LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2020

Mengkaji NIT sebagai Sistem Pajak Alternatif

Redaksi DDTCNews | Kamis, 01 Oktober 2020 | 10:01 WIB
Mengkaji NIT sebagai Sistem Pajak Alternatif

Dwiki Agung Pebrianda, Langkat, Sumatera Utara.

COVID-19 yang melanda Indonesia sejak Maret lalu membawa dan memperbesar masalah yang kita hadapi selama ini. Daftarnya panjang, mulai dari jaringan fasilitas kesehatan, penanganan pandemi, sampai sistem jaminan sosial yang membutuhkan solusi cepat dan tepat dari pemerintah.

Salah satu solusi pemerintah bagi kondisi ini ialah program Bantuan Langsung Tunai (BLT) Rp600 ribu bagi karyawan formal dengan penghasilan di bawah Rp 5 juta. Penerima insentif ini ditentukan melalui database BPJS Ketenagakerjaan selaku badan jaminan sosial bagi para pekerja Indonesia.

Model insentif ini mirip dengan asuransi. Peserta membayar premi ke penyelenggara asuransi dan penyelenggara asuransi membayar klaim ke peserta. Dalam konteks ini, pekerja yang membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan memperoleh penghasilan saat suatu kondisi terpenuhi.

Meski hilangnya penghasilan bukan tujuan BPJS Ketenagakerjaan, mekanisme ini menggambarkan peran pemerintah dalam meringankan beban masyarakat. Bukan hanya menyediakan fasilitas dasar, tetapi juga menjamin penghidupan mereka yang kehilangan penghasilan.

Jika kita telisik lebih lanjut, konsep ini memiliki benang merah dengan konsep pajak. Pembayaran pajak tidak hanya digunakan untuk membiayai pemerintahan, tapi juga dapat digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Pajak dapat membantu masyarakat mencapai keamanan penghidupan.

Ada model jaminan sosial yang menghubungkan tingkat penghasilan masyarakat, jaminan yang diperoleh dan kontribusi pembayaran pajak sebagai alternatif sistem kita sekarang. Salah satu yang populer ialah Negative Income Tax (NIT) yang diusulkan ekonom Amerika Serikat, Milton Friedman.

NIT menggabungkan kewajiban pembayaran pajak penghasilan oleh masyarakat dengan jaminan penghasilan yang diberikan pemerintah. Sistem ini menggunakan sebuah batasan penghasilan yang menentukan apakah seseorang membayar pajak atau menerima penghasilan dari pemerintah.

Selisih antara batasan tersebut dengan penghasilan per bulan akan menjadi dasar perhitungan pajak yang dibayar ataupun penghasilan yang diterima. Selain itu, digunakan juga sebuah tarif untuk menentukan nominal yang dibayar atau diterima tersebut.

Contoh dengan batasan penghasilan Rp5 juta dan tarif 50%, misalnya pada Juli 2020, Tuan X memperoleh penghasilan Rp2 juta. Selisih Rp3 juta dikalikan 50% yang berarti Tuan X menerima Rp1,5 juta. Itu artinya Tuan X berpenghasilan total Rp3,5 juta.

Lalu pada Agustus 2020, Tuan X tidak memperoleh penghasilan sama sekali. Itu artinya Tuan X menerima penghasilan dari negara Rp5 juta dikali 50% = Rp2,5 juta. Ini sama dengan pemerintah menjamin warganya berpenghasilan minimal Rp2,5 juta/bulan jika ikut dalam sistem pajak.

Mekanisme ini seakan menyelesaikan isu terbesar yang selama ini dihadapi otoritas pajak, yakni keengganan membayar masyarakat karena absennya manfaat langsung yang pasti dapat mereka nikmati. Salah satu contohnya ialah belanja infrastuktur.

Infrastruktur dikenal sebagai belanja yang dijagokan dalam kampanye pajak. Sayang, pembangunan infrastuktur tidak dapat dirasakan langsung manfaatnya. Perlu bertahun-tahun hingga seseorang dapat merasakan manfaat jalan tol atau bandara yang dibangun dengan uang pajaknya.

Selain itu, penerima pasti manfaat belanja itu juga sulit diketahui. Warga Kota Medan misalnya, tidak bisa berharap pajak penghasilan (PPh) yang dibayarkannya akan menjadi jalan raya di Medan. Mungkin saja PPh tersebut malah mewujud menjadi bendungan di Konawe, Sulawesi Selatan.

Manfaat Langsung
DI sisi lain, NIT menawarkan manfaat langsung, bukan tak langsung, yakni dijaminnya penghasilan masyarakat yang jatuh di bawah tingkat tertentu. Manfaat ini juga bersifat perseorangan, bukan komunal, sehingga dapat diketahui pasti siapa yang menerima dan memanfaatkannya.

NIT juga menawarkan manfaat langsung dan perseorangan. Penjaminan penghasilan dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh penerima dalam bentuk keamanan penghidupan. Manfaat tersebut juga hanya bisa dirasakan penerima dan tidak tersebar pada orang lain.

Selama ini kita kerap memandang pajak sebagai katalisator pembangunan bangsa sehingga kita berfokus hanya pada nilai kebersamaan dan persatuan. Tapi fokus ini mungkin membuat kita lupa masyarakat bukan hanya makhluk sosial yang berpikir komunal. Kita punya sisi individualistis.

Bagaimana bisa kita mengharapkan partisipasi tanpa memberi kontraprestasi? NIT dapat menjawab pertanyaan ini dengan mewujud sebagai kontrak sosial antara masyarakat dan pemerintah. Kontrak ini jelas dapat mengubah total paradigma perpajakan kita.

Masyarakat mungkin tidak akan lagi memandang pajak sebagai sebentuk kewajiban yang harus dipenuhi, tetapi sebagai sebuah keuntungan yang layak diambil. Kondisi ini dapat menjadi daya tarik rasional bagi masyarakat untuk ikut serta dalam sistem pajak.

Jika kita sudah sampai pada kondisi tersebut, maka pajak bukan lagi perintah dari otoritas kepada masyarakat, melainkan kerja sama antara otoritas dan masyarakat. Semoga pandemi ini dapat menjadi titik awal dalam membangun sistem pajak yang inklusif dan demokratis.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

04 November 2020 | 10:54 WIB

Sebenarnya analogi BLT melalui BPJS Ketenagakerjaan ini tidak pas. Karena pemerintah hanya menyalurkan BLT melalui BPJS. Karena BPJS yang punya data. Sementara, sumber dananya bukan dari iuran BPJS, melainkan dari APBN.

ARTIKEL TERKAIT

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 09:45 WIB LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Memunculkan Fitur Transparansi Pajak di Platform Online Terintegrasi

Jumat, 04 Oktober 2024 | 17:15 WIB LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Menyusun Strategi Jangka Pendek hingga Panjang Peningkatan Tax Ratio

Jumat, 04 Oktober 2024 | 13:48 WIB LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Menggagas Pajak Produk Rekayasa Genetika di Indonesia

Jumat, 04 Oktober 2024 | 11:19 WIB LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Urgensi Penggunaan Pajak untuk Promosi Kesehatan di Indonesia

BERITA PILIHAN