Seorang pekerja merampungkan pembuatan kursi di salah satu industri mebel rotan di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (8/4/2020). Sejumlah industri mebel rotan di Palu mengaku terdampak pandemi COVID-19 karena penjualan berkurang hingga 70 persen yang mengakibatkan banyak tenaga kerja terpaksa diistirahatkan sementara. Secara nasional, Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) menyebutkan, sedikitnya 280.000 pekerja di sektor industri furniture kini dirumahkan sebagai imbas dari COVID-
JAKARTA, DDTCNews—Pengusaha furnitur yang tergabung dalam Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) mengapresiasi kebijakan insentif pajak di tengah pandemi virus Corona.
Sekretaris Jenderal HIMKI Abdul Sobur mengatakan insentif pajak itu sangat membantu pengusaha untuk bertahan di tengah pandemi. Menurutnya insentif yang paling meringankan yakni diskon 30% angsuran pajak penghasilan (PPh) Pasal 25.
“Pasti membantu karena ada pengurangan 30%. Kalau sampai ada pembebasan, pemerintah kan juga dari mana uangnya? Ini menurut saya sudah bagus,” katanya kepada DDTCNews, Minggu (24/5/2020).
Insentif pajak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 44/PMK.03/2020. Dalam beleid tersebut, industri furnitur bisa menikmati insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah, pembebasan PPh Pasal 22 impor, dan diskon 30% angsuran PPh Pasal 25.
Menurut Abdul, industri furnitur mulai merasakan dampak pandemi Corona pada Januari, dan mencapai puncaknya pada pertengahan Maret seiring dengan melesunya permintaan pasar di luar negeri.
Untuk diketahui, 90% produk furnitur produksi Indonesia dipasarkan di luar negeri, terutama Amerika Serikat, Eropa, dan Timur Tengah. AS menjadi pasar furnitur terbesar dengan nilai ekspor mencapai US$800 juta atau hampir 45% dari total ekspor tahunan.
Di tengah pandemi, sekitar 90% perajin furnitur anggota HIMKI tidak mendapat pemasukan sama sekali karena kehilangan pelanggan. Abdul memperkirakan daya tahan pelaku usaha furnitur hanya delapan pekan sejak puncak tekanan, atau sampai Juni.
Namun, dia juga bersiap menghadapi tekanan yang lebih panjang karena pemasaran produk furnitur sangat tergantung dengan pemulihan negara tujuan ekspor.
"Kami berharap recovery ini terjadi di negara ekspor furnitur agar mereka bisa order lagi. Tapi perkiraan baru bisa recovery bulan September, berat sekali," ujarnya.
Di sisi lain, Abdul juga mengharapkan ada kebijakan nonfiskal untuk memulihkan industri furnitur sesuai pandemi. Misal menghilangkan kewajiban sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) pada hilir, karena telah ada SVLK di hulu.
Selain itu, ia juga meminta pembatalan pelonggaran ekspor kayu gergajian hingga 12.000 milimeter persegi. Menurutnya kebijakan itu bertentangan dengan Undang-undang Nomor 3/2014 tentang Perindustrian yang mengamanatkan hilirisasi.
“Seharusnya bahan kayu diolah dalam negeri, bukan diperluas penampangnya untuk ekspor. Suplai untuk industri menjadi berkurang karena terlalu banyak ekspor dalam bentuk mentah,” tuturnya. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.