STATISTIK REZIM PAJAK

Melihat Perkembangan Aksi 5 Proyek BEPS

Redaksi DDTCNews | Jumat, 31 Juli 2020 | 15:15 WIB
Melihat Perkembangan Aksi 5 Proyek BEPS

ADANYA praktik penghindaran pajak yang dikenal sebagai base erosion and profit shifting (BEPS) mendorong negara-negara anggota G20 bekerjasama dengan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk mengambil langkah-langkah konkrit.

Pada intinya, G20 meminta OECD untuk melakukan kajian secara komprehensif guna mengatasi permasalahan yang diakibatkan oleh BEPS tersebut. Elemen inti dari proyek BEPS yang telah diimplementasikan sejak 2016 ini mengacu pada empat standar minimum.

Keempat standar minimum ini antara lain perlawanan terhadap praktik pajak yang membahayakan (Aksi 5), pencegahan penyalahgunaan perjanjian pajak (Aksi 6), format baru dokumentasi transfer pricing khususnya pelaporan berbasis country-by-country (Aksi 13), serta peningkatan efektivitas penyelesaian sengketa (Aksi 14).

Namun, pandemi Covid-19 yang terjadi secara tidak langsung telah berdampak pada proyek BEPS, khususnya Aksi 5, yakni menyangkut praktik pajak yang membahayakan. Sebagai informasi, Aksi 5 tersebut merupakan suatu cara untuk mencegah adanya rezim pajak yang harmful serta mencegah kompetisi pajak yang tidak sehat.

Dengan kata lain, ada pencegahan desain rezim pajak yang berorientasi untuk menarik aktivitas ekonomi yang tidak substantial (bukan real-economic activity). Contohnya, untuk sekadar menarik didaftarkannya paten, bukan untuk kegiatan litbang.

Selain itu, program pengawasan dan asesmen oleh Forum on Harmful Tax Practices (FHTP) juga menjadi sedikit terkendala. Namun, sejauh ini, sudah lebih dari 287 rezim pajak yang telah dinilai dalam program ini. Dari penilaian tersebut, seluruh rezim yang dianggap membahayakan telah dihapus ataupun diubah.

Dengan adanya pengawasan dan penilaian oleh FHTP secara berkala serta standar minimum dan persyaratannya, banyak negara telah menyesuaikan kebijakan pajaknya. Sampai saat ini, terdapat sekitar 100 rezim yang sedang dalam proses monitoring.

Tabel berikut memperlihatkan secara garis besar progres proyek BEPS OECD dengan G20 serta memuat jumlah rezim pajak yang telah dinilai berdasarkan status hasil penilaian.


Hasil penilaian FHTP dalam kurun 4 tahun menyebutkan terdapat 4 rezim pajak yang berstatus membahayakan dan 59 dengan status tidak membahayakan. Hal ini menyiratkan rezim pajak yang ada di berbagai yurisdiksi sudah terbangun dan cukup baik dalam mengantisipasi praktik penghindaran pajak yang terencana.

Salah satu rezim pajak yang dianggap membahayakan ialah rezim ring-fencing yang dilakukan di Yordania. Rezim tersebut memperbolehkan praktik mengurangi kerugian dengan memperhitungkan laba dari investasi lain tapi tetap berada dalam suatu perusahaan.

Menariknya, terdapat 30 yurisdiksi yang berada di luar jangkauan skema yang diawasi oleh FHTP sehingga luput dari penilaian. Beberapa yurisdiksi yang memiliki rezim di luar cakupan tersebut antara lain Cabo Verde, Nigeria, Paraguay, dan Vietnam. Meskipun demikian, terdapat 5 rezim pajak di luar cakupan yang akhirnya telah diubah.

Rezim-rezim yang di luar jangkauan FHTP yakni insentif terhadap perilaku globalisasi, jaminan investasi, zona ekonomi khusus, daerah tertinggal, serta transfer teknologi. Namun, setelah dilakukan penilaian, FHTP tidak menemukan adanya keuntungan artifisial (pengalihan laba) yang dihasilkan sehingga tidak dapat melakukan penilaian terhadap rezim yang bersangkutan.

Tabel tersebut menunjukkan peran penting dari FHTP dalam mendukung proyek BEPS ini. Suatu kajian yang komprehensif dengan kerangka yang tepat tidak akan dapat terlaksana tanpa adanya evaluasi dan pengawasan yang konsisten.*

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 16 Oktober 2024 | 13:20 WIB BUKU PAJAK

Meninjau Aspek Keadilan dari Konsensus Pajak Minimum Global

Rabu, 09 Oktober 2024 | 16:17 WIB KONSENSUS PAJAK GLOBAL

Penerapan Pilar 1 Amount A Butuh Aturan yang Berkepastian Hukum Tinggi

Rabu, 09 Oktober 2024 | 13:45 WIB LITERATUR PAJAK

Menginterpretasikan Laba Usaha dalam P3B (Tax Treaty), Baca Buku Ini

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:45 WIB STATISTIK KEBIJAKAN PAJAK

Tren Penerapan Presumptive Tax untuk UMKM di Berbagai Negara

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:45 WIB KABINET MERAH PUTIH

Tak Lagi Dikoordinasikan oleh Menko Ekonomi, Kemenkeu Beri Penjelasan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja