Marthias Priambodo
,RENCANA Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 merupakan penutup dari rangkaian Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2024, sehingga menjadi aspek yang sangat penting.
Sasaran dalam RPJMN 2020-2024 adalah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan pada berbagai bidang. Percepatan itu menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berdasarkan pada keunggulan kompetitif di berbagai wilayah dengan dukungan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing.
Pada periode ini, pendapatan per kapita Indonesia diperkirakan memasuki kelompok negara menengah atas (upper-middle income countries) dengan infrastruktur, kualitas sumber daya manusia, layanan publik, serta kesejahteraan rakyat yang lebih baik.
Untuk mencapai agenda tersebut, dibutuhkan pendanaan cukup besar, yaitu sekitar Rp35.000 triliun. Dengan demikian, pemerintah harus melakukan berbagai inovasi untuk meningkatkan sumber pendanaan yang mencukupi.
Sampai dengan saat ini, dana rupiah murni terbesar yang tersedia dan dimanfaatkan bersumber dari penerimaan perpajakan. Namun, penerimaan perpajakan yang diperoleh belum optimal. Kebutuhan juga makin besar untuk penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
Dengan demikian, dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, pemerintah perlu melakukan optimalisasi sumber penerimaan perpajakan melalui pemanfaatan teknologi.
Bagaimanapun, pada masa pandemi, hampir seluruh aspek kehidupan bermasyarakan berubah menjadi tatanan baru. Masyarakat tidak diperkenankan untuk saling bertatap muka langsung (efek dari lockdown), sedangkan aktivitas masyarakat harus tetap terus berlangsung.
Teknologi menjadi sebuah kebutuhan baru yang mendesak sekaligus kunci keberlangsungan kegiatan/aktivitas masyarakat. Pemerintah perlu mendorong pemanfaatan dan perkembangan terknologi semaksimal mungkin, terutama untuk memfasilitasi peningkatan penerimaan pajak.
Dari 46,3 juta wajib pajak terdaftar, jumlah wajib pajak orang pribadi sebanyak 42 juta atau mendominasi dengan porsi hingga 91,2%. Oleh karena itu, kunci keberhasilan penerimaan seharusnya ada pada wajib pajak orang pribadi.
Untuk dapat menjangkau seluruh wajib pajak orang pribadi, otoritas dalam memanfaatkan teknologi dalam sistem administrasi perpajakan. Melalui pemanfaatan teknologi tersebut, pemerintah dapat mengoptimalkan beberapa aspek.
Pertama, pendataan wajib pajak lebih akurat. Kedua, penerapan tarif lebih tepat. Ketiga, pola komunkasi dengan wajib pajak efektif dan efisien. Keempat, jangkauan dan kualitas pelayanan perpajakan meningkat.
Kelima, fungsi tax law enforcement menguat. Keenam, good governance meningkat melalui transparansi data. Aspek-aspek tersebut memungkinkan pemerintah mewujudkan keadilan di dalam sistem perpajakan di Indonesia.
BEBERAPA pemanfaatan teknologi dalam sistem administrasi Perpajakan yang dapat dilakukan adalah penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence) serta pemanfaatan big data. Contoh, sistem perpajakan Britania Raya (United Kingdom).
Pelayanan perpajakan di Britania Raya sudah dilakukan secara daring jauh sebelum pandemi. Selain itu, sistem administrasi perpajakan sudah transparan dan akuntabel. Wajib pajak tidak perlu mendaftar ke kantor pajak karena secara otomatis terdaftar berdasarkan pada data kependudukan yang telah terintegrasi dengan data lainnya, seperti data perbankan.
Informasi mengenai wajib pajak, masih di Britania Raya, langsung dikirimkan melalui email masing-masing individu. Pelaporan dan pembayaran perpajakan dilakukan oleh sistem, sehingga wajib pajak tidak perlu menghitung kewajiban perpajakannya.
Kemudian, pajak otomatis terbayar melalui sistem pembayaran yang telah terintegrasi dengan perbankan. Untuk urusan pelaporan tahunan, pemerintah Britania Raya yang menyediakannya untuk wajib pajak serta mengembalikan pajak jika ada kelebihan perhitungan pembayaran.
Selain itu pemanfaatan teknologi yang lebih terkini sedang dikembangkan melalui blockchain. Di dalam sistem tersebut, terdapat terdapat keseluruhan data transaksi untuk satu individu. Untuk itu, sebutan open trust ledger untuk sistem blockchain sangat tepat mewakili adanya transparansi data yang akuntabel.
Blockchain dapat mencatat seluruh transaksi secara akurat dan otomatis mengubahnya menjadi sebuah ledger (buku besar transaksi). Melalui pemanfaatan teknologi ini, akan potensi peningkatan transparansi data masing-masing individu.
Untuk mencapai hal tersebut, pemerintah melalui Ditjen Pajak (DJP) perlu segera meningkatkan pemanfaatan layanan perpajakan secara masif. Sebagai langkah awal, DJP dapat segera merealisasikan beberapa aspek.
Pertama, One Data DJP untuk penggunaan satu data akurat yang terpusat. Kedua, peningkatan kapasitas pusat data (server) dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan perpajakan yang nyaman.
Ketiga, pengintegrasian data wajib pajak (NPWP) dengan data kependudukan. Keempat, penyelesaian digitalisasi data perpajakan. Kelima, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang memenuhi dengan standar kebutuhan serta kemajuan teknologi.
Setelah dapat menyelesaikan beberapa langkah tersebut, DJP dapat berfokus pada penggunaan big data dan penerapan pelayanan AI secara efektif. Hal ini dikarenakan pondasi dari pemanfaatan kedua teknologi tersebut adalah kualitas data akurat dan menyeluruh.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.