LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2019

Mendesain Ulang Kebijakan Pajak untuk Pelapak Online

Redaksi DDTCNews | Rabu, 15 Januari 2020 | 15:24 WIB
Mendesain Ulang Kebijakan Pajak untuk Pelapak Online
Zhafira Sekar Putri
Gambir
, Jakarta Pusat

SELAMA 10 tahun terakhir, penerimaan pajak menjadi momok yang menakutkan bagi Kementerian Keuangan. Di penghujung 2019, penerimaan pajak juga tidak memenuhi target. Hal ini dapat dilihat dari shortfall penerimaan pajak yang mendekati rekor tertinggi sepanjang sejarah.

Salah satu faktor terbesar shortfall tersebut adalah tingginya moral hazard kepatuhan wajib pajak (WP) atau tax morale. Moral hazard ialah jebakan moral yang menjelaskan ketidakjujuran atau kejahatan di bidang tersebut. WP dinilai tidak jujur dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Seringnya WP melakukan penghindaran pajak (tax avoidance) dapat menimbulkan kerugian negara, terutama yang diakibatkan aktivitas shadow economy. Dalam perspektif pajak, sektor yang sukar dipajaki atau hard to tax sector merupakan bentuk shadow economy.

Salah satu sektor itu adalah usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam platform market atau pelapak online. Sektor ini dianggap sulit terdeteksi oleh otoritas pajak karena tidak adanya kejelasan definisi dan juga ukuran yang jelas dari hard to tax sector.

Thuronyi (2013) mengidentifikasi hard to tax sector dalam lima karakter: (a) jumlahnya besar, (b) pendapatannya kecil, (c) tidak mempertahankan pembukuan yang memadai, (d) transaksinya sebagian besar uang tunai, dan (e) dapat dengan mudah menyembunyikan pendapatan.

Penyebab lain tidak tercapainya target penerimaan pajak ialah sistem administrasi yang rumit dan sering berubah, tidak sesuai dengan asas simplicity dan easy of administration. WP yang tidak paham pajak akan memilih tidak memenuhi kewajiban atau memakai jasa konsultan meski harus keluar biaya.

Dengan kondisi tersebut, program dan agenda reformasi pajak perlu menyesuaikan dengan keadaan WP agar dapat meningkatkan efisiensi output, menekan biaya kepatuhan, dan berdaya saing tinggi dengan cara menghadirkan kepastian hukum yang baik.

Desain Kebijakan
TANTANGAN sektor perpajakan Indonesia semakin berat seiring dengan berkembangnya teknologi dan ekonomi yang serba digital. Banyak riset menekankan sistem perpajakan harus bertransformasi dan berubah secara berkesinambungan, menyesuaikan dengan pesatnya teknologi dan digitalisasi.

Revolusi industri 4.0 berimplikasi positif dalam ekonomi digital, seperti pengembangan UMKM melalui perdagangan elektronik. Hal ini mendorong pemerintah meninggalkan cara-cara konvensional untuk memenuhi target penerimaan pajak. Untuk itu, ada paling tidak empat langkah yang diperlukan.

Pertama, mengkaji ulang Peraturan Menteri Keuangan No. 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (e-commerce). PMK ini disahkan pada 31 Desember 2018 dan dianggap sebagai solusi permasalahan hard to tax sector.

Namun, peraturan itu ditarik kembali sehingga kesempatan UMKM melalui platform market kembali tidak memiliki penegasan yuridiksi pemajakan atas ekonomi digital. Pemerintah diharapkan mengkaji ulang PMK 210/2018 dan memberlakukannya bertahap sehingga WP dapat menyesuaikan diri.

Kedua, melakukan digitalisasi perpajakan. Administrasi perpajakan kini sudah digerakkan software robot untuk memproses data secara otomatis ke dalam sistem sesuai dengan kebijakan. Digitalisasi perpajakan ini telah banyak diadopsi oleh beberapa negara, seperti Spanyol dan Inggris.

Ketiga, melakukan integrasi teknologi informasi dengan berbagai pihak demi menghasilkan kesesuaian kegiatan proses bisnis pemajakan digital, serta mengimplementasi Automatic Exchange of Information (AEoI) dengan bank dalam upaya memanfaatkan big data.

OECD mencatat 90 yurisdiksi yang berpartisipasi dalam inisiatif itu, dan kini telah bertukar informasi 47 juta akun keuangan di luar negeri, dengan nilai total sekitar €4,9 triliun. Dalam konteks Indonesia, otoritas pajak mengantongi data sebesar Rp1.300 triliun dari hasil pertukaran informasi tersebut.

Keempat, memberikan apresiasi kepada WP e-commerce dengan kemudahan atau insentif sebagai upaya branding peraturan baru. Perlu dikemas peraturan yang menarik pelaku e-commerce di Indonesia. Kemudahan atau insentif misalnya, dapat dimanfaatkan untuk keperluan ini.

Jika otoritas pajak tidak mengikuti perkembangan tren digital, negara akan mengalami shortfall penerimaan pajak terus menerus. Hal ini menjadi tantangan serius bagi regulator mengingat regulasi perpajakan yang berlaku belum mempertimbangkan efek revolusi digital.

Maka dari itu, diperlukan regulasi yang dapat memberantas hard to tax sector untuk menghadapi perkembangan zaman. Regulasi ini didesain dengan mempertimbangkan big data yang dimiliki DJP dari berbagai pihak dan sistem administrasi perpajakan digital.

Transformasi kebijakan digital akan meningkatkan kinerja DJP seperti penagihan, penegakan hukum dan penerimaan. Sebab, output digitalisasi akan mendeteksi ketidakpatuhan, mempersempit kesempatan tidak patuh, memperluas cakupan pengawasan, dan akhirnya, mempermudah WP.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 12 Desember 2024 | 17:55 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Tunjuk Amazon Jepang Hingga Huawei Jadi Pemungut PPN PMSE

Selasa, 19 November 2024 | 18:30 WIB PENERIMAAN PAJAK

Pemerintah Sudah Kumpulkan Pajak Sektor Digital Hingga Rp29,97 Triliun

Jumat, 18 Oktober 2024 | 15:30 WIB SERBA-SERBI PAJAK

Langganan Platform Streaming Musik, Kena PPN atau Pajak Hiburan?

Senin, 07 Oktober 2024 | 17:00 WIB PENERIMAAN PAJAK

Hingga September, Setoran Pajak Sektor Digital Tembus Rp28,91 Triliun

BERITA PILIHAN