INSENTIF menjadi frasa yang semakin populer belakangan ini. Pemerintah memang mengandalkan kebijakan relaksasi untuk menggairahkan sektor usaha di tengah ketidakpastian perekonomian global. Kebijakan tersebut pada gilirannya diharapkan meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Relaksasi fiskal itu antara lain pembaruan insentif tax holiday, insentif pajak pertambahan nilai (PPN) tidak dipungut atas impor dan penyerahan jasa dan alat angkut tertentu, insentif pengembangan kendaraan listrik dan supertax deduction untuk kegiatan riset dan vokasi.
Pilihan mengedepankan kebijakan insentif dilakukan karena secara praktik lebih mudah diterapkan ketimbang melakukan usaha memperbaiki iklim investasi secara keseluruhan, seperti stabilitas makroekonomi dan penyiapan infrastruktur pendukung (Jun, 2017).
Karena itu, tidak mengherankan jika pilihan insentif merupakan garda terdepan untuk mengakselerasi denyut perekonomian. Faktanya, Indonesia juga tidak sendirian dalam menggelontorkan insentif pajak untuk menarik masuk investasi asing. Negara lain di ASEAN juga melakukan hal serupa.
Sebut saja Malaysia dan Filipina yang melakukan pembaruan sistem pajak dengan memberikan beberapa insentif seperti memangkas tarif pajak penghasilan. Karena itu, evaluasi atas efektivitas pemberian insentif seharusnya menjadi bagian tidak terpisahkan dari kebijakan relaksasi fiskal.
Berkaca pada pengalaman negara lain, kebijakan insentif pajak acap kali menimbulkan distorsi bagi iklim persaingan usaha (Easson, 2004). Sebut saja kasus keberatan Toyota atas pemberian tax holiday dan insentif lain kepada pabrikan mobil asal Amerika Serikat, Ford.
Saat ini, tolok ukur insentif pemerintah baru terefleksikan pada laporan belanja perpajakan. Kebijakan ini baru dimulai 2018. Pada laporan tersebut, estimasi belanja perpajakan 2016 adalah Rp143,6 triliun atau 1,16% dari PDB. Pada 2017, estimasinya menjadi Rp154,7 triliun atau 1,14% dari PDB 2017.
Kini, sesuai dengan Nota Keuangan 2020, nilai estimasi belanja perpajakan 2016 berubah menjadi Rp192,6 triliun atau 1,55% dari PDB. Estimasi 2017 juga naik menjadi Rp196,8 triliun atau 1,45% dari PDB. Sementara itu, estimasi 2018 mencapai Rp221,1 triliun atau 1,49% dari PDB.
Laporan belanja perpajakan yang diumumkan otoritas fiskal tersebut merupakan gambaran awal mengenai segmen masyarakat dan sektor usaha yang menerima manfaat dari kebijakan khusus perpajakan (Kusumawardhani, 2018).
Pijakan Awal
IDEALNYA, laporan tax expenditure ini menjadi pijakan pertama pemerintah untuk melakukan evaluasi kebijakan relaksasi yang sudah digulirkan. Evaluasi tersebut menjadi kunci untuk mengukur seberapa efektif kebijakan pajak menggerakkan perekonomian, khususnya dalam menarik investasi.
Laporan kelompok kerja Open Method of Coordination Komisi Eropa menyatakan setidaknya terdapat empat alasan utama bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi atas implementasi kebijakan insentif pajak.
Pertama, pertimbangan melakukan evaluasi untuk menjawab pertanyaan berapa lama waktu yang dibutuhkan dunia usaha untuk menggunakan fasilitas secara penuh. Kedua, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melihat efek dari kebijakan insentif.
Ketiga, evaluasi untuk menjawab berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menjaring data komprehensif terkait pemberian insentif. Keempat, ketika hasil evaluasi dibutuhkan untuk menjadi landasan dalam penerapan kebijakan lanjutan.
Insentif pajak yang diberikan seyogianya tidak berhenti pada deretan angka dalam laporan belanja perpajakan. Langkah lanjutan pemerintah dinantikan untuk mengukur seberapa manjur jurus insentif pajak dalam mempercepat gerak roda perekonomian nasional.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.