DALAM mendukung aktivitas bisnisnya, suatu perusahaan dapat bergantung pada kemampuan internalnya sendiri dengan menghasilkan laba atau mencari pendanaan dari eksternal baik melalui utang maupun modal.
Apabila diputuskan perusahaan perlu mendapatkan dukungan dana eksternal, dalam menentukan sumber pendanaan itu perusahaan harus memahami implikasi perpajakannya. Hal ini dikarenakan pemilihan sumber pendanaan dapat berpengaruh signifikan terhadap jumlah penghasilan yang dilaporkan untuk tujuan perpajakan.
Sebuah perusahaan harus dapat menentukan sumber pendanaannya apakah dari modal atau dari utang. Alasannya, harga yang harus dibayar untuk masing-masing pilihan perlu diukur kerugian dan keuntungannya (Henshall, 2013).
Pemilihan sumber pendanaan melalui utang seringkali menimbulkan masalah dari sisi perbandingan antara tingkat utang yang lebih tinggi dan modal yang dimiliki. Kondisi ini dikenal dengan istilah thin capitalization.
Secara umum, thin capitalization terjadi apabila perusahaan lebih banyak mendapatkan pendanaan dari pinjaman pemegang saham dibandingkan dengan pendanaan dari investasi dalam bentuk saham (Green, 2008).
Thin capitalization secara bersamaan juga dapat meningkatkan biaya bunga pinjaman yang dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan dalam perhitungan pajak penghasilan badan bagi perusahaan.
Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam BEPS Action 4 Final Report terkait dengan Limiting Base Erosion Involving Interest Deductions and Other Financial Payments (BEPS Action 4) yang dikeluarkan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), yaitu bahwa penggunaan utang diidentifikasi sebagai salah satu metode yang dapat memfasilitasi praktikpenggerusan basis dan pergeseran laba (base erosion and profit shifting/BEPS).
Terdapat dua pendekatan yang direkomendasikan oleh BEPS Action 4 untuk membatasi biaya bunga pinjaman yang dapat menjadi pengurang (interest limitation rule), yaitu fixed ratio dan group ratio.
Fixed ratio membandingkan biaya bunga terhadap laba sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi (earnings before interest, tax, depreciation and amortization/EBITDA). Perbandingan rasio yang direkomendasikan oleh OECD adalah berkisar antara 10% hingga 30% dari EBITDA perusahaan.
Sementara itu, group ratio digunakan oleh perusahaan multinasional di industri tertentu yang cenderung memiliki rasio utang yang tinggi jika dibandingkan dengan perusahaan multinasional yang bergerak di industri lain.
Group ratio memungkinkan perusahaan untuk mengurangkan biaya bunga hingga tingkat rasio biaya bunga bersih terhadap EBITDA dari grup usaha secara keseluruhan. Jadi, selama rasio biaya bunga terhadap EBITDA suatu perusahaan tidak melebihi rasio biaya bunga terhadap EBITDA dari grup perusahaannya, biaya bunga tersebut dapat menjadi pengurang.
Pendekatan lain yang dapat dilakukan untuk membatasi biaya bunga adalah melalui pendekatan arm’s length dan debt to equity ratio (DER). Pendekatan arm’s length akan membandingkan struktur permodalan maupun struktur biaya bunga terhadap EBITDA dengan kondisi perusahaan lain yang independen. Di sisi lain, DER sejatinya juga merupakan pendekatan fixed ratio, tapi dengan menggunakan rasio jumlah utang terhadap modal.
Namun, kedua pendekatan tersebut memiliki beberapa kelemahan berdasarkan perspektif OECD. BEPS Action 4 secara jelas menyebutkan bahwa arm’s length principle bukan merupakan cara yang direkomendasikan untuk mencegah praktik BEPS akibat adanya pembayaran bunga pinjaman dalam kondisi tidak adanya aturan lain yang memperkuat pembatasan biaya bunga.
Terdapat dua argumen yang mendukung pernyataan OECD tersebut. Pertama, arm’s length principle secara umum dianggap terlalu membutuhkan banyak sumber daya dan memakan waktu untuk diterapkan baik bagi wajib pajak maupun bagi otoritas pajak. Kedua,arm’s length principle dianggap bukan lagi cara yang efektif untuk mencegah tingkat bunga yang tinggi (Hulshorst et al., 2016).
Penggunaan DER juga tidak direkomendasikan oleh BEPS Action 4 karena masih memiliki banyak kelemahan. Kelemahan tersebut antara lain tidak diaturnya batasan jumlah biaya bunga yang dapat dikurangkan dari penghasilan perusahaan.
Selain itu, penggunaan DER juga memberikan kesempatan bagi perusahaan dengan tingkat modal yang tinggi untuk dapat terus menambah utangnya selama masih berada di batas yang telah ditentukan.
Skema ini tentunya mengakibatkan biaya bunga pinjaman sebagai biaya yang dapat menjadi pengurang pajak (deductible expense) menjadi lebih besar bagi perusahaan dengan modal tinggi dibandingkan perusahaan dengan modal yang lebih rendah.
Kondisi tersebut memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk memanipulasi rasio perbandingan utang dan modal dengan cara menambahkan modal dalam perusahaan. Oleh sebab itu, OECD lebih merekomendasikan penggunaan fixed ratio atau group ratio dalam mencegah praktik BEPS.
Alasannya, kedua jenis rasio tersebut secara langsung membatasi biaya bunga yang dapat dijadikan sebagai deductible expense jika dibandingkan dengan penggunaan DER yang hanya membatasi basis perhitungan biaya bunga, yaitu jumlah utang.
Indonesia sendiri saat ini memiliki aturan thin capitalization berupa pembatasan debt to equity ratio (DER) sebesar 4:1 yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan.
Dengan rekomendasi OECD untuk menggunakan fixed ratio dan group ratio dibandingkan dengan DER, Pemerintah Indonesia tentu harus mengkaji lebih dalam lagi terkait dengan pemakaian kedua pendekatan tersebut, terutama dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap iklim investasi.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.