STATISTIK BELANJA PERPAJAKAN

Ini Potensi Penerimaan PPN yang Hilang untuk Keberpihakan Masyarakat

Redaksi DDTCNews | Selasa, 10 Desember 2024 | 18:06 WIB
Ini Potensi Penerimaan PPN yang Hilang untuk Keberpihakan Masyarakat

KEBIJAKAN pajak yang ditempuh pemerintah tidak jarang memunculkan potensi penerimaan yang hilang (revenue forgone). Dengan kata lain, ada kesengajaan untuk tidak memungut pajak sebagai penerimaan untuk tujuan lain yang dianggap lebih penting (prioritas).

Tujuan yang dimaksud seperti meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), mendukung dunia bisnis, serta meningkatkan iklim investasi. Instrumen yang digunakan juga berasal dari berbagai jenis pajak.

Berbagai kebijakan yang berdampak memunculkan potensi penerimaan yang hilang itu biasanya dicatat sebagai belanja perpajakan (tax expenditure). Adapun tax expenditure umumnya hanya ditujukan pada sebagian subjek dan objek pajak dengan persyaratan tertentu. Simak ‘Apa itu Tax Expenditure?’.

Dalam Working Paper DDTC, tax expenditure disebut sebagai ketentuan khusus dari sistem perpajakan yang berlaku secara umum (benchmark tax system) di suatu negara. Ketentuan khusus itu berdampak pada berkurangnya penerimaan pajak yang seharusnya bisa diperoleh suatu negara.

Dalam Laporan Belanja Perpajakan (Tax Expenditure Report) 2022 yang dirilis Kementerian Keuangan, estimasi serta proyeksi belanja perpajakan 2019-2025 paling besar berasal dari pos PPN dan PPnBM. Porsinya sekitar 56,5% hingga 62,2% dari total belanja perpajakan.

Adapun estimasi belanja perpajakan PPN dan PPnBM senilai Rp155,2 triliun (2019) dan Rp192,8 triliun (2022). Pada 2023-2025, nilainya diproyeksi mencapai Rp209,4 triliun, Rp228,1 triliun, dan Rp262,3 triliun. Simak ‘Usung Keberpihakan Masyarakat Kecil, Nilai Fasilitas PPN Masih Besar’.

Berdasarkan pada data yang diolah dari laporan tersebut, setidaknya ada 6 kelompok perlakuan khusus atau fasilitas PPN dan PPnBM. Adapun 5 kelompok tersebut terdiri atas sekitar 50 jenis perlakuan khusus atau fasilitas PPN dan PPnBM.

Jika ditinjau dari kelompoknya, belanja perpajakan ‘dibebaskan atau pembebasan’ tercatat paling besar. Pada 2022, nilainya mencapai Rp114,9 triliun atau 59,62% dari total belanja perpajakan jenis pajak PPN dan PPnBM. Nilainya pada 2023-2025 diproyeksi terus meningkat.

Belanja perpajakan ‘dibebaskan atau pembebasan’ itu terdiri atas 20 perlakuan khusus atau fasilitas. Cakupannya adalah fasilitas yang diberikan untuk jenis-jenis barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP) tertentu.

Kelompok terbesar kedua adalah ‘tidak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan’, yakni senilai Rp49,0 triliun pada 2022. Estimasi tersebut mencapai 25,43% dari total belanja perpajakan jenis pajak PPN dan PPnBM. Nilainya pada 2023-2025 diproyeksi terus meningkat.

Adapun ‘tidak wajib memungut, menyetor dan melaporkan’ merupakan fasilitas bagi pengusaha untuk memilih tidak menjadi PKP. Dengan demikian, pengusaha itu tidak perlu memungut, menyetor dan melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang.

Kemudian, 4 kelompok lainnya secara berurutan, antara lain ‘tidak terutang/tidak dikenakan’ (porsi 7,47%), ‘pengurangan dasar pengenaan pajak/DPP’ (porsi 5,15%), ‘fasilitas PPN dalam rangka pandemi’ (porsi 2,27%), serta ‘tidak dipungut’ (porsi 0,1%). Berikut ini perinciannya.


Threshold PKP dan Barang Kebutuhan Pokok

Jika ditinjau dari jenisnya, ‘PPN tidak wajib dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh pengusaha kecil (pengusaha dengan omzet tidak lebih dari Rp4,8 miliar per tahun) tercatat paling tinggi. Nilainya adalah Rp49,0 triliun atau 25,4% dari total belanja perpajakan pos PPN dan PPnBM pada 2022.

Adapun dasar hukum dari fasilitas ini adalah PMK 68/2010 s.t.d.t.d. PMK 197/2013. Namun, sejak akhir 2023, payung hukum yang berlaku adalah PMK 164/2023. Fasilitas ini lebih sering dikenal dengan pemberlakuan batasan (threshold) PKP.

Pelaku usaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP bila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku peredaran brutonya sudah melebihi Rp4,8 miliar. Threshold PKP senilai Rp4,8 miliar mulai berlaku sejak 2014. Sebelum tahun itu, threshold PKP hanya senilai Rp600 juta.

Menurut World Bank (2024), threshold PKP di Indonesia jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan threshold PKP di negara-negara tetangga dan anggota OECD. Threshold PKP yang tinggi pada akhirnya menekan jumlah badan usaha yang berpartisipasi dalam pemungutan dan penyetoran PPN.

Dalam Laporan Belanja Perpajakan (Tax Expenditure Report) 2022 disebutkan bahwa pengecualian untuk memungut PPN dan PPnBM bagi pengusaha kecil merupakan deviasi terhadap perlakuan pajak standar, yaitu semua pengusaha wajib memungut PPN dan PPnBM dengan batasan yang ditentukan. Kebijakan ini bertujuan untuk mengembangkan UMKM pada berbagai sektor usaha.

Kemudian, urutan terbesar kedua adalah ‘PPN tidak dikenakan atas barang kebutuhan pokok’ senilai Rp38,6 triliun atau sekitar 20,0% dari total belanja perpajakan pos PPN dan PPnBM pada 2022. Nilai belanja perpajakan fasilitas ini diproyeksi juga akan terus meningkat dari tahun ke tahun.

Adapun dasar hukum dari fasilitas ini adalah Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN dan PMK 99/2020; UU HPP; dan PP 49/2022. Sebagai informasi, sejak adanya UU HPP, barang kebutuhan pokok sudah dikeluarkan dari Pasal 4A ayat (2) sehingga sudah menjadi BKP. Namun, pemerintah masih memberikan fasilitas PPN dibebaskan (Pasal 16B UU PPN).

Berdasarkan Laporan Belanja Perpajakan (Tax Expenditure Report) 2022 disebutkan PPN dibebaskan atas barang kebutuhan pokok merupakan deviasi terhadap tax benchmark PPN, yaitu semua barang dan jasa merupakan objek PPN, kecuali barang/jasa yang telah dikenakan pajak daerah. Tujuan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berikut perinciannya.


Berdasarkan pada data-data tersebut, deviasi yang diciptakan dalam konteks kebijakan PPN ternyata berdampak cukup besar dari sisi potensi penerimaan yang seharusnya bisa masuk ke kas negara. Nilai yang dimaksudkan untuk keberpihakan itu otomatis akan naik ketika tarif PPN naik.

Adapun ulasan mengenai PPN ini juga ada dalam 4 buku DDTC. Pertama, Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional. Kedua, Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai. Ketiga, Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional. Keempat, Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran.

Sebagai informasi kembali, hingga saat ini, DDTC sudah menerbitkan 30 buku. Selain wujud nyata dari komitmen sharing knowledge, hal tersebut juga bagian dari pelaksanaan beberapa misi DDTC, yakni berkontribusi dalam perumusan kebijakan pajak dan mengeliminasi informasi asimetris. Simak ‘Kontribusi untuk Negeri, DDTC Sudah Terbitkan 30 Buku Perpajakan’. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 24 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Selasa, 24 Desember 2024 | 18:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA BARAT

Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:27 WIB CORETAX SYSTEM

WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

BERITA PILIHAN
Selasa, 24 Desember 2024 | 21:30 WIB CORETAX SYSTEM

Simak! Keterangan Resmi DJP Soal Tahapan Praimplementasi Coretax

Selasa, 24 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Selasa, 24 Desember 2024 | 18:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA BARAT

Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:27 WIB CORETAX SYSTEM

WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:00 WIB PMK 81/2024

Ini Aturan Terbaru Pengkreditan Pajak Masukan Sebelum Pengukuhan PKP

Selasa, 24 Desember 2024 | 16:30 WIB PROVINSI SUMATERA SELATAN

Realisasi Pajak Rokok di Sumsel Tak Capai Target, Ini Penyebabnya

Selasa, 24 Desember 2024 | 16:00 WIB CORETAX SYSTEM

Nanti Ada Coretax, Masih Perlu Ajukan Sertifikat Elektronik?

Selasa, 24 Desember 2024 | 15:00 WIB KPP PRATAMA KOSAMBI

Utang Pajak Rp632 Juta Tak Dilunasi, Mobil WP Akhirnya Disita KPP