Joshua Ivan Winaldy Simanungkalit
,MASIH ada tantangan geopolitik dan krisis ekonomi global di tengah upaya mempercepat pemulihan ekonomi dan kebangkitan kesehatan masyarakat pascapandemi Covid-19. Tantangan itu juga menyentuh aspek ketimpangan dalam masyarakat.
Berdasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2022, ketimpangan Indonesia yang diukur dengan rasio gini berada pada angka 0,384. Performa tersebut meningkat sebesar 0,003 poin dari posisi pada September 2021.
Tidak dapat dimungkiri, meskipun pemerintah telah memberi berbagai fasilitas dan insentif untuk menjaga daya beli masyarakat, ketimpangan antara penduduk kaya dan miskin masih menjadi pekerjaan rumah yang butuh penyelesaian secara tepat dan implementatif.
Terlebih, ada pula penambahan orang dalam kelompok high wealth individuals (HWI) pada masa pandemi Covid-19. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah, terutama dalam konteks konsolidasi fiskal dan optimalisasi pajak penghasilan (PPh).
Berdasarkan pada data Ditjen Pajak (DJP), penerimaan PPh orang pribadi (PPh Pasal 25/29 OP dan PPh Pasal 21) pada 2019 sekitar 11,79% dari total penerimaan pajak nasional. Persentase ini dirasakan masih belum optimal. Apalagi, jumlah orang super kaya di Indonesia diproyeksi mencapai 1.810 orang pada 2026 (Knight Frank Wealth Report, 2021).
Pada saat ini, sebagian besar negara di dunia telah memiliki ketentuan tarif tertinggi dan jumlah bracket yang memadai. Berdasarkan pada data Trading Economics, Pantai Gading menjadi negara yang menduduki peringkat satu atas pengenaan tarif pajak penghasilan pribadi tertinggi sebesar 60%.
Selanjutnya, ada Finlandia (56,95%), Jepang (55,97%), Denmark (55,90%), dan Austria (55%). Indonesia sendiri telah menyesuaikan lapisan penghasilan kena pajak dalam PPh orang pribadi melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dengan tarif tertinggi sebesar 35%.
Di sisi lain, DJP berupaya melakukan integrasi data Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), membentuk unit penanganan pemajakan HWI, serta mengimplementasikan sistem coretax.
Berbagai langkah tersebut ditujukan untuk dapat meningkatkan basis data dan pemetaan wajib pajak orang kaya. Dengan demikian, DJP mampu menggali potensi pajak berdasarkan pada ukuran kepatuhan dan kemampuan wajib pajak.
Mengutip hasil penelitian Tax Policy Centre (Frank, 2015), passive income mendominasi penghasilan orang pribadi di Amerika Serikat yang berpendapatan lebih dari US$10 juta. Sebanyak 50% dari capital gain, 15-20% dari bunga dan dividen, 25% dari penghasilan atas perusahaan pribadi, serta 15% dari gaji atau upah.
Adanya dominasi penghasilan pasif ini tidak terlepas dari jumlah kepemilikan unit aset atau harta yang pada akhirnya memiliki keterkaitan positif pada tingkat pendapatan seseorang (Campbell, 2006; Winters et al., 2009; Mayoux, 2001).
PUSARAN penghasilan pasif di kalangan orang kaya terus menghasilkan pundi-pundi uang, baik dalam bentuk capital gain, penghasilan sewa, bunga, maupun dividen, yang mampu meningkatkan kepemilikan investable asset orang kaya.
Demikian, besarnya komponen penghasilan pasif orang kaya ini perlu mendapatkan perhatian serius. Pemerintah perlu menerapkan mekanisme baru pemajakan yang lebih tepat sasaran dan berkeadilan.
Saat ini, penghasilan pasif di Indonesia dikenakan tarif PPh final secara beragam mulai dari 0,1% hingga 20%. Dalam sudut padang makroekonomi, pengenaan mekanisme tarif ini beralasan, yaitu untuk memperkuat iklim investasi di Indonesia.
Adanya tarif PPh final tunggal berdasarkan pada jenis-jenis penghasilan pasif diharapkan mampu menarik minat para investor dari kalangan masyarakat luas. Namun, terdapat distorsi atas penerapan mekanisme pemajakan penghasilan pasif tersebut.
Distorsi yang dimaksud adalah tidak adanya ruang pemajakan untuk individu yang memiliki status ekonomi lebih tinggi. Kondisi ini mengaburkan kesetaraan pajak di kalangan investor, khususnya bagi individu yang baru memasuki dunia investasi.
Pembaruan mekanisme pemajakan tersebut dapat dilakukan dengan memperhatikan empat aspek perubahan dan perbaikan berikut. Pertama, memperkuat basis data dengan mendorong keterbukaan infomasi wajib pajak orang kaya.
Selain integrasi NIK-NPWP dan penerapan sistem coretax melaui fungsi compliance risk management (CRM), DJP dapat memanfaatkan kerja sama data pihak ketiga, mulai dari lembaga keuangan hingga PPATK. Dengan basis data, makin sedikit ruang bagi orang kaya untuk melakukan penghindaran pajak (tax avoidance).
Kedua, memberlakukan batasan tertentu untuk tarif pajak tertentu. Batasan tertentu diperlukan untuk memberi aturan dan syarat bagi orang kaya yang dapat menggunakan tarif pajak pada tingkatan berbeda.
Batasan tertentu yang dimaksud berupa indikator besaran keuntungan dari penghasilan pasif, jumlah portofolio kepemilikan investable assets, dan proyeksi sustainability (keberlanjutan) dari keuntungan yang diperoleh orang kaya pada masa mendatang.
Dengan diberlakukannya batasan tertentu, selain mampu memberikan aspek keadilan pajak bagi para investor, DJP dapat mengukur tingkat kemampuan orang kaya. Selain itu, DJP juga dapat memberikan sosialisasi dan konsultasi agar penghasilan orang kaya dapat terus berkembang.
Ketiga, membuat tingkatan tarif PPh final berdasarkan pada level wajib pajak orang kaya. Hal ini sejalan dengan penerapan batasan tertentu.
Dengan adanya beberapa tingkatan tarif PPh final, iklim investasi di Indonesia akan tetap terjaga. Dengan demikian, masyarakat luas dapat terus bergiat berinvestasi dan merasakan kesetaraan dalam pengembangan peluang finansialnya.
Keempat, melakukan koordinasi dan komunikasi dengan lembaga-lembaga keuangan, mitra, dan swasta untuk penerapan mekanisme baru pemajakan PPh final ini. Skema withholding tax lebih mudah dan efektif, sehingga tidak mengganggu kemudahan berinvestasi di masyarakat. Regulasi tentu menjadi dasar utama. Selain itu, edukasi perlu terus-menerus dilakukan.
Mekanisme baru pemajakan PPh final ini mampu menjadi latar belakang solidaritas dan dukungan kaum kaya kepada masyarakat marginal yang membutuhkan perlindungan dan bantuan di tengah gejolak ekonomi dan tantangan global.
Demikian, untuk mampu menolong orang lain, orang kaya dapat terus mengembangkan investasi dan penghasilan pasifnya disertai dengan kepatuhan membayar PPh final yang lebih bijak, adil, dan setara. Alone we can do so little, together we can do so much (Helen Keller).
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.