FENOMENA digitalisasi kerap dianggap sebagai bentuk perkembangan terpenting di era revolusi industri yang mampu menjadi pendorong pertumbuhan dan inovasi ekonomi. Di sisi lain, disrupsi ekonomi ini diasosiasikan sebagai ‘tantangan utama’ dalam sistem perpajakan internasional.
Ketika ada banyak pihak yang sangat menantikan adanya konsensus pajak digital untuk mereformasi sistem perpajakan internasional sebagaimana Rencana Aksi 1 BEPS, ada pula pihak yang mempertanyakan konsep yang diinisiasi oleh OECD/G20 Inclusive Framework tersebut. Marcel Olbert salah satunya.
Bersama dengan Christoph Spengel, Marcel Olbert mempertanyakan esensi dari konsep penciptaan nilai (value creation) dalam konsensus pemajakan ekonomi digital. Hal ini mereka bahas dalam makalah ilmiah yang bertajuk ‘Taxation in the Digital Economy: Recent Policy Developments and the Question of Value Creation’.
Pada bagian awal, mereka mempertanyakan konsistensi argumen OECD dalam laporan yang diterbitkan pada 2015. Hal ini utamanya terkait dengan pernyataan OECD bahwa untuk tujuan perpajakan, ekonomi digital tidak boleh dibatasi dengan ekonomi yang bersifat tradisional karena semua model bisnis sesungguhnya telah dan akan terdigitalisasi dalam derajat tertentu.
Padahal, sebagaimana diketahui, dokumen terbitan OECD akhir-akhir ini mulai membatasi cakupan jenis perusahaan yang akan dikenakan pajak digital sebagaimana konsensus bersangkutan.
Lebih lanjut, kedua akademisi berkebangsaan Jerman tersebut juga mengkritisi beberapa kebijakan unilateral yang diklaim berbasis penciptaan nilai di yurisdiksi pasar dan selaras dengan konsep yang diusung konsensus pajak digital, yakni Digital Services Tax (DST).
Di satu sisi, pihak yang mendukung DST berargumen bahwa jenis pajak ini mampu menutup munculnya kesenjangan antara nilai yang tercipta dari adanya partisipasi dan kontribusi pengguna layanan digital dengan kemampuan negara tersebut untuk memajaki entitas bisnis digital. Jarak tersebut muncul dikarenakan tidak adanya BUT berbasis kehadiran fisik.
Di sisi lain, Olbert dan Spengel justru beranggapan pajak ini justru memperjelas batasan untuk memajaki produk dari model bisnis digital tertentu. Dengan kata lain, mereka menyatakan bahwa perlakuan perpajakan untuk sesama ekosistem bisnis digital pun pada akhirnya menjadi semakin tidak setara di tengah berbagai model bisnis yang semakin terdigitalisasi.
Mereka juga kembali mempertanyakan argumen OECD untuk menghapus adanya ’ring-fencing’ antara ekonomi digital dan ekonomi tradisional sebagai sesuatu yang digaungkan dalam konsensus bersangkutan. Ini terjadi saat OECD justru menciptakan adanya ‘ring-fencing’ dalam lingkup internal ekosistem ekonomi digital itu sendiri.
Pada akhirnya, keduanya kembali menekankan pentingnya pemahaman berbagai pihak atas penciptaan nilai dari suatu perusahaan multinasional. Pengetahuan tentang bagaimana nilai dibuat seharusnya menjadi landasan substansial untuk memajaki laba yang dihasilkan oleh model bisnis digital dari suatu perusahaan.
Secara sederhana, hal ini mereka ilustrasikan pula dalam suatu kurva dua dimensi. Ilustrasi tersebut berupa pengelompokkan yang menunjukkan berbagai jenis cara penggunaan data oleh perusahaan serta menunjukkan klasifikasi jumlah nilai tertentu yang akan menghasilkan pendapatan perusahaan (monetize).
Literatur ini dapat memberikan pandangan yang cukup segar terkait perdebatan di tengah koordinasi multilateral untuk mencapai konsensus pajak digital. Namun demikian, literatur ini tampaknya masih mengesampingkan konsep arm’s length principle yang menjadi semakin tidak relevan.
Terlebih, solusi yang mereka tawarkan untuk memperbaiki pemajakan dalam ekosistem bisnis digital hanyalah berupa perubahan di tingkat transfer pricing guidelines di saat restrukturisasi sistem pajak internasional yang tentunya membutuhkan lebih dari itu.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.