Ilustrasi. Pengunjung memotret koleksi foto-foto situs dan candi di sela-sela peresmian Museum Pawitra di Mojokerto, Jawa Timur, Sabtu (4/6/2022). ANTARA FOTO/Moch Asim/aww.
JAKARTA, DDTCNews - Pemungutan pajak sudah berlangsung di Nusantara sejak ratusan tahun silam. Kerajaan Majapahit yang berkembang pasca-Mataram Kuno dan Airlangga pun menerapkan pungutan pajak kepada rakyatnya. Perekonomian era Majapahit juga makin berkembang setelah penemuan uang sebagai alat tukar.
Dikutip dari buku Jejak Pajak Indonesia Abad ke-7 Sampai 1966 yang diterbitkan Ditjen Pajak (DJP), implementasi pemungutan pajak pada masa Kerajaan Majapahit terekam secara acak dalam kitab Nagarakrtagama (1365), naskah-naskah kuno, dan berbagai sumber prasasti yang dibuat pada masa itu.
Sama seperti Indonesia masa kini, Kerajaan Majapahit pun berjalan sebagai negara agraris dan perdagangan. Pada akhirnya, pengolahan hasil bumi dan perdagangan menyumbang pendapatan yang besar bagi pemerintahan. Pajak tanah pun diatur lebih ketat agar pemanfaatan luasan lahan lebih efektif dan menguntungkan. Bahkan, ada denda bagi pemilik lahan yang menelantarkan tanahnya.
Selain pajak tanah, beberapa jenis pungutan pajak yang diterapkan di bawah pemerintahan Majapahit adalah pajak usaha, pajak perdagangan, pajak kerajinan, dan pajak pemilikan usaha transportasi bisnis.
Kemudian, ada juga pajak atas orang asing yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Kerajaan Majapahit. Pungutan pajak ini bertujuan memberikan perlindungan kepada para pedagang pribumi yang juga menjalankan usaha sejenis dengan pedagang pendatang. Kerajaan tidak ingin usaha yang dijalankan pribumi lantas tergerus oleh pesatnya perkembangan usaha para pendatang.
"Pajak orang asing dikenakan pada warga kilalan. Mereka adalah warga yang berasal dari berbagai negara dan melakukan usaha atau profesi tertentu di Majapahit," bunyi buku Jejak Pajak Indonesia, dikutip Jumat (10/6/2022).
Disarikan dari Prasasti Wurudu Kidul, diketahui bahwa pajak bagi orang asing disebut kiteran. Pajak ini dipungut dari warga pendatang dari luar wilayah Majapahit seperti Jambudwipa, Campa, Cina, Kamboja, Yamana, Goda, Siam, dan lainnya.
Jika disambungkan ke dalam implementasinya saat ini, warga negara asing (WNA) yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam setahun, atau dalam 1 tahun pajak berada di Indonesia dan memiliki niat untuk bertempat tinggal di Indonesia memenuhi kriteria sebagai subjek pajak dalam negeri (SPDN).
Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 18/2021, WNA yang menjadi SPDN hanya dikenakan PPh atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dengan 2 ketentuan yaitu memiliki keahlian tertentu dan hanya berlaku selama 4 tahun sejak menjadi SPDN. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.