LAPORAN DDTC DARI AMSTERDAM

Membaca Arah Perpajakan Global (Bag.2-Habis)

Redaksi DDTCNews | Senin, 27 Juni 2016 | 16:15 WIB
Membaca Arah Perpajakan Global (Bag.2-Habis)

Partner DDTC B. Bawono Kristiaji tengah menyampaikan presentasi di Forum on Economic and Fiscal Policy (FEFP) di Amsterdam, Belanda

MARAKNYA isu pengalihan laba, kompetisi pajak serta penyembunyian harta di luar negeri (offshore tax evasion) telah menempatkan isu globalisasi dan kebocoran pajak sebagai sentral dari agenda pajak global. Belum cukup sampai di situ, terkuaknya dokumen Panama Papers ke tengah publik juga menunjukkan kebocoran pajak bukanlah isapan jempol belaka.

Hal tersebut juga menjadi topik menarik yang didiskusikan dalam pertemuan pertama Forum on Economic and Fiscal Policy (FEFP) di Amsterdam, 12-13 Mei lalu. Sebanyak 15 pakar pajak menyampaikan presentasi di depan lebih dari 60 peserta yang berasal dari berbagai negara. B. Bawono Kristiaji berkesempatan memberi paparan mengenai pengaruh perubahan lingkungan tersebut terhadap komunitas usaha dan publik secara umum.

Respons atas Lingkungan yang Berubah

Baca Juga:
Negara Tetangga Ini Bakal Bebaskan Hutan Mangrove dari Pajak

KRISTIAJI mengungkapkan isu kebocoran pajak yang diakibatkan dari aktivitas penghindaran dan pengelakan pajak di tataran global cenderung diresponse secara berbeda, baik oleh pemerintah, dunia usaha dan publik secara umum. Bagi pemerintah di negara berkembang, hal itu berarti penurunan penerimaan negara, terlebih jika kita mempertimbangkan fakta adanya ketergantungan yang besar dari penerimaan PPh Badan. Banyak negara kemudian berupaya membuat atau merevisi ketentuan anti-penghindaran pajak serta membangun kapasitas otoritas pajaknya.

Di sisi lain, publik mengaitkan praktik penghindaran dan pengelakan pajak dengan fenomena ketimpangan yang semakin meningkat di banyak negara berkembang. Isu mengenai keadilan dalam membayar pajak menyeruak. Praktik naming and shaming perusahaan multinasional yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat dan media juga kerap dilakukan.

Seluruh hal tersebut tentu saja menekan dunia usaha. Mereka menjadi pihak pesakitan yang cenderung menjadi musuh bersama antara pemerintah dan publik. Ketidakpastian dalam menjalani aktivitas ekonomi menjadi sesuatu hal yang tidak asing dan kerap menciptakan biaya baru.

Baca Juga:
Otoritas Ini Usulkan Perubahan Aturan Pencegahan WP ke Luar Negeri

Lalu bagaimanakah interaksi dari response yang berbeda-beda tersebut akan memengaruhi agenda pajak di negara berkembang?

Pembenahan Fundamental

MENURUT Kristiaji, pemerintah di negara-negara berkembang perlulah bijak dalam menghadapi isu tersebut. Hal yang ditakutkan adalah bahwa agenda pembenahan fundamental di negara-negara berkembang dapat saja dikesampingkan karena seksinya isu BEPS, pertukaran informasi, dan sebagainya. Sebagai pihak yang menentukan agenda pajak nasional ke depan, mereka seharusnya tidak mudah larut dalam euphoria kebocoran pajak dan mengesampingkan pembenahan fundamental yang diperlukan.

Baca Juga:
Diperpanjang hingga 2030, Lahan Pertanian di Negara Ini Bebas Pajak

Agenda pembenahan dari sisi alokasi anggaran, kebijakan, revisi peraturan, hingga menciptakan suasana yang mendukung perilaku kepatuhan wajib pajak mendesak untuk dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah perlu untuk menyeimbangkan tiga hal. Pertama, baik pembenahan fundamental maupun kebocoran pajak sama pentingnya sehingga tidak ada yang dinomorduakan. Akan sangat baik jika pemerintah di negara-negara berkembang memiliki daftar prioritas dan mendahulukan hal-hal bersifat strategis dalam jangka waktu yang terukur.

Kedua, menyeimbangkan antara prinsip keadilan dan kepastian hukum dalam agenda kebijakan yang disusun. Seluruh elemen masyarakat pada dasarnya memiliki kepentingan yang berbeda-beda; namun penting bagi pemerintah untuk secara tepat menyaring suara-suara yang tidak konstruktif.

Terakhir, keseimbangan antarkepentingan dengan mendorong proses perumusan kebijakan yang lebih baik, yaitu: transparan, akuntabel dan representative. Walau banyak dari negara berkembang menganut sistem demokrasi, namun hal tersebut tidak menjamin idealnya output kebijakan pajak. Hal ini ditengarai akibat bahwa yang dimiliki negara berkembang adalah ersatz democracy, atau demokrasi yang digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kepentingan elit.

FEFP adalah forum yang digagas di tahun 2015 oleh Dr. Ramon Dwarkasing, akademisi sekaligus praktisi pajak asal Belanda yang dikenal lewat buku yang mengupas perdebatan tentang associated enterprise. Forum ini beranggotakan akademisi, pejabat publik, konsultan, peneliti, serta petinggi di berbagai organisasi internasional.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 25 Desember 2024 | 09:30 WIB THAILAND

Negara Tetangga Ini Bakal Bebaskan Hutan Mangrove dari Pajak

Senin, 23 Desember 2024 | 15:45 WIB STATISTIK KEBIJAKAN PAJAK

Pelayanan Kesehatan Medis Bebas PPN Indonesia, Bagaimana di Asean?

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra