Ilustrasi. (Getty Images)
SIKAP Philip Hammond, Menteri Keuangan Inggris yang baru dilantik pekan lalu, yang menolak melanjutkan rencana pendahulunya untuk menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) badan hingga di bawah 15% dari posisi saat ini 20%, cukup melegakan.
Untuk sementara, pernyataan mantan Menteri Luar Negeri Inggris itu telah meredakan ‘ketegangan fiskal’ antara Inggris dan Uni Eropa, terutama Jerman dan Prancis, menyusul hasil referendum yang mengharuskan Inggris keluar keanggotaannya dari blok tersebut.
Kita bisa melihat, jika rencana itu berlanjut, tensi kompetisi tarif pajak di Eropa, juga dunia, otomatis akan tereskalasi, seiring dengan prospek berubahnya Inggris menjadi tax haven. Upaya harmonisasi tarif pajak di Eropa yang telah dimulai beberapa tahun lalu niscaya akan berantakan.
Sebagai anggota G20 yang PPh-nya rata-rata 20%, kebijakan perpajakan Inggris jelas memengaruhi arah kebijakan perpajakan global. Kalau penurunan pajak itu direalisasikan, perusahaan multinasional penghindar pajak yang ruang geraknya sudah kian menyempit akan kembali mendapat angin.
Prospek seperti itu tentu tidak kondusif bukan saja terhadap rencana besar kebijakan perpajakan global guna memerangi BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) seperti yang telah diinisiasi OECD dan G20. Melainkan juga terhadap upaya pemulihan perekonomian global secara keseluruhan.
Rencana penurunan pajak Inggris guna memenangkan kompetisi menarik investasi sangat tidak sehat. Tinggal masalah waktu, keuntungan jangka pendek yang diperoleh Inggris akibat daya saingnya yang meningkat akan terkoreksi oleh kerugian yang ditimbulkannya di kawasan.
Kita sudah melihat bagaimana atas nama kepentingan memenangkan kompetisi dan pasar misalnya, para produsen minyak di Timur Tengah terus memompa minyaknya hanya untuk menghancurkan revolusi shale gas Amerika Serikat, hingga ikut memperburuk prospek pemulihan ekonomi global.
Benar, adalah hak setiap negara untuk merumuskan kebijakan perpajakannya. Namun, kini kita hidup dalam suatu tatanan yang kian mengikat. Jangan sampai, upaya memperbaiki ekonomi suatu negara menyisakan komplikasi yang menjadi bom waktu bagi ekonomi se-kawasan, bahkan lebih luas lagi.
Kita belum lupa, bagaimana saat negara-negara Eropa beramai-ramai melebarkan defisit anggarannya hampir tanpa reserve untuk mengatasi dampak krisis subprime mortgage pada krisis keuangan global 2008, maka cukup 3 tahun berikutnya Benua Biru itu pun diterpa oleh badai krisis utang.
Karena itu, langkah Menteri Keuangan Inggris layak diapresiasi. Susutnya kepercayaan diri investor terhadap perekonomian Inggris adalah risiko yang harus diterima masyarakat Inggris. Saat mereka memilih keluar dari Uni Eropa, pada saat yang sama mereka sudah harus menyadari risiko itu.
Kita di Indonesia bisa menarik pelajaran penting dari apa yang terjadi di sana. Harmonisasi tarif pajak di kawasan Asia Tenggara adalah sesuatu yang tidak bisa ditunda-tunda. Kesepakatan yang mengarah ke sana harus tetap dipupuk dan dijaga, karena godaan untuk mengambil jalan pintas senantiasa ada.
Kepentingan negara memang harus diutamakan, tetapi tanpa harus mengesampingkan kepentingan kawasan. Sebab hanya dengan cara itu akan tercipta kesaling-pengertian, hingga kompetisi yang ada dapat didesain untuk menjadi insentif kemajuan, bukan untuk saling membinasakan.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.