LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2021

Memajaki Financial Technology

Redaksi DDTCNews | Minggu, 15 Agustus 2021 | 15:00 WIB
Memajaki Financial Technology

Anandita Budi Suryana,
Bekasi, Jawa Barat

PERFORMA bagus industri financial technology (fintech) belum menular ke ranah pajaknya. Fintech punya keuntungan fantastis, tetapi aturan pajaknya belum diatur secara khusus.

Hingga 24 Mei 2021, ada 131 fintech terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurut OJK, ada 4 bisnis fintech. Pertama, fintech pembiayaan peer to peer lending (pemberi pinjaman dan peminjam) dan crowdfunding (penggalangan dana).

Kedua, fintech untuk perencanaan keuangan. Ketiga, penyedia jasa market agregator berupa profil kemampuan peminjam. Keempat, fintech payment gateway (portal pembayaran) untuk penyelesaian pembayaran dengan dompet digital (e-wallet).

Dalam bisnis peer to peer, fintech mendapat fee dari persentase dana pemberi pinjaman (lender) yang dipinjamkan ke peminjam (borrower). Fee juga bisa berasal dari bagi hasil bunga pinjaman (saat ini 0,4%-0,8% sehari) yang dibayar peminjam. Untuk menarik minat lender, fintech peer to peer menjanjikan pengembalian investasi (return of investment/ROI) hingga 21% setahun.

Berdasarkan pada data OJK, pada Januari 2020, akumulasi pinjaman (disbursement loan) mencapai Rp88,4 triliun. Pada Desember 2020, akumulasi pinjaman senilai Rp155,9 triliun. Artinya, kenaikan akumulasi pinjaman selama 2020 rata-rata Rp5,6 triliun per bulan.

Dari akumulasi pinjaman tersebut, dengan skema bunga sekitar 0,8% sehari, akumulasi pendapatan bunga yang akan didapatkan senilai Rp1,3 triliun per bulan. Jika disetahunkan, bunga yang didapat sekitar Rp16,2 triliun pada 2020.

Jumlah bunga yang fantastis, menarik minat lender luar negeri. Karena suku bunga bank luar negeri nyaris 0% maka entitas luar negeri mencari pengembalian investasi tinggi. Indonesia menyediakan ROI lebih dari 10%. Tak mengherankan jika jumlah lender dalam dan luar negeri meningkat dari 616.000 (lender asing 3.781) pada Januari 2020 menjadi 716.693 pada Desember 2020 (lender asing 3.930).

Pada 2021, akumulasi pinjaman fintech posisi Januari senilai Rp159,6 triliun. Jumlah tersebut meningkat terus hingga pada Mei mencapai Rp207,1 triliun. Jumlah rata-rata pinjaman Rp9,4 triliun per bulan. Dengan skema bunga 0,8%, rata-rata pendapatan bunga senilai Rp2,3 triliun per bulan atau sekitar Rp11,5 triliun untuk periode Januari sampai Mei 2021.

Data outstanding pinjaman pada Mei 2021 senilai Rp21,3 triliun. Pinjaman itu berasal dari dalam negeri senilai Rp16,1 triliun dan luar negeri senilai Rp5,2 triliun. Dari dalam negeri, pinjaman perorangan sebanyak 31%, bank 15%, keuangan nonbank 9%, koperasi 2%, serta badan hukum lain 43%. Sementara itu, pinjaman entitas luar negeri terdiri atas perorangan sebanyak 5%, keuangan nonbank 11%, dan badan hukum lain 84%.

Aturan dan Potensi Pajak

ATURAN pajak sektor keuangan yang ada baru berfokus pada jasa perbankan, bukan fintech. Pasal 4A ayat 3 UU PPN mengatur jasa keuangan tidak termasuk sebagai jasa yang dikenai PPN. Jasa keuangan yang tidak kena PPN yaitu jasa meminjamkan dana, jasa pembiayaan, jasa penyaluran pinjaman hukum gadai, dan jasa penjaminan.

Sementara itu, kegiatan bank yang terutang PPN yaitu transfer uang selain untuk kepentingan nasabah, penempatan dana nasabah pada surat berharga nonbursa efek, penerimaan pembayaran atas tagihan pihak ketiga, serta penyediaan tempat penyimpanan dan penitipan.

Adapun ketentuan terkait dengan penghasilan bunga, Pasal 4 ayat 2 UU PPh mengatur PPh final atas bunga deposito, tabunga, dan obligasi dipotong pihak yang membayarkan bunga.

Tidak ada data pembayaran pajak fintech yang terpublikasi walaupun potensi bunga pinjaman Rp16,2 triliun (2020) dan Rp11,5 triliun (2021). Alasannya, fintech tidak memotong bunga pinjaman yang dibayarkan dari peminjam ke pemberi pinjaman karena fintech bukan wajib pungut (Wapu).

Fintech juga tidak membuat bukti potong untuk pemberi pinjaman. Dalam kewajiban perpajakan, fintech hanya mengimbau pemberi pinjaman melaporkan penghasilan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

Dalam praktiknya, bisnis fintech pembiayaan menawarkan match maker pemberi pinjaman dan peminjam. Untuk jasa ini, fintech menggunakan data profil pribadi calon peminjam dari perusahaan market aggregator. Jasa profil dari market aggregator menggunakan profil keuangan seperti kredibilitas pembayaran kredit dan penjualan/pembelian online.

Langkah awal untuk menarik potensi pajak adalah perlunya perubahan peraturan. Pertama, menetapkan fintech pembiayaan sebagai wajib pungut bunga pinjaman dengan PPh final bertarif 20%.

Jika bunga pada 2020 Rp16,2 triliun dibagi imbang maka pembayaran bunga ke lender adalah Rp8,1 triliun. Dengan tarif 20%, diperoleh potensi PPh final atas bunga senilai Rp1,7 triliun. Kemudian, potensi pajak PPh badan sebesar 22% dikalikan Rp8,1 triliun atau senilai Rp1,76 triliun.

Kedua, fintech wajib melaporkan pelaporan pemotongan PPh final atas bunga kepada Ditjen Pajak. Ketiga, menetapkan jasa fintech dalam match maker pemberi pinjaman dan peminjam sebagai jasa kena pajak. Umumnya fintech memungut biaya administrasi dari nominal pinjaman yang diberikan kepada peminjam. Atas jasa ini, fintech harus ditetapkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) dan mengeluarkan faktur pajak kepada pemberi pinjaman.

Keempat, jasa market aggregator ditetapkan sebagai jasa kena pajak. Berdasarkan pada data per Mei 2021, ada sekitar 38,7 juta peminjam aktif di fintech pembiayaan. Untuk transaksi peminjaman ini, perlu data profil peminjam.

Kelima, fintech pembiayaan wajib melaporkan data pemberi pinjaman ke Ditjen Pajak. Data ini digunakan untuk imbauan dan benchmarking (pengawasan) pelaporan SPT Tahunan lender. Langkah ini menyeimbangkan dengan kewajiban perbankan yang melaporkan saldo data nasabahnya pada akhir tahun.

Khusus fintech payment gateway, atas jasa penyelesaian pembayaran dengan dompet digital, perlu ditetapkan sebagai PKP. Maraknya bebas transfer antarbank melalui fintech payment gateway, harus dibarengi dengan perlakuan yang sama dengan bank.

Jika bank mengenakan biaya transfer antarbank maka fintech payment gateway wajib memungut PPN atas jasa payment settlement tersebut. Dasar pengenaan pajak (DPP) bisa menggunakan tarif normal transfer antarbank yang saat ini berlaku.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 26 Desember 2024 | 14:30 WIB KPP PRATAMA BENGKULU SATU

Mobil Rp200 Juta Disita KPP, Bakal Dilelang Kalau Utang Tak Dilunasi

Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

BERITA PILIHAN