Firyal Arsyi Aliyyah
,MASYARAKAT memiliki keterbatasan mobilitas dalam mengakses berbagai layanan publik, termasuk bidang kesehatan, pada masa pandemi Covid-19.
Peluang tersebut ditangkap pelaku usaha untuk mengadopsi skema layanan kesehatan berbasis teknologi informasi (TI) atau yang dikenal dengan istilah healthtech. Salah satu layanan unggulannya adalah aplikasi telemedicine.
Adapun telemedicine merupakan aplikasi layanan kesehatan yang menjangkau masyarakat melalui layanan telekonsultasi dengan dokter dan pembelian obat secara online, pembuatan janji medis tertentu di rumah sakit, serta inovasi layanan kesehatan lainnya.
E-Conomy SEA 2020 – program penelitian multitahun sejak 2016 yang dilakukan Google, Temasek, dan Bain & Company – melaporkan adanya lonjakan penggunaan healthtech di Indonesia sebanyak 4 kali lipat selama pandemi.
Dari kacamata perpajakan, peningkatan model bisnis baru ini menjadi potensi yang patut dipertimbangkan. Sejauh ini, belum ada peraturan khusus yang didesain untuk mengatur pengenaan pajak terhadap healthtech.
Semua aspek pajak, termasuk pada skema healthtech, masih menggunakan sistem self-assessment. Mengingat kepatuhan wajib pajak di Indonesia belum tinggi, tentu diperlukan upaya ekstra dalam mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor ini.
Untuk dapat mengetahui potensi pajak sektor healthtech, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai pola bisnis dari sektor tersebut serta tantangan kurang efektifnya penjangkauan melalui peraturan pajak konvesional.
Salah satu bentuk layanan dalam aplikasi telemedicine adalah layanan konsultasi dokter secara online. Prinsipnya, tidak ada perbedaan antara konsultasi dokter secara online dan langsung melalui fasilitas kesehatan (faskes) konvensional seperti rumah sakit atau klinik.
Aspek yang membedakan keduanya adalah ketiadaan pertemuan secara fisik. Selain itu, perbedaan lainnya adalah mediator layanan kesehatan bukan lagi faskes, melainkan platform digital bukan klinik atau rumah sakit.
Bagaimana kondisi ini berdampak pada aspek pemajakannya? Dalam praktik secara konvensional, instansi kesehatan rumah sakit atau klinik berperan sebagai pihak pemberi kerja. Mereka merupakan pemotong pajak sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.
Sementara, dalam konsultasi online melalui aplikasi telemedicine, dokter dan penyedia platform adalah mitra yang menghubungkan dengan pengguna. Dalam konteks ini, dokter merupakan tenaga profesional yang memanfaatkan platform untuk memberikan jasa.
Jika mengacu pada sistem self-assesment, dokter diberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan pemenuhan perpajakannya melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh.
Dengan demikian, dokter juga perlu melaporkan penghasilan dari jasa konsultasi melalui aplikasi telemedicine yang dipakai. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran dari para dokter tersebut untuk melaporkannya.
Lantas, apa upaya yang dapat dilakukan pemerintah? Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan menjaring informasi dari penyedia platform aplikasi telemedicine. Data yang disimpan penyedia platform dapat dijadikan data tambahan bagi Ditjen Pajak untuk mengawasi dan menggali potensi pajak para pelaku usaha ekonomi digital.
Pemerintah dapat melakukan penunjukan platform sebagai pemotong pajak meskipun kemungkinan masih belum dapat diakomodasi melalui ketentuan pajak eksisting.
Mekanisme yang dapat diberlakukan adalah atas transaksi pembayaran yang telah masuk ke rekening bank penyelenggara milik platform dapat langsung dipungut/dipotong oleh platform dengan tarif rendah untuk disetorkan ke negara.
Penerapan tarif pemotongan yang rendah dimaksudkan agar tidak menimbulkan resistensi dari pelaku usaha dan tidak berdampak signifikan terhadap patokan harga atas aplikasi telemedicine kepada konsumen.
Penting untuk mengingat healthtech merupakan sektor bisnis yang baru berkembang dan sedang dibutuhkan oleh masyarakat, terutama pada masa kondisi pandemi. RUU KUP juga harus berupaya menjembatani hal ini sehingga ada dasar hukum yang kuat untuk menjadikan penyedia platform sebagai pemotong atau pemungut pajak.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Jawa Timur butuh anak muda seperti Firyaaall🫰🏻
artikel yang sangat menarik
artikelnya mudah dipahami dan bermanfaat banget.
pelayanan publik memang diperlukan aplikasi yang efektif, tepat,dan efisien
Artikel yang luar biasa semoga menjadi titik awal untuk selalu semangat meningkatkan kepekaan dan kepedulian sebagai generasi milenial di era digital
Tulisannya sangat bagus, semoga dapat menambah wawasan dan pemahaman masyarakat luas.
tulisan yang bagus, bagaimana kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi dapat dilaksanakan pada para pelaku telemedicine apalagi sekarang kegiatan tersebut berbasis kewilayahan...
Artikel yang sangat bagus, sesuai dengan kondisi yang terjadi saat ini, Good Job..
ide sangat sabgus , semoga bermanfaat dan pihak" yang berkepentingan terinspirasi dengan adanya artikel ini
Tulisan yang Bagus Firyal....tetep RUU KUP perlu dikawal sehingga perpajakan di Indonesia bisa berjalan aman