Salah satu slide yang dipaparkan oleh Kepala Subdirektorat Pemeriksaan Transaksi Khusus, Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan DJP, Affan Nuruliman.
JAKARTA, DDTCNews – Transfer pricing menjadi salah satu isu krusial dalam pemeriksaan pajak seiring dengan terus meningkatnya aktivitas bisnis lintas batas negara (cross border)
Kepala Subdirektorat Pemeriksaan Transaksi Khusus, Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan DJP, Affan Nuruliman menegaskan transfer pricing saat ini menjadi topik utama dalam pemeriksaan pajak, baik di Indonesia maupun global.
“Untuk pemeriksa, transfer pricing sekarang ini menjadi salah satu topik yang penting. Dulu, pemeriksa pajak lebih sering melakukan koreksi atas penjualan yang tidak dilaporkan atau klaim biaya. Namun, kini fokusnya telah beralih ke transfer pricing,” katanya, Kamis (3/10/2024).
Menurut Affan, perubahan itu dipengaruhi oleh pergeseran perilaku wajib pajak. Jika sebelumnya wajib pajak lebih cenderung menghindari pajak secara langsung, kini dilakukan secara tidak langsung melalui praktik transfer pricing yang tidak memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU).
Meningkatnya transaksi intragrup, baik di dalam negeri maupun lintas negara, menjadi salah satu faktor utama isu transfer pricing makin penting. Aktivitas bisnis lintas batas yang makin mudah membuat isu transfer pricing menjadi perhatian bagi pemeriksa pajak.
“Dalam data kami, transaksi intercompany terus meningkat. Pada 2021, nilainya mencapai Rp6.248 triliun. Pada 2022, meningkat menjadi Rp10.360 triliun. Hasilnya, pemeriksaan pajak dengan pengujian transfer pricing terus membesar, lebih dari Rp6 triliun,” tutur Affan.
Selain itu, lanjutnya, permintaan data pembanding oleh pemeriksa pajak juga meningkat tajam. Pada 2022, permintaan data hanya 187 kali, tetapi melonjak menjadi 450 kali pada 2023.
Lebih lanjut, Affan menilai materi transfer pricing juga tidak mudah dipahami, baik oleh pemeriksa pajak maupun wajib pajak, meski telah didiskusikan sejak lama. Kondisi ini menyebabkan perdebatan kerap kali terjadi saat pemeriksaan berlangsung.
“Sayang, meski didiskusikan telah lama, materi transfer pricing tidak mudah dipahami. Akibatnya, jumlah sengketa transfer pricing yang diajukan keberatan atau banding masih tinggi,” ujarnya.
Affan juga mencatat bahwa jumlah sengketa yang telah diputuskan terkait dengan transfer pricing juga terbilang tinggi. Pada 2020, jumlah sengketa mencapai 310 kasus, turun menjadi 249 kasus pada 2021, dan 186 kasus pada 2023.
“Komunikasi yang tidak mulus antara pemeriksa dan wajib pajak juga menjadi kendala utama dalam menyelesaikan sengketa transfer pricing,” jelas Affan. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.