MELALUI The Untouchables (1987), film berlatar Prohibition Era (1920-1933) yang diadaptasi dari buku berdasarkan kisah nyata di Amerika Serikat, kita mengenal Eliot Ness yang jago menembak dan tak mempan disogok serta Al Capone yang licin dan suka beramal.
Bersama 10 orang anggota timnya, Ness yang bekerja sebagai penyidik Prohibition Unit di bawah Bureau of Internal Revenue, sebelum berubah jadi Internal Revenue Service/ IRS, sukses membekuk Capone yang menggelapkan pajak dari bisnis minuman keras yang saat itu dinyatakan ilegal.
Capone sendiri adalah tokoh berpengaruh di Chicago, terutama karena aktivitas filantropi dan komentarnya yang menarik perhatian media. Dengan pengaruhnya itu, ia juga memiliki posisi terhormat di kalangan mafia Italia yang berbagi wilayah kekuasaan peredaran miras di AS.
Ness ditunjuk menggulung kerajaan bisnis Capone yang berbasis di Chicago karena nyaris semua polisi lokal dan federal yang bertugas di kota itu ternyata sudah terkena sogok atau ancaman dari Capone, termasuk para politisi, jaksa, bahkan hakim serta para saksi dan juri di pengadilan.
Dari penyidikan Ness dan timnya itulah akhirnya Capone bisa masuk penjara dengan pasal-pasal penggelapan pajak, tidak dengan pasal pembunuhan, penculikan, penyuapan, pencurian, pengrusakan properti, dan seterusnya seperti yang biasa dilakukan mafia-mafia waktu itu.
Dari kisah ini pula kemudian istilah money laundering populer, karena memang Capone mengakuisisi banyak kios binatu untuk menyamarkan penghasilannya dari bisnis miras guna mengakali kewajiban pajaknya, sekaligus menjadikan kios laundry itu sebagai titik distribusi mirasnya.
Kisah Ness dan keberhasilan tim The Untouchables-nya itu lalu menginspirasi banyak negara, sebagai contoh yang menunjukkan bagaimana seharusnya para penyidik pajak bekerja, saat aparat penegak hukum yang lain kedodoran tak berdaya, apakah karena diancam, disuap, dan seterusnya.
Di Filipina misalnya, di awal pemerintahannya Presiden Benigno Aquino III memerintahkankan aparat penegak hukumnya menjaga para penyidik pajak yang mengejar penggelap pajak sebagai bagian dari program antikorupsi yang turut mengantarkannya ke Istana Malacanang.
“Kami akan kejar semua kelompok kepentingan yang mencoba mempertahankan praktik penggelapan pajak,” katanya padatahun 2011 dalam satu wawancara. “Al Capone itu dipenjara karena pasal-pasal penggelapan pajak, bukan pembunuhan atau korupsi. Ini luar biasa.” (sfgate.com, 18/8/2011)
Lalu bagaimana jika di Indonesia, draf revisi UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), mengambil inspirasi dari kisah The Untouchables itu antara lain, untuk memperkuat kewenangan penyidik pajak?
Tiga Kewenangan
PALING tidak ada tiga kewenangan baru yang diberikan draf UU KUP tersebut kepada penyidik pajak, yaitu kewenangan menyita barang (harta), kewenangan menangkap, dan menahan. Kewenangan menyita harta terdapat pada Pasal 100 ayat (2) huruf f:
“Dalam melaksanakan Penyidikan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Penyidik Pajak berwenang: melakukan penyitaan terhadap barang yang diduga berkaitan dengan Tindak Pidana Pajak dan/ atau barang sebagai jaminan atas pelunasan Kerugian Keuangan Negara di Bidang Perpajakan.”
Adapun, kewenangan menangkap dan menahan terdapat pada Pasal 100 ayat (2) huruf m: “Dalam melaksanakan Penyidikan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Penyidik Pajak berwenang: melakukan penangkapan dan/ atau penahanan.”
Pokok Kewenangan
UU KUP
Draf RUU KUP
Menangkap
Tidak ada
Ada
Menahan
Tidak ada
Ada
Membawa senjata api
Tidak ada
Tidak diatur
Menyita barang (harta)
Tidak ada
Ada
Menangkap tangan*
Tidak diatur
Ada, dimiliki semua pegawai DJP
Menghentikan penyidikan**
Ketr: * Untuk tindak pidana yang terkait dengan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/ atau bukti pembayaran yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; ** Untuk kepentingan penerimaan negara. Sumber: Draf RUU KUP & DDTC Research, 2016.
Lalu apakah dengan penambahan tiga kewenangan itu penyidik pajak akan dibekali pistol sebagai alat pembantu pelaksanaan kewenangan sekaligus perlindungan diri? Meski draf UU KUP tidak menyebut ada pembekalan pistol, peluang untuk mengaturnya dalam ketentuan turunannya kelak jelas terbuka.
Apabila dicermati secara menyeluruh, keinginan memperkuat kewenangan penyidik tentu tidak datang dari ruang hampa. Harus diakui, berbagai kasus pidana pajak selama ini gagal diselesaikan antara lain akibat tidak adanya kewenangan penyidik untuk menangkap, menahan dan menyita.
Paling tidak ada tiga hal pokok yang melatari keinginan memperkuat kewenangan penyidik pajak. Pertama, penyidik pajak tak bisa langsung melakukan penangkapan saat menemukan pelaku tindak pidana perpajakan, atau saat sedang terjadi tindak pidana perpajakan.
Sesuai dengan ketentuan yang ada, penyidik pajak harus meminta bantuan polisi untuk melakukan penangkapan. Masalahnya, saat bantuan penangkapan itu telah diperoleh, para pelaku tindak pidana tersebut telah melarikan diri dan bukti-bukti tindak pidana tersebut juga telah dihilangkan.
Kedua, penyidik pajak tidak dapat langsung melakukan penyitaan terhadap barang atau harta milik wajib pajak yang diduga berkaitan dengan tindak pidana perpajakan dan/ atau sebagai jaminan atas pelunasan kerugian keuangan negara di bidang perpajakan.
Masalahnya, wajib pajak yang telah divonis bersalah oleh pengadilan karena melakukan tindak pidana perpajakan dan menyebabkan kerugian pada pendapatan negara, telah menjual terlebih dahulu harta kekayaannya selama proses hukum berjalan. Akibatnya, kerugian itu tidak dapat dikembalikan.
Ketiga, dalam melaksanakan tugasnya, penyidik pajak memiliki risiko untuk berhadapan dengan situasi yang membahayakan keselamatan jiwanya. Karena itu, untuk melindungi penyidik, di samping mendapat bantuan polisi, kewenangan untuk membekali penyidik dengan senjata api perlu dibuka.
Bagi penyidik sipil (non-polisi/ jaksa), kewenangan menangkap, menahan dan menyita ini sebetulnya bukan hal baru. Memang, hal tersebut tidak berlaku menyeluruh. Sebagian penyidik sipil hanya punya kewenangan menyita tanpa menangkap dan menahan. Sebagian lain tak memiliki keduanya.
Penyidik lingkungan atau perikanan misalnya, berhak menangkap, menahan dan menyita. Ini diatur Pasal 94 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal 73A UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Sebaliknya, penyidik sipil di bidang telekomunikasi atau penyidik di bidang perbankan hanya memiliki kewenangan menyita, seperti diatur Pasal 44 ayat (2) UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Pasal 49 ayat (3) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Penambahan kewenangan menangkap, menahan, dan menyita bagi penyidik pajak tentu juga akan memengaruhi pola dan relasi posisi tawarnya terhadap polisi dan jaksa, mengingat konstruksi UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menempatkan penyidik sipil secara subordinatif.
Pola relasi antara penyidik pajak dan polisi-jaksa ini jelas akan sangat memengaruhi hasil sekaligus efektivitas penyidikan. Kasus penersangkaan para penyidik pajak Kanwil DJP Jambi-Sumatera Barat oleh polisi lokal beberapa waktu lalu adalah contoh bagus bagaimana ketegangan relasi ini terjadi.
Saat itu, perusahaan yang disidik pajaknya melaporkan para penyidik pajak ke polisi dengan tuduhan pemalsuan surat, penggelapan, perbuatan tidak menyenangkan, dan kejahatan jabatan. Atas laporan tersebut, polisi pun memeriksa penyidik pajak yang diadukan, dan menetapkan status tersangka.
Kasus ini akhirnya diselesaikan Mabes Polri dan Ditjen Pajak. Penyidikan perkara itu lalu dihentikan dengan diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan. Menariknya, saat kasus itu terjadi, sudah ada kerja sama (MoU) penindakan kejahatan perpajakan antara DJP dan Polri.
Korupsi & Kontraproduktif
ARGUMENTASI mengenai pentingnya penambahan kewenangan bagi penyidik pajak itu tentu bisa diperdebatkan. Sudah jamak terjadi, di semua negara yang tingkat kepastian hukumnya bermasalah, penambahan kewenangan, juga diskresi, seringkali hanya berarti bertambahnya peluang korupsi.
Dalam perspektif ini, alih-alih meningkatkan penegakan hukum di bidang perpajakan, bertambahnya kewenangan bagi para penyidik pajak justru berisiko membuat praktik suap dan pemerasan pajak kian subur dan mahal, seperti yang beberapa kali terungkap ke permukaan.
Kasus korupsi yang dilakukan penyidik pajak Eko Darmayanto dan M. Dian Irwan Nuqisra oleh PT The Master Steel, PT Delta Internusa, dan PT Nusa Raya Cipta misalnya. Kedua penyidik tersebut divonis masing-masing pidana 9 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan.
Dalam kasus ini juga terungkap bagaimana polisi dan jaksa ikut menikmati uang suap itu. Contoh lain, kasus pemerasan oleh penyidik pajak Pargono Riyadi kepada PT Asep Hendro Racing Sport. Pengadilan Tipikor memvonis Pargono 4,6 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan.
Di sisi lain, praktik penyidikan pajak yang terlalu keras dan tanpa ampun juga bisa kontraproduktif. Eksodus besar-besaran para musisi terkenal Inggris yang terjadi setelah pemerintah menerapkan pajak penghasilan progresif pada 1965 bisa jadi ilustrasi bagus bagaimana akibat seperti itu terjadi.
Dengan aturan PPh progresif itu, tarif PPh untuk layer dan bracket tertinggi membubung jadi 83%, dan mereka yang berpenghasilan di atas bracket tersebut terkena tambahan 15%. Akibatnya, mereka, termasuk para musisi yang berpenghasilan di atas bracket tertinggi itu pun memilih hengkang.
Segera setelah penyidikan pajak dilakukan untuk menegakkan aturan itu, seluruh personel The Beatles pindah dari Liverpool ke AS. Mick Jagger dan seluruh awak The Rolling Stones mengungsi ke Prancis, menyusul Rod Steward yang terbang ke Los Angeles dan David Bowie yang bersembunyi di Swiss.
Praktik penyidikan pajak yang terlalu keras ini mungkin saja dilakukan di Indonesia. Tapi dengan melihat rasio pemeriksaan pajak yang begitu rendah—sebagai langkah awal dilakukan penyidikan—rasanya hampir tidak mungkin melihat ada penyidikan yang masif dalam waktu dekat.
Tapi yang pasti, tanpa adanya kasus-kasus suap dan pemerasan yang melibatkan para penyidik pajak tadi, niscaya lebih mudah bagi DJP untuk meyakinkan DPR, bahwa penambahan kewenangan penyidik pajak diperlukan untuk memperkuat penegakan hukum di bidang tindak pidana perpajakan. (*)
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.