LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2022

Kurangi Gap Si Kaya dan Si Miskin, Pajak Bisa Apa?

Redaksi DDTCNews | Kamis, 06 Oktober 2022 | 13:15 WIB
Kurangi Gap Si Kaya dan Si Miskin, Pajak Bisa Apa?

Punjung Raras,
Kota Bekasi, Jawa Barat

SEBAGAI pilar utama pendapatan negara, pajak sangat berperan strategis. Peran itu tidak terkecuali dalam merespons dampak unprecedented Covid-19. Selain memukul ekonomi, pagebluk juga membuat melesetnya beberapa target pembangunan, salah satunya menyangkut ketimpangan.

Ketimpangan pendapatan yang diukur dengan rasio gini tercatat memburuk ke level 0,385 pada September 2020. Padahal, data rasio gini telah konsisten membaik sejak 2016. Hal ini mengindikasikan selama pandemi, gap pendapatan masyarakat makin melebar.

Menurut The Knight Frank Wealth Sizing Model 2022, penduduk dengan kekayaan lebih dari US$30 juta di Indonesia pada 2021 sebanyak 1.403 orang. Jumlah ini tumbuh 0,94% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jumlah ini diperkirakan tumbuh 29,01% menjadi sebanyak 1.810 orang pada 2026.

Tren kenaikan jumlah tersebut juga sejalan dengan pertumbuhan rata-rata orang kaya di dunia. Beberapa penyebab fenomena ini di antaranya pembatasan mobilitas selama pandemi yang berakibat pada perubahan gaya hidup, penghematan, dan penambahan jumlah tabungan.

Hal tersebut secara langsung berpengaruh terhadap peningkatan investasi seiring dengan kemudahan akses dan perkembangan proses bisnis melalui platform online (digital investment). Penurunan nilai aset fisik berupa tanah, properti, dan saham memberi alternatif diversifikasi investasi bagi masyarakat berpenghasilan tinggi.

Disisi lainnya, kecepatan inovasi investasi, seperti block chain, bitcoin, NFT dan lain-lain turut mendongkrak kekayaan high wealth individuals (HWI) di Indonesia. Pertanyaannya, apakah pajak mampu menangkap fenomena ini untuk mengisi pundi-pundi penerimaan negara dan memperkecil gap pendapatan dalam masyarakat pada masa mendatang?

Seperti diketahui, selain fungsi anggaran (budgetair), fungsi mengatur (regulerend), dan fungsi stabilitas, pajak juga memiliki fungsi distribusi pendapatan. Instrumen pajak diharapkan mampu mengurangi dampak ketimpangan pendapatan selama masa pandemi.

Pajak penghasilan (PPh) yang dikenakan terhadap perorangan selama ini menjadi instrumen kebijakan untuk mengatasi ketimpangan. Hal ini dilakukan dengan pendistribusian pendapatan dari masyarakat berpenghasilan tinggi ke masyarakat berpenghasilan rendah.

Berdasarkan pada data penerimaan per jenis pajak, PPh Pasal 25/29 orang pribadi hanya berkontribusi sebesar 1,0% dari total penerimaan pajak. Namun, berdasarkan pada pengelompokan subjek pajak, kontribusi yang dibayarkan wajib pajak perorangan jauh lebih tinggi, yakni sebesar 15,68% terhadap total penerimaan pajak pusat (OECD, Juli 2022).

Penerimaan itu berasal dari PPh yang dibayar sendiri oleh wajib pajak orang pribadi, di antaranya dari PPh 25/29 orang pribadi dan PPh final. Ada pula kontribusi pajak yang dibayar melalui mekanisme pemotongan/pemungutan pihak lain, seperti PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, serta PPh final Pasal 4 ayat (2) atas bunga dari tabungan/deposito, hadiah undian, transaksi saham, dan lain-lain.

Porsi PPh orang pribadi (personal income tax/PIT) di Indonesia terbilang sangat rendah jika dibandingkan kinerja di negara lainnya. Malaysia dan Singapura memiliki kontribusi PIT masing-masing sebesar 29,57% dan 22,73% dari total pendapatan pajak mereka.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan kondisi tersebut. Pertama, struktur ekonomi Indonesia yang masih mengandalkan peran UMKM. Sektor ini pada prinsipnya bukan basis pajak atau dikenakan pajak dengan perlakuan khusus (tarif lebih rendah).

Kedua, karakteristik negara berkembang yang masih sangat bergantung pada sektor pertanian. Secara empiris, sektor ini memiliki hubungan negatif dengan penerimaan pajak.

Ketiga, kebijakan menyangkut perorangan cenderung menurunkan penerimaan. Misalnya, penurunan tarif PPh orang pribadi dari 35% ke 30% pada 2008, kenaikan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) secara signifikan sebanyak 3 kali sejak 2013, serta penetapan threshold dan penurunan tarif wajib pajak dengan peredaran usaha tertentu.

Keempat, jumlah perusahaan di Indonesia yang berbentuk persekutuan komanditer makin banyak, yakni sekitar 36,56%. Dengan bentuk ini, bagian laba pemiliknya bukan merupakan penghasilan menurut ketentuan perpajakan. Kelima, tingkat kepatuhan wajib pajak perorangan yang masih rendah.

Menilik pada prinsip pareto dalam penerimaan pajak, sebagian besar penerimaan ditopang sebagian kecil wajib pajak. Prinsip ini juga berlaku pada pajak yang dibayarkan perorangan. Laporan akhir program tax amnesty dan program pengungkapan sukarela (PPS) mengkonfirmasi hal tersebut. Jumlah uang tebusan dan setoran PPh didominasi kelompok wajib pajak HWI.

Fakta ini menjelaskan peranan penerimaan pajak HWI sangatlah penting. Berbagai upaya memang telah dilakukan pemerintah guna memaksimalkan kontribusi HWI. Contoh, pembentukan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar yang khusus mengawasi wajib pajak HWI. Kemudian, mulai tahun lalu, ada penambahan cakupan pengawasan ke KPP Madya.

Dari sisi regulasi, perubahan tarif dan bracket PPh orang pribadi yang tertuang dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) cukup mencerminkan sisi keadilan dan keberpihakan pada masyarakat berpenghasilan rendah.

Pemanfaatan data Automatic Exchange of Information (AEOI) dan data pihak ketiga juga gencar dilakukan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir. Namun, upaya-upaya tersebut belum cukup membuahkan hasil yang signifikan. Diperlukan strategi penggalian potensi yang lebih fokus dan out of the box.

Penggalian Potensi Pajak HWI

MENURUT laporan statistik OECD, selama ini komposisi PIT Indonesia yang berasal dari pendapatan dan laba usaha sebesar 96,41%. Sisanya, sebanyak 3,59% berasal dari pajak atas capital gain. Penelitian Robert Frank dari Tax Policy Center (2015) mengungkapkan sebagian besar penghasilan HWI dihasilkan dari passive income.

Fakta dan literatur tersebut menunjukkan penghasilan yang berasal dari passive income, seperti sewa, dividen, bunga, royalti, dan pengalihan saham belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.

Ceruk dan momentum ini seharusnya dilihat pemerintah sebagai kesempatan untuk dapat lebih fokus dalam menentukan strategi penggalian potensi pajak sektor HWI. Hal ini seiring dengan meningkatnya investable assets pada masa pandemi.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus mampu menyusun strategi pengawasan secara simultan dan terkoordinasi. Jika diperlukan, DJP dapat membentuk tim taskforce khusus. Tim ini bertugas melakukan analisis komprehensif terhadap wajib pajak HWI dengan risiko ketidakpatuhan tinggi.

Pemilihan wajib pajak dapat juga mempertimbangkan tindak lanjut data hasil tax amnesty dan PPS. Sebagai wujud DJP menjadi data driven organization, analisis juga sebaiknya didukung pemanfaatan data pihak ketiga.

Data pihak ketiga tersebut mulai dari data ILAP, faktur pajak, bukti potong, AEOI, data perbankan, data internet, bahkan sampai data intelijen. Hasil analisis dikirim dan dipantau secara intensif di lapangan, terutama menyangkut eksekusinya.

Selanjutnya, besarnya nilai harta bersih yang diungkap dalam program tax amnesty dan PPS juga mengindikasikan belum mampunya pemerintah menangkap potensi pajak dari kenaikan nilai kepemilikan harta, khususnya wajib pajak HWI.

Automasi pengawasan atas data transaksi perbankan perlu segera diakselerasi, sejalan dengan program sinkronisasi NIK menjadi NPWP amanah UU HPP. Dari sisi regulasi, kewajiban mencantumkan NIK dalam setiap transaksi ekonomi diharapkan mampu memperluas basis pajak di masa yang akan datang.

Terakhir, tentunya diperlukan sinergi dari seluruh elemen negeri untuk bisa mewujudkan visi bersama Indonesia Maju 2045. Fenomena bonus demografi, kualitas sumber daya manusia (SDM), pembangunan infrastruktur, kemajuan teknologi, dan transformasi ekonomi diharapkan dapat diimbangi dengan kemampuan pemerintah mengumpulkan penerimaan negara dari sektor pajak.

Dalam hal ini, kontinuitas reformasi perpajakan adalah sebuah keniscayaan. Mari bekerja keras bersama. Ini bukan tentang seberapa banyak kekalahan dan kemenangan yang kita raih, tetapi seberapa jauh kita terus melangkah maju.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

banonkeke 18 Oktober 2022 | 10:14 WIB

Analisisnya dalem pak... Bernas..

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

BERITA PILIHAN