Arif Widya Pratomo
,SESUAI dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Indonesia memberlakukan sistem self assesment dalam pemungutan pajak.
Self assessment merupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan kewenangan dan kepercayaan kepada wajib pajak untuk mendaftarkan diri, menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan besaran pajak secara mandiri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Penerapan sistem self assesment di tengah bervariasinya tingkat kesadaran dan kepatuhan wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. Konsekuensinya, Ditjen Pajak (DJP) perlu melakukan kegiatan pengawasan untuk memastikan wajib pajak telah melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Untuk mendukung proses pengawasan yang dilakukan DJP, ketersediaan data pembanding atas pemenuhan kewajiban wajib pajak sangat diperlukan. Tanpa data yang akurat, pelaksanaan pengawasan atas kewajiban perpajakan tidak dapat berjalan secara optimal.
Idealnya, otoritas pajak memiliki akses yang luas terhadap seluruh data atas suatu kegiatan ekonomi wajib pajak. Salah satu gagasan untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan menggunakan single identity number (SIN) sehingga setiap transaksi yang dilakukan wajib pajak dengan mudah teridentifikasi. Namun, sampai dengan saat ini, gagasan tersebut belum terlaksana.
Sebagai salah satu usaha untuk mendapatkan data dari wajib pajak, menteri keuangan telah menerbitkan PMK 228/2017. Sesuai dengan PMK tersebut, instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada DJP.
Namun demikian, keberhasilan pengumpulan data dari ILAP perlu partisipasi dan komitmen agar data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan dapat diterima oleh DJP secara otomatis, elektronik, valid, dan berkelanjutan.
Dalam negera berkembang, keterbatasan data wajib pajak disebabkan tingginya underground economy. Banyak kegiatan ekonomi yang tidak tercatat dan tidak dilaporkan (unrecorded and unreported), termasuk sektor informal yang terlewat dari perhitungan produk domestik bruto (PDB) (Scheineider & Enste, 2000).
Sebagai alternatif solusi atas keterbatasan data yang diperlukan sebagai dasar pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban Wajib Pajak, DJP melakukan segmentasi pengawasan terhadap wajib pajak sebagaimana dijelaskan dalam SE-07/PJ/2020.
Dalam SE tersebut, terhadap wajib pajak yang digolongkan ke dalam wajib pajak strategis dilakukan pengawasan secara komprehensif. Terhadap wajib pajak lainnya dilakukan pengawasan berbasis kewilayahan dengan tools berupa kegiatan pengumpulan data lapangan (KPDL).
Tujuan pengawasan berbasis kewilayahan adalah penguasaan data dan/atau informasi wajib pajak dari seluruh wilayah Republik Indonesia. Untuk memperkuat pengawasan berbasis kewilayahan, jumlah Seksi Pengawasan wajib pajak kewilayahan lebih banyak bila dibandingkan dengan Seksi Pengawasan wajib pajak strategis di KPP Pratama. Perbandingannya 4:1 atau 5:1.
Hal tersebut sesuai dengan KEP-151/PJ/2021. Dengan pengawasan wajib pajak berbasis kewilayahan, wilayah kerja suatu KPP Pratama dibagi habis menjadi zona pengawasan para account representative (AR).
Dengan demikian, AR diharapkan mengetahui dan memahami seluruh data dan/atau informasi baik terkait dengan kegiatan ekonomi maupun mengenai pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak di zona pengawasan tersebut.
Namun demikian, pengawasan wajib pajak berbasis kewilayahan memiliki tantangan. Pandemi Covid-19 yang belum berakhir membuat interaksi langsung dengan wajib pajak sangat terbatas. Selain itu, sumber daya DJP terbatas jika dibandingkan dengan wilayah kerja yang secara geografis sangat luas dan bervariasi.
Untuk itu, pelaksanaan kegiatan pengawasan wajib pajak berbasis kewilayahan perlu dilakukan dengan selective, meticulous, affordable, reliable, dan tax revenue oriented (SMART). Adapun menyangkut aspek selective, pada masa pandemi Covid-19, keselamatan petugas pajak dan wajib pajak menjadi yang utama.
Dalam kegiatan pengawasan kewilayahan perlu selektif untuk menentukan petugas yang akan melakukan KPDL. DJP juga perlu selektif menentikan wajib pajak yang akan dikunjungi atau wilayah kerja KPP yang akan dilakukan pengawasan kewilayahan dengan cara penyisiran. Dengan demikian, risiko penularan dan penyebaran virus Corona dapat dikurangi.
Mengenai aspek meticulous, ketelitian diperlukan dalam kegiatan perencanaan pengawasan wajib pajak berbasis kewilayahan. Kegiatan perencanaan ini bertujuan untuk mengetahui, mengenali, memetakan, serta menentukan prioritas pengawasan wajib pajak berbasis kewilayahan.
Data-data statistik yang terkait dengan kewilayahan perlu dikumpulkan serta disusun secara sistematis dan terstruktur, misalnya dalam bentuk monografi fiskal. Hal ini penting untuk mengetahui daerah-daerah yang potensial untuk diprioritaskan.
Pada masa pandemi Covid-19, selain data-data statistik kewilayahan, pengumpulan data-data secara masal dari internet juga dapat dilakukan untuk memperoleh pengetahuan lebih komprehensif dari wilayah kerja suatu KPP sehingga pengawasan kewilayahan lebih efektif dan efisien.
Kemudian, dalam penentuan prioritas kegiatan pengawasan kewilayahan dan KPDL, otoritas perlu memperhatikan sumber daya dan kemampuan masing-masing unit kerja (affordable).
Selain itu dibutuhkan koordinasi dan dukungan dari pemerintah daerah agar dapat menjangkau wajib pajak lebih banyak. Perlu dipahami, penerimaan pajak merupakan kepentingan bersama. Pemerintah daerah akan menerima Dana Bagi Hasil (DBH).
Selanjutnya, data yang terkumpul dari KPDL diharapkan menjadi data yang dapat diandalkan dan dimanfaatkan (reliable). Oleh karena itu, pelaksanaan KPDL perlu diikuti dengan kegiatan penjaminan kualitas data yang dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Dukungan aplikasi sangat diperlukan agar semua data hasil KPDL, baik data koordinat lokasi, data informasi subjek pajak, data objek pajak, maupun data-data pendukung yang diperoleh di lapangan lainnya, dapat dengan mudah didokumentasikan.
Data-data yang telah terkumpul harus segera dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pengawasan wajib pajak dengan tujuan utama menambah penerimaan pajak (tax revenue oriented). Kegiatan pengawasan untuk wajib pajak yang belum atau sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) seharusnya menjadi kegiatan berkesinambungan.
Penyederhanaan proses administrasi dan birokrasi perlu dilakukan agar data-data yang terkumpul, baik dari wajib pajak yang belum maupun sudah memiliki NPWP, dapat segera terealisasi menjadi tambahan penerimaan pajak. Kegiatan monitoring atas produksi data dan pemanfaatan data perlu dilakukan untuk dapat memastikan data yang terkumpul dapat dimanfaatkan dengan optimal.
Dengan memahami pelaksanaan pengawasan wajib pajak berbasis Kewilayahan pada masa pandemi Covid-19 dan peran aktif dari wajib pajak untuk melakukan kewajiban perpajakannya, penerimaan pajak dari sumber baru diharapkan dapat meningkat.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.