Kadek Pradnya Nareswari
,PANDEMI Covid-19 mengharuskan masyarakat untuk membatasi kegiatan di luar rumah (social distancing) yang dapat memicu kerumunan. Pelaksanaan kegiatan secara daring atau online menjadi salah satu alternatif yang dapat diambil untuk merespons kondisi tersebut.
Tidak mengherankan jika terdapat lonjakan traffic penggunaan aplikasi belajar online dan layanan konferensi video. Dengan perkembangan tersebut, sudah sangat tepat bagi pemerintah untuk menerbitkan PMK 48/2020 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Penetapan PPN yang berlaku mulai 1 Juli 2020 ini dapat meningkatkan penerimaan negara sebagai dukungan terhadap pemulihan ekonomi. Apalagi, pada 2020, terjadi peningkatan nilai transaksi ekonomi digital Indonesia sebesar 11% menjadi US$44 miliar. Nilai tersebut diprediksi akan terus meningkat menjadi US$124 miliar atau setara dengan Rp1.748 triliun pada 2025 (Google, 2020).
Berdasarkan pada Siaran Pers DJP No. SP-24/2021, hingga Juli 2021, dirjen pajak telah menunjuk sebanyak 81 badan usaha sebagai pemungut PPN produk digital dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Beberapa pemungut PPN PMSE adalah Amazon, Google, Facebook, Netflix, dan Tiktok.
Sejak Januari hingga akhir Juli 2021, realiasi penerimaan PPN produk digital PMSE senilai Rp2,2 triliun. Jumlah tersebut sudah naik dibandingkan dengan performa pada Juli—Desember 2020 yang tercatat senilai Rp915,7 miliar.
Pemungutan PPN PMSE adalah pungutan yang dibebankan bagi kegiatan perdagangan yang transaksinya dilakukan dengan serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. Sama halnya dengan kegiatan perdagangan atau transaksi barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) yang dilakukan secara konvensional, kegiatan PMSE juga dikenakan PPN sebesar 10% dari dasar pengenaan pajak (DPP).
Bukti yang diperoleh dari pembayaran PPN PMSE dapat berupa commercial invoice, billing, order receipt, atau dokumen sejenis. Ada beberapa kriteria pelaku usaha yang dapat menjadi pemungut PPN PMSE. Kriteria yang dimaksud adalah memiliki nilai transaksi Rp600 juta setahun dan Rp50 juta per bulan serta jumlah traffic atau pengakses melebihi jumlah tertentu dalam waktu 12 bulan.
TERDAPAT beberapa poin evaluasi pada satu tahun pemberlakuan PPN PMSE di Indonesia. Salah satunya mengenai masih relevan atau tidaknya penggunaan tarif 10%. Seperti diketahui, pemerintah telah mengusulkan kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 12% melalui RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Usulan kenaikan itu dikarenakan tarif di Indonesia pda saat ini masih berada di bawah rata-rata tarif negara OECD yang mencapai 19%. Kemudian, tarif yang berlaku berada di bawah rata-rata global sebesar 15,4%.
Negara-negara di dunia seperti Arab, Norwegia, dan Belgia juga telah mengubah tarif. Penyesuaian tarif dasar PPN PMSE harus dikaji ulang agar dapat mencapai keadilan serta mengoptimalkan penerimaan. Apalagi, penggunaan teknologi digital terus meningkat.
Pembebanan tarif tersebut juga tetap harus memperhatikan industri dalam negeri sehingga dapat terus berkembang. Perlu adanya pertimbangan besaran tarif tidak membebani masyarakat yang justru sangat terdampak pandemi Covid-19.
Evaluasi selanjutnya berkaitan dengan kepatuhan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN PMSE. Berdasarkan pada pasal 7 UU 2/2020, penyelenggara PPMSE luar negeri yang tidak memenuhi ketentuan, dikenai sanksi administratif serta sanksi berupa pemutusan akses setelah diberi teguran.
Pemutusan akses justru juga akan berdampak pada Indonesia. Hal ini dikarenakan masyarakat tidak akan bisa mengakses layanan pada perusahaan yang telah dihentikan operasinya akibat tidak menanggapi teguran dalam jangka waktu tertentu.
Terdapat beberapa kendala dalam penerapan PPN PMSE pada setahun pertama ini. Namun, pemerintah melalui Ditjen Pajak terus berusaha untuk menyederhanakan dan meningkatkan pengawasan terhadap pungutan PPN PMSE ini.
Berdasarkan pada kajian dari Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR, terdapat metode yang dapat diadopsi dari Eropa. Metode yang dimaksud berupa mekanisme pembayaran barang atau jasa yang dilakukan oleh pembeli ke suatu rekening bank tertentu.
Kemudian, masih dalam metode tersebut, pihak bank akan memisahkan jumlah penjualan bersih ke akun penjual dan jumlah PPN yang dibayarkan ke akun khusus PPN. Pemisahan dilakukan secara otomatis oleh pihak bank.
Hal tersebut akan memudahkan dalam pengawasan, meningkatkan kepatuhan, dan mencegah tindak kejahatan penipuan atau penggelapan yang dapat mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan dari PPN PMSE.
Dikarenakan potensi penerimaan PPN PMSE pada masa pandemi ini cukup besar berkontribusi dalam penerimaan negara, optimalisasi penerimaan harus terus diupayakan. Upaya tersebut tidak dapat hanya dilakukan oleh satu pihak. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya kerjasama yang baik antara perusahaan penyedia transaksi digital, pemerintah, dan masyarakat Indonesia.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.