too important to ignore, even if there is no ‘right’ way to identify, analyse and actively manage them.”

Baca Juga:
Soal Daya Saing RI saat Tarif PPN Jadi 12 Persen, Ini Kata Kepala BKF

Kalimat pamungkas tersebut juga mereka lengkapi dengan beberapa rekomendasi yang dapat ditempuh untuk mengurai kontroversi terkait belanja perpajakan. Pertama, menetapkan definisi belanja perpajakan dengan mengacu pada tujuan yang diharapkan. Kedua, melakukan kategorisasi belanja perpajakan yang bernilai negatif – dianggap sebagai belanja tidak langsung – dan yang bernilai positif – dianggap sebagai investasi tidak langsung –.

Ketiga, menetapkan standar mengenai pencantuman keterangan yang terkait dengan transparansi, misalnya penetapan jangka waktu (sunset provision) dan penetapan batas anggaran maksimal untuk suatu kebijakan perpajakan. Keempat, menetapkan standar minimum untuk melakukan analisis kinerja suatu belanja perpajakan.

Kelima, menyusun aturan hukum terkait evaluasi belanja perpajakan secara ex-ante. Keenam, menyusun skema kolaborasi antara pihak-pihak internal yang merancang dan mengevaluasi belanja perpajakan. Ketujuh, mengizinkan pihak independen untuk melakukan penilaian terhadap belanja perpajakan.

Baca Juga:
Alternatif Optimalisasi PPN: Simulasi Ketika Threshold PKP Diturunkan

Dengan berbagai rekomendasi tersebut, buku ini cukup menunjukkan bahwa berbagai kontroversi tersebut sesungguhnya dapat diselesaikan. Sebagai tambahan, para pembaca juga disuguhkan dengan berbagai pendekatan sosiologis-politis untuk menganalisis berbagai permasalahan terkait kebijakan terkait belanja perpajakan.

Buku ini merupakan literatur yang sangat menarik bagi para pemerhati kebijakan pajak yang ingin mendalami lebih lanjut mengenai transparansi fiskal. Tertarik? Silakan berkunjung ke DDTC Library untuk mengulasnya secara langsung.*

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

02 Agustus 2020 | 00:07 WIB

Tax expenditure tentu saja menimbulkan banyak polemik atas eksistensinya, terlebih tax expenditure dalam jangka pendek dapat mengakibatkan potential loss atas pendapatan pajak sendiri terlepas dari berbagai macam urgensi terkait implementasinya baik dilihat dari pajak secara khusus maupun ekonomi makro. Hal terpenting yang harus menjadi perhatian pemerintah adalah bagaimana caranya pemerintah dapat mengupayakan transparansi maupun akuntabilitas tax expenditure itu sendiri dalam rangka mewujudkan good governance, serta dapat mempertimbangkan rekomendasi yang diuraikan dalam buku ini untuk meminimalisir stigma negatif di dalam kontroversi tersebut.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 24 Desember 2024 | 09:12 WIB LITERATUR PAJAK

Gratis! Download 10 Buku Pajak yang Diterbitkan DDTC

Senin, 23 Desember 2024 | 12:00 WIB PMK 104/2024

Menkeu Rilis Pedoman Pembukuan Terbaru di Bidang Kepabeanan dan Cukai

Minggu, 22 Desember 2024 | 08:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Soal Daya Saing RI saat Tarif PPN Jadi 12 Persen, Ini Kata Kepala BKF

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra