Dir. Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri

'Kuncinya, Harus Ada Tax Holiday untuk Industri Bahan Baku Tekstil'

Muhamad Wildan | Minggu, 03 Juli 2022 | 11:30 WIB
'Kuncinya, Harus Ada Tax Holiday untuk Industri Bahan Baku Tekstil'

INDUSTRI alas kaki menunjukkan tren yang unik selama pandemi Covid-19. Secara domestik, penjualannya terpukul pembatasan masyarakat. Secara ekspor, angkanya tumbuh cukup tinggi. Indonesia diuntungkan oleh 'tutupnya' pabrik-pabrik serupa akibat pembatasan ekstra-ketat di negara-negara produsen alas kaki lainnya.

Namun, pandemi justru memperjelas masih lemahnya strategi pasar di skala domestik. Industri alas kaki ternyata butuh beragam insentif di sektor bahan baku guna menekan harga jual. Ya, masyarakat Indonesia sangat gemar produk-produk murah. 

Apa dan bagaimana jurus yang perlu disiapkan pengusaha dan pemerintah dalam mem-boost kembali sektor ini? DDTCNews berkesempatan berbincang bersama Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri. Berikut petikan lengkapnya:

Bagaimana kinerja industri persepatuan di tengah pandemi Covid-19?
Selama pandemi ada 2 kondisi berbeda. Domestik ada penutupan pasar, mobilitas masyarakat dibatasi, mobilitas ekonomi juga dibatasi, kegiatan masyarakat juga dibatasi. Akibatnya, industri alas kaki di segmen domestik selama 2020 hingga 2021 itu mengalami penurunan baik dari sisi produksi maupun pasarnya, termasuk omzet.

Di sisi lain, pada masa pandemi tahun 2020 kita sempat mengalami shock sebentar pada Juni-Juli kemudian di September sudah mulai recovery. Walau memang September-November masih ada beberapa penyesuaian sehingga ada PHK, tetapi setelah itu di akhir tahun kita sudah full recover dan menutup tahun 2020 dengan pertumbuhan 8,97%, pertumbuhan ekspor ya.

Pada 2021 kita sudah betul-betul recover bahkan tumbuh cukup pesat. Tumbuh 28,3% dibandingkan tahun sebelumnya dengan total USD6,1 miliar.

Jadi selama pandemi memang ada 2 kondisi berbeda, domestik mengalami tekanan karena pasarnya tertutup, tapi ekspor kita tumbuh.

Mengapa bisa tumbuh? Pada 2021 kita mendapat berkah karena negara pesaing menerapkan kebijakan yang menguntungkan kita. Misal China dan Vietnam menerapkan zero Covid-19 policy, jadi aktivitas mereka saat pandemi dibatasi sangat ketat sedangkan kita cukup fleksibel dengan PSBB dan PPKM. Kita punya namanya IOMKI, izin operasional dan mobilitas kegiatan industri. Dengan izin ini kita mendapatkan kebebasan untuk berproduksi selama masa pandemi.

Industri kita juga melakukan corporate action dengan kondisi di dalam negeri. Ada ketimpangan upah yang luar biasa, dengan kenaikan upah yang cukup tinggi. Mau tidak mau ketika input naik terus sementara output tidak pernah naik maka ada 1 titik kita menjadi tidak kompetitif. Akhirnya beberapa pabrikan kita berpindah ke daerah dengan UMK yang lebih kompetitif. Misalnya di Banten. Kan kita banyak di Tangerang, Serang, pindah ke Jateng.

Salah satu faktornya adalah peningkatan infrastruktur dimana ada Tol Transjawa itu ya. Tidak jauh dari Karawang dan Purwakarta kan ada Subang, Majalengka, Cirebon dan geser ke Jateng ada Brebes, Pekalongan, lalu Jepara. Di situ banya berdiri pabrik-pabrik baru bagian dari proses relokasi guna mengurangi beban di faktor input. Dengan berbagai hal tadi di 2021 kita betul tumbuh cukup luar biasa ekspornya, 28,3%.

Apakah perang antara Ukraina dan Rusia turut berpengaruh terhadap kinerja industri persepatuan?
Perang ini berdampak ke krisis energi dan pangan yang keduanya mengalami inflasi cukup tinggi. Lonjakan inflasi energi dan pangan itu kan memengaruhi inflasi secara umum. Di Amerika Serikat (AS) cukup tinggi. Di saat bersamaan China sebagai salah satu tujuan ekspor terbesar masih menerapkan zero Covid-19 policy pada 2022.

Dampak perang akan mulai terasa pada bulan Juli ini, cuma secara data belum kelihatan ya. Perang Rusia-Ukraina ini kan menyasar ke negara-neagra kaya yang menjadi tujuan ekspor terbesar kita.

Inflasi di tingkat konsumen masih rendah, tapi data BPS menunjukkan indeks harga produsen sudah tinggi. Apakah artinya produsen menanggung biaya dalam proses produksi dan tidak membebankannya ke konsumen? Apakah ini juga dilakukan oleh para produsen sepatu?
Kalau inflasi pasar domestik sekarang itu kita masih terpengaruh pandemi. Itu memengaruhi rantai pasok global sementara alas kaki itu termasuk global value chain (GVC) di mana kita memerlukan bahan baku impor. Dengan terganggunya rantai pasok, kapal susah, kontainer susah, akhirnya jadi mahal.

Kemudian industri bahan baku di negara asalnya masih menerapkan zero Covid-19 policy, itu berpengaruh ke harga.

Ada tambahan satu lagi, pada masa pandemi ini pemerintah cenderung proteksionis terhadap industri domestik dengan menerapkan safeguard atas bahan baku. Dengan safeguard, ternyata bahan baku dalam negeri masih lebih mahal. Kemudian ternyata bahan baku dalam negeri tidak match dengan kebutuhan industri, mau tidak mau tetap impor. Kalau impor kita bayar dobel-dobel karena ada safeguard, bea masuk, tambahan lagi ongkos logistik yang lebih mahal.

Safeguard ini kan awalnya diharapkan agar kita bisa beli lokal. Sepatu kita kan banyak pakai bahan-bahan kain, diharapkan dengan safeguard kita beli lokal. Masalahnya ketika beli lokal kita tidak bisa ketemu minimum order quantitiy-nya, MOQ-nya. Kuantitasnya tidak terpenuhi.

Kita dalam konteks industri tidak memilik hulu yang kuat misal di kapasnya, tapi kita memiliki konsumen yang besar. Berangkat dari situ kita harus kuat di hilir lalu kita benahi secara bertahap di hulunya. Masalahnya kebijakan yang diambil ini safeguard, ini seperti tidak punya filter lagi. Produk ini masuk ke sini dikenai proteksi.

Kita di alas kaki yang masih tidak terpenuhi, sampai sekarang masih tidak match. Akhirnya kita bebankan itu ke konsumen. Kalau tidak sanggup lagi, bahan baku mahal ongkos produksi mahal, maka kita bebankan ke konsumen.

Menurut Anda sektor industri hulu dan antara perlu diperkuat?
Di satu sisi memang kita butuh bahan baku yang kompetitif. Tanpa bahan baku kompetitif, industri kita kalah dibandingkan dengan negara-negara yang punya sumber bahan baku kuat. Cuma, bagaimana melakukan scale up industri bahan baku agar naik kelas?

Demand untuk pasar domestik ada, untuk ekspor juga ada baik di alas kaki serta garment. Cuma memang dengan skala ekonomi negara kita, produk yang dibutuhkan adalah produk-produk murah. Seberapa mampu supply side memenuhi kebutuhan itu? Saya rasa itu yang perlu diperbaiki, bukan demand side-nya yang dipaksa untuk pakai.

Mungkin pendekatannya bukan disinsentif di hilir, tapi insentif di hulu. Entah itu dengan insentif modal yang lebih besar, kemudian insentif beli bahan baku dengan pengurangan pajak, dan lain lain.

Apakah insentif pajak perlu mengambil peran guna meningkatkan daya saing industri-industri dalam rantai pasok alas kaki?
Soal pajak, untuk industri alas kaki ini kita ada beberapa fasilitas pajak. Misalnya untuk indsutri baru atau perluasan ada tax allowance. Untuk industri orientasi ekspor ada kawasan berikat dan KITE.

Kalau tax holiday dalam konteks kebutuan alas kaki, kita butuh industri bahan baku kompetitif yang mampu memenuhi kebutuhan industri alas kaki.

Harus ada tax holiday untuk bahan baku kain, tekstil, untuk meningkatkan skala industri kita. Jujur kita butuh itu, supaya industri lokal kita yang tidak kompetitif meski dikasih safeguard, ketika tidak kompetitif dia harus merger agar skala ekonominya tinggi entah dengan tabungan beli mesin yang lebih canggih, mengembangkan proses pengelolaan limbah yang lebih baik.

Kalau sudah ada investasi dengan skala industri yang lebih maju, industri kita jadi terbantu. Kita tidak perlu lagi buang waktu 2 minggu untuk impor kain dari China dari Vietnam seperti itu. Kalau ada order yang butuh kecepatan produksi, kita sudah bisa. Oleh karena itu kita perlu industri bahan baku yang kompetitif. Kalau bisa dikasih tax holiday kenapa tidak, karena selama ini investasinya belum ada padahal skala ekonomi kita itu tinggi, untuk ekspor sepatu garment itu besar. (sap)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 12 Desember 2024 | 09:05 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Pemerintah segera Umumkan Kebijakan Final Soal PPN 12 Persen

Rabu, 11 Desember 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kemenperin Usulkan Penghapusan PPN untuk Impor Kapas, Ini Alasannya

Rabu, 11 Desember 2024 | 12:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

BKF: Kurang dari 10 WP Tax Holiday yang Terdampak Pajak Minimum Global

Rabu, 11 Desember 2024 | 09:13 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Skema Insentif Pajak di Negara Tetangga Jadi Pertimbangan DJP

BERITA PILIHAN

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:30 WIB THAILAND

Negara Tetangga Ini Bakal Bebaskan Hutan Mangrove dari Pajak

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:00 WIB LAYANAN PAJAK

Kantor Pajak Telepon 141.370 WP Sepanjang 2023, Kamu Termasuk?