KITA tentu masih ingat dengan kesuksesan program pengampunan pajak Indonesia yang dijalankan pada Juli 2016-Maret 2017. Program itu mencatatkan adanya deklarasi harta, baik dalam maupun luar negeri, hingga Rp4.884,26 triliun. Nilai itu setara dengan 35,9% produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2017.
Harta deklarasi yang cukup banyak itu jelas menunjukkan adanya ketidakpatuhan dari wajib pajak (WP), baik disengaja ataupun tidak. Apalagi, mayoritas peserta merupakan masyarakat yang sudah memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Maklum, penambahan WP baru dari program amnesti pajak ini hanya sekitar 48.000 atau 5% dari total peserta 973.426 WP.
Minimnya penambahan WP baru jelas menjadi persoalan tersendiri karena jumlah masyarakat ber-NPWP di Tanah Air ini juga belum optimal. Dalam Laporan Tahunan 2017, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat jumlah WP terdaftar sebanyak 39,15 juta dengan WP terdaftar yang wajib menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) sebanyak 16,59 juta.
Tingginya angka deklarasi harta dari masyarakat yang sudah memiliki NPWP dan melaporkan SPT juga menjadi peringatan baik dari sisi pemerintah maupun WP. Dalam konteks ini, terdapat sinyal masih banyaknya WP yang belum sepenuhnya mematuhi maupun mengikuti tata cara pengisian dan pelaporan SPT. Padahal, berdasarkan Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), setiap WP wajib mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas.
Kekeliruan Pola Pikir
Dalam banyak kasus, terdapat kekeliruan pola pikir (mindset) dan persepsi tentang kewajiban pelaporan SPT. Pelaporan SPT hanya diartikan sebagai pelaporan penghasilan dan pajak terutang. Pelaporan harta yang dimiliki, meskipun diperoleh dari penghasilan yang sudah dikenai pajak, dianggap tidak perlu.
Padahal, Pasal 1 UU KUP mendefinisikan SPT sebagai surat yang digunakan WP untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dalam penjelasan Pasal 3 Ayat (1) UU KUP disebutkan pelaporan SPT memuat empat hal. Pertama, pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu tahun pajak atau bagian tahun pajak.
Kedua, penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak. Ketiga, harta dan kewajiban.Keempat, pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam satu masa pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dalam sistem self assessment, pelaporan harta menjadi salah satu aspek yang krusial. Pelaporan harta akan menjadi acuan bagi DJP untuk menggali potensi penerimaan negara. Selain penggalian, proses pencocokan harta, penghasilan, dan data pihak ketiga selalu dilakukan sebagai dasar pemeriksaan WP. Berpijak dari hal tersebut, perubahan pola pikir dan persepsi tentang pelaporan SPT menjadi aspek yang penting dalam reformasi perpajakan.
DJP sudah mulai menerapkan kewajiban pengisian kolom harta pada pelaporan SPT untuk tahun pajak 2017. Pada tahun-tahun sebelumnya, tanpa pengisian kolom harta, WP tetap bisa menyampaikan SPT secara daring (online).
Era Keterbukaan
Kebutuhan atas informasi mengenai harta WP juga ditopang oleh adanya proyek pertukaran informasi keuangan secara otomatis atau automatic exchange of information (AEoI). Per September 2018 ini, Indonesia telah memulai implementasi AEoI. Dalam UU No.9/2017, data yang dilaporkan dan dipertukarkan adalah identitas pemegang, nomor, saldo atau nilai, serta penghasilan terkait rekening keuangan. Identitas lembaga jasa keuangan juga dicantumkan.
Berdasarkan data Ditjen Pajak hingga 1 Oktober 2018, ada 5.870 lembaga keuangan yang terdaftar. Hingga periode itu, sudah ada 1.809 laporan informasi keuangan dari lembaga jasa keuangan domestik di bidang perbankan, pasar modal, dan asuransi melalui Sistem Pelaporan Informasi Nasabah Asing (Sipina) Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Saat ini, Indonesia telah mengirim informasi keuangan kepada 51 yurisdiksi mitra. Sebaliknya, Indonesia juga menerima informasi serupa dari 58 yurisdiksi mitra.
Sejalan dengan datangnya era transparansi di sektor pajak, perubahan pola pikir dan persepsi tentang pelaporan SPT semakin penting. Masalah ini mungkin tampak sederhana, namun harus mendapat perhatian serius. Sosialisasi dan edukasi juga harus terus dilakukan, termasuk kepada generasi milenial yang dalam beberapa tahun ke depan mendominasi WP di Indonesia.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.