Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Wajib pajak yang sudah mengikuti program pengungkapan sukarela (PPS) masih memiliki sejumlah kewajiban pajak yang harus dipenuhi. Kewajiban tersebut diatur dalam BAB VII PMK 196/2021.
Salah satu kewajiban pajak yang harus dipenuhi adalah membukukan nilai harta bersih yang disampaikan dalam Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) sebagai tambahan atas saldo laba ditahan dalam neraca.
Kewajiban ini berlaku bagi wajib pajak yang telah memperoleh surat keterangan bukti keikutsertaan PPS dan diwajibkan menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan aturan dalam ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP).
“Bagi wajib pajak yang telah memperoleh Surat Keterangan dan diwajibkan menyelenggarakan pembukuan..., harus membukukan nilai Harta bersih yang disampaikan dalam SPPH sebagai tambahan atas saldo laba ditahan dalam neraca,” demikian bunyi Pasal 21 ayat (1) PMK 196/2021.
Selain itu, atas tambahan harta dan utang dalam SPPH yang belum diungkap dalam Surat Pernyataan Harta dalam pengampunan pajak (tax amnesty) diperlakukan sebagai perolehan harta dan utang baru sesuai tanggal Surat Keterangan.
Tambahan harta dan utang dalam SPPH yang belum dilaporkan pada SPT Tahunan PPh orang pribadi 2020 juga diperlakukan sebagai perolehan harta dan utang baru sesuai tanggal Surat Keterangan. Tambahan harta dan utang ini juga harus dilaporkan pada SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2022.
Kewajiban pajak lain yang harus diperhatikan adalah atas harta berupa aktiva berwujud yang diungkapkan dalam SPPH tidak dapat disusutkan untuk tujuan perpajakan. Atas aktiva tidak berwujud yang diungkap dalam SPPH tidak dapat diamortisasi untuk tujuan perpajakan.
Tidak hanya itu, peserta PPS skema II yang telah diterbitkan Surat Keterangan dan telah mencabut permohonan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d, tidak lagi dapat mengajukan berbagai jenis permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d angka 1 sampai dengan angka 9.
Berbagai jenis permohonan itu di antaranya seperti pengembalian kelebihan pembayaran pajak, pengurangan atau penghapusan sanksi administratif, keberatan, pembetulan, banding, gugatan, dan/atau peninjauan kembali yang belum diterbitkan surat keputusan atau putusan.
Permohonan itu, sesuai dengan Pasal 7 ayat (2), merupakan permohonan yang berkaitan dengan PPh, pemotongan dan/atau pemungutan PPh, dan PPN atas orang pribadi yang bersangkutan untuk tahun pajak 2016, 2017, 2018, 2019, dan/atau 2020.
Jika berdasarkan pada data dan/atau informasi yang diterima atau diperoleh DJP mengetahui permohonan dalam Pasal 7 ayat 1 huruf d ternyata tidak dicabut, kepala KPP atas nama dirjen pajak membatalkan surat keterangan yang telah diterbitkan. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.