LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2022

Menggagas Perubahan Skema PPh Final: Kompromi Investasi dan Keadilan

Redaksi DDTCNews | Jumat, 09 September 2022 | 14:40 WIB
Menggagas Perubahan Skema PPh Final: Kompromi Investasi dan Keadilan

Dwiki Agung Pebrianda,
Kabupaten Langkat, Sumatra Utara

SISTEM pajak penghasilan (PPh) progresif sebagai salah satu wujud kebijakan publik yang menjadikan Indonesia sebagai negara pro keadilan. Tarif yang bertahap naik sejalan dengan besaran penghasilan merupakan wujud komitmen dari pemerintah untuk berlaku adil membagi beban pajak.

Hal tersebut diperkuat dengan hadirnya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang memuat pelebaran lapisan penghasilan kena pajak dengan tarif 5%, dari sebelumnya Rp50 juta menjadi Rp60 juta. Ada pula penambahan lapisan baru, yakni penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar bertarif 35%

Namun demikian, jika dilihat lebih dekat, Indonesia sebenarnya masih mempunyai banyak ruang untuk meningkatkan progresivitas sistem pajaknya. Salah satu caranya adalah lewat revisi sistem PPh final yang lebih mencerminkan jumlah penghasilan yang diperoleh.

Salah satu pertimbangan adanya PPh final adalah dorongan investasi. Prinsip ini hadir dalam dua bentuk utama. Pertama, penentuan tarif tanpa memperhitungkan keseluruhan penghasilan. Kedua, tarif yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan tarif regular.

Contoh paling umum adalah penghasilan berupa dividen. Penghasilan ini dikenakan tarif flat sebesar 10%, berapa pun nominal total yang diterima oleh wajib pajak. Selain lepas dari tarif progresif, dividen juga dikenakan tarif lebih rendah dari tarif regular yang bisa mencapai 35%.

Implikasinya adalah PPh makin regresif. Mereka yang menerima dividen sebesar Rp10 Juta memang dikenakan pajak yang lebih rendah dibanding karyawan dengan gaji Rp100 Juta. Namun, dividen Rp1 miliar―atau bahkan Rp5 miliar― akan dikenakan pajak lebih rendah dibandingkan gaji Rp 100 Juta.

Jika diperhatikan, mayoritas objek PPh final adalah passive income yang dihasilkan dari kepemilikan aset, seperti dividen saham dan valuasi tanah/bangunan. Kondisi ini secara tidak langsung menguntungkan high net worth individuals (HNWI) karena mayoritas penghasilannya berupa return atas aset.

Namun demikian, keuntungan HNWI bukan hanya soal pungutan, melainkan juga tentang ketertiban sosial. Kelas pekerja yang mayoritas menerima active income berupa gaji dan upah lebih mungkin dikenakan tarif lebih tinggi dibandingkan dengan HNWI yang merupakan golongan jauh lebih berkecukupan. Fenomena ini tentu saja berisiko memunculkan benturan.

PPh Final yang sejatinya disusun dengan alasan mulia berupa dorongan investasi ini malah berisiko berbalik arah menghasilkan regresivitas fiskal dan konflik sosial. Kemudian, kita mungkin bertanya, apakah dua aspek tersebut mutually exclusive? Apakah bisa mempertahankan aspek investasi sekaligus mengurangi dampak regresif?

Batasan Penghasilan yang Kena PPh Final

SALAH satu sistem yang dapat berperan sebagai middle ground adalah penerapan batasan penghasilan yang dikenai PPh final. Batasan ini akan berfungsi sebagai titik kompromi yang memungkinkan dorongan investasi dan keadilan fiskal berjalan dalam koridor yang sama.

Kita ambil contoh batas senilai Rp500 juta. Dengan batas ini, penghasilan yang dapat dikenakan tarif PPh final adalah Rp500 Juta. Jumlah di atas itu masuk perhitungan reguler. Jadi, jika seorang wajib pajak melaporkan penghasilan sebesar Rp800 juta di SPT Tahunan maka Rp500 juta dari penghasilan tersebut dikenakan tarif PPh final dan Rp300 juta sisanya masuk penghitungan tarif reguler.

Kemudian, PPh final yang telah dipotong dapat diakui secara proporsional sebagai kredit pajak. Kredit pajak dapat dihitung dengan membagi penghasilan tarif reguler dengan total penghasilan dikali dengan PPh final yang telah dipotong.

Jika atas penghasilan Rp800 juta tersebut sudah dipotong PPh final senilai Rp200 Juta maka kredit pajak yang dapat diakui adalah senilai Rp75 juta. Nilai ini didapat dari penghitungan sebagai berikut: Rp300 juta/Rp800 juta X Rp200 juta.

Melalui sistem ini, HNWI akan lebih mungkin membayar pajak dengan tarif yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat umum. Di sisi lain, insentif bagi kelas menengah untuk berinvestasi tetap dijaga dengan jaminan tarif di bawah tarif reguler. Kedua hal ini dirasa mampu untuk menempatkan sistem pajak Indonesia ke koridor yang progresif dan berkeadilan.

Sistem tersebut akan membatasi ―bukan menghapus― eksistensi penghasilan yang dikenai PPh final. Sebagai hasilnya, framework hukum yang ada sekarang dapat dipertahankan serta semua insentif dan fasilitas yang ada akan tetap berlaku.

Perubahan batas dan tarif tidak akan bertabrakan dengan ketentuan yang ada karena sistem ini berjalan beriringan, utamanya lewat mekanisme pengkreditan pajak. Fleksibilitas ini pun membuka ruang yang lebih besar bagi otoritas untuk menyesuaikan kebijakan dengan situasi terkini.

Sistem ini diperkuat dengan kemudahan administrasi pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Laporan dan penghitungan tambahan hanya akan berlaku bagi wajib pajak yang memperoleh penghasilan final di atas batas. Selain wajib pajak tersebut, pelaporan SPT Tahunan tetap sama seperti sekarang.

Tentang nilai batas yang pantas dan tepat digunakan, hal tersebut tentu berada di luar jangkauan artikel ini. Namun, yang periu digarisbawahi adalah mekanisme ini memungkinkan terciptanya dua konsep yang sebelumnya bagaikan pisau bermata dua, yakni investasi dan keadilan, secara bersamaan.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:30 WIB KPP MADYA DUA BANDUNG

Ada Coretax, Pembayaran dan Pelaporan Pajak Bakal Jadi Satu Rangkaian

BERITA PILIHAN