Edy Purwo Saputro
, Sukoharjo, Jawa TengahSECARA teoritis, pajak adalah pungutan oleh negara untuk mendukung pendanaan dalam negeri yang akan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi pembangunan. Persoalannya, pajak itu masih dianggap sebagai beban, bahkan dianggap sebagai biaya tetap dan biaya variabel bagi dunia usaha.
Hal lain yang juga menarik dicermati adalah pajak juga merupakan salah satu aspek yang mendukung daya saing produk. Karena itu, beralasan jika pajak menjadi isu sensitif dan strategis. Kalkulasi pajak yang salah akan berdampak sistemik terhadap negara dan wajib pajak secara berkelanjutan.
Selaras dengan urgensi tersebut, pelaksanaan otonomi daerah dalam 10 tahun terakhir juga tidak terlepas dari bagaimana daerah mendapatkan dana pajak. Intinya bagaimana pajak berkontribusi positif terhadap penerimaan pusat dan daerah tanpa harus membebani wajib pajak.
Karena itu, beralasan jika pada awal pelaksanaan otonomi daerah terjadi problem berkaitan dengan pajak berganda. Pasalnya, regulasi perpajakan di Indonesia memungkinkan terjadinya pajak yang dipungut oleh pusat dan daerah.
Artinya, pajak ganda akan memberatkan dunia usaha dan juga merugikan karena daya saing produk yang dihasilkan akan melemah yang akhirnya menggerus potensi ekspor. Padahal, jika ini berlanjut akan memengaruhi neraca perdagangan dan kemudian APBN.
Persoalan ini sebenarnya bisa dilihat dari 2 sisi. Pertama, dari sisi petugas pajak. Kejujuran petugas pajak menjadi ujung tombak pencapaian target penerimaan. Petugas pajak bisa menjadi oknum yang memberi kesempatan bagi wajib pajak tidak menaati perpajakan, tetapi malah menyiasatinya.
Artinya, peluang menyiasati itu terjadi karena kongkalilong antara oknum petugas pajak dan wajib pajak yang juga berniat nakal. Hal ini dimungkinkan karena celah bermain-main dengan nominal pajak sangat dimungkinkan. Jadi, tinggal bagaimana komitmen dari petugas pajak.
Kedua, wajib pajak menganggap pajak sebagai biaya yang harus dikeluarkan. Karena itu, perlu edukasi berkelanjutan agar menyadari membayar pajak bukan kewajiban, melainkan sebuah bentuk konkret kepedulian terhadap pendanaan pembangunan
Utang Luar Negeri
DALAM ketegangan antara dua perspektif itulah, untuk mengamankan pembiayaan pembangunan, pemerintah terus memupuk utang luar negeri. Utang ini berkaitan dengan ketidakmampuan memacu penerimaan perpajakan untuk untuk mendukung pembiayaan proyek pembangunan nasional.
Data Bank Indonesia menjelaskan jumlah utang luar negeri pada kuartal II 2020 mencapai Rp6.026,8 triliun. Rasionya terhadap produk domestik bruto 37,3%. Akumulasi utang ini harus diwaspadai karena pemerintah telah berkomitmen meningkatkan kemandirian pendanaan pembangunan.
Jika situasinya terus mendesak, ancaman ketidakmandirian itu akan menjadi argumen untuk eksplorasi, intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan. Meski tidak bisa sepenuhnya menjamin, tetapi hal itu akan memaksimalkan penerimaan dalam negeri sehingga mereduksi ketergantungan utang.
Mencermati perbandingan antara target perpajakan dan akumulasi utang dalam APBN, maka di saat pandemi seperti ini jelas pemerintah tidak bisa lepas tangan. Artinya, harus ada strategi dan kebijakan yang dapat memberikan keringanan terhadap wajib pajak di masa pandemi.
Saat ini, pelaku usaha, baik sebagai individu atau sebagai wajib pajak terjerat daya beli yang rendah dan resesi. Bahkan, ancaman pengangguran bukan lagi isapan jempol meski telah ada pemutusan hubungan kerja dan shift pekerja demi sekedar bertahan hidup.
Ironisnya, pandemi ini terus berlanjut hingga beban dunia usaha semakin berat. Konsekuensinya, penerimaan pajak akan terkoreksi dan kemudian berdampak pada tidak tercapainya target pajak di APBN 2020. Keseimbangan utang dan pajak inilah yang patut diwaspadai.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.