DDTCNEWS TAX COMPETITION 2018:

Ekonomi Digital Indonesia: Pajaknya Sekarang atau Nanti?

Redaksi DDTCNews | Selasa, 25 September 2018 | 20:03 WIB
Ekonomi Digital Indonesia: Pajaknya Sekarang atau Nanti?
Herlina Utamawati & Romi Febriyanto
Politeknik Keuangan Negara STAN
,

KEMAJUAN teknologi informasi dan komunikasi saat ini telah memicu perubahan di berbagai aspek kehidupan masyarakat, tidak terkecuali dalam aktivitas ekonomi. Kondisi ini pada gilirannya memunculkan istilah ekonomi digital. Istilah ini sering diartikan sebagai aktivitas sosial dan ekonomi dalam suatu jaringan global karena adanya teknologi informasi seperti internet.

Aktivitas yang mulai marak di seluruh penjuru dunia ini mencakup beberapa aspek, seperti perdagangan (e-commerceatau perdagangan berbasis elektronik), pendidikan (kursus daring), jejaring sosial, transportasi (kendaraan otonom), hingga kesehatan (rekam medis elektronik).

Terminologi ekonomi digital dapat ditelusuri dari 1995, seperti yang ditulis Don Tapscott dalam bukunya The Digital Economy: Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence. Tapscott menjelaskan bahwa perkembangan teknologi saat ini mendorong berkembangnya suatu jenis ekonomi baru (new economy) yakni ekonomi digital itu sendiri.

Dalam ekonomi digital, seluruh bentuk informasi menjadi digital atau dipecah menjadi bit yang disimpan dalam komputer dan bergerak dengan sangat cepat melalui jaringan internet. Kondisi ini mendorong peluang dan inovasi baru yang tidak terbayangkan sebelumnya, dalam konsep ekonomi lama yang sangat mengandalkan interaksi fisik.

Di Indonesia, ekonomi digital mempunyai potensi yang besar, bahkan diestimasi mampu menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Tidak mengherankan jika pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 74/2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (roadmap e-commerce) 2017 – 2019 untuk mendukung dan mengoptimalkan potensi ekonomi digital.

Otoritas terkait pun memaparkan pasar potensial perdagangan berbasis elektronik diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai US$156 miliar (setara Rp2.184 triliun dengan asumsi kurs Rp14.000 per dolar Amerika Serikat) pada 2025. Rilis McKinsey Indonesia pada 2016 juga memproyeksi potensi peningkatan ekonomi senilai US$150 miliar pada 2025 melalui revolusi digital.

Perkembangan teknologi dan tatanan ekonomi digital ini pada gilirannya mendesak adanya adaptasi dari pemangku kebijakan perpajakan. Maklum, pendekatan pemajakan konvensional tidak dapat seluruhnya diterapkan untuk menghadapi pesatnya perkembangan teknologi.

Kendati demikian, penghitungan pajak pada dasarnya membutuhkan dua variabel utama yakni subjek pajak dan objek pajak. Penentuan subjek pajak umumnya berdasarkan kehadiran fisik yang tidak dibutuhkan lagi dalam praktik ekonomi digital. Sementara, tantangan yang dihadapi dalam penentuan objek pajak adalah penentuan kategori penghasilan atau transaksi yang menjadi dasar pemajakan.

Berikut ini tiga dimensi utama digital ekonomi yang disampaikan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dalam laporan bertajuk ‘Measuring The Digital Economy’ yang dirilis pada tahun ini.


Tantangan Pemajakan

Bagaimanapun, pesatnya ekonomi digital juga memunculkan beberapa celah penghindaran pajak. Salah satu skema penghindaran pajak yang terkenal adalah Double Irish and Dutch Sandwich. Skema penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional di Amerika Serikat ini dilakukan dengan memanfaatkan aturan perpajakan di Irlandia dan tax treaty yang berlaku.

Dengan aturan itu, perusahaan mengalihkanpenghasilan berupa royalti dari Amerika Serikat ke anak perusahaan (subsidiary) yang ada Irlandia. Kendali ada di tangan manajer yang berlokasi di yurisdiksi dengan tarif pajak sangat rendah dan sistem keuangan tertutup (tax haven countries). Skema ini telah digunakan oleh raksasa teknologi seperti Apple sejak akhir 1980.

Skema penghindaran pajak ini juga terjadi di Indonesia dalam kasus pemajakan Google. Dalam Perjanjian Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B), laba usaha yang diperoleh Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) dapat dikenai pajak, sepanjang dilakukan melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Tanah Air. Namun, Google menolak ditetapkan maupun dikategorikan sebagai BUT dengan alasan status kantor di Indonesia hanya sebagai perwakilan.

Berbagai celah yang muncul ini mendapat respons dari Organisation for Economic Co-operation and Development. Lembaga ini menginisiasi 15 rencana aksi yang akrab disebut OECD Base Erosion Profit Shifting (BEPS) Framework. Rencana aksi pertama fokus pada penanganan tantangan pajak pada ekonomi digital.

Dalam rencana aksi pertama BEPS, ada beberapa rekomendasi yang bisa menjadi solusi alternatif dalam menghadapi tantangan pemajakan ekonomi digital. Pertama, perubahan aturan pengecualian status BUT. Kedua,alternatif batasan (threshold) BUT saat ini. Ketiga, pemotongan/pemungutan pajak atas transaksi digital tertentu (withholding tax). Keempat, pengenalan jenis pungutan baru atau cukai.

Pasalnya, suatu model usaha yang terus berkembang dan menjadi fenomena global dalam ekonomi digital bukanlah tantangan pajak baru. Ekonomi digital lebih dipandang sebagai aspek yang memperburuk tantangan pemajakan yang telah dikenal sebelumnya, seperti penentuan hak pemajakan karena tingginya mobilitas pelaku usaha dan kecenderungan pelaku usaha yang tidak selalu memiliki kehadiran fisik di suatu negara atau yurisdiksi.

Tantangan lain dalam perpajakan adalah pemisahan dan penentuan jenis penghasilan dari aktivitas nilai tambah yang dijalankan oleh pelaku usaha ekonomi digital. Bagaimanapun, kegiatan ekonomi digital sangat dipengaruhi oleh kepemilikan aset tak berwujud dan pemanfaatan data yang dikumpulkan dari para pengguna atau konsumen.

Pendekatan Awal Indonesia

Secara umum, belum terdapat pengaturan khusus terkait pajak atas aktivitas ekonomi digital di Indonesia. Otoritas hanya memberikan penegasan tidak adanya perlakuan perpajakan yang berbeda bagi pelaku usaha perdagangan berbasis elektronik dengan pelaku usaha lainnya. Penegasan ini diamanatkan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak SE-62/PJ/2013.

Sementara, regulasi khusus aktivitas ekonomi digital lainnya – seperti iklan digital, layanan berbagi transportasi, maupun layanan kesehatan berbasis internet – juga belum ada.

Seperti diketahui, dalam penentuan subjek pajak, status BUT atas perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia menjadi instrumen utama. Dalam konsep BUT selama ini, kehadiran suatu usaha lebih dititikberatkan pada kehadiran fisik (physical presence). Padahal, kehadiran fisik ini menjadi semakin bias dalam konteks ekonomi digital.

Sementara, penentuan objek pajak, khususnya pajak penghasilan (PPh), lebih pada bentuk penghasilan dan hak pemajakannya. Salah satu contohnya adalah pendapatan dari jasa dengan hak pemajakan berada di negara atau yurisdiksi tempat jasa tersebut dilakukan. Hal yang sama juga terjadi dari pendapatan intellectual property dan aktivitas perdagangan.

Pemajakan transaksi cross-border ekonomi digital dari sisi PPh cukup sulit dilakukan karena hak pemajakan ditentukan berdasarkan P3B yang sebagian besar masih menggunakan konsep BUT berupa kehadiran fisik.

Mengingat belum adanya konsensus global, salah satu langkah yang dapat diambil pemerintah adalah negosiasi P3B melalui MLI (multilateral instrument). Langkah lain yang bisa diambil adalah dengan mengimplementasikaninterim measures, seperti rekomendasi OECD melalui suatu pungutan pajak baru (equalization levy).

Selanjutnya, dari sisi pajak pertambahan nilai (PPN), penentuan objek di Indonesia cukup jelas diatur dalam UU PPN. Dalam beleid itu, objek PPN adalah penyerahan barang (berwujud atau tak berwujud) dan jasa di dalam negeri. Dalam konteks ini, tantangan yang dihadapi pemerintah lebih pada sisi administrasi, baik pengawasan penyerahan dan mekanisme pemungutan PPN.

Pemajakan PPN atas transaksi barang dan jasa digital dapat dilakukan melalui mekanisme pemungutan PPN baik oleh pemasok (supplier), konsumen dalam negeri, atau melalui agen perantara (intermediary). Sejalan dengan hal itu, pengawasan transaksi dan penegakan aturan dapat diperbaiki mulai dari tahapan pendaftaran pelaku usaha hingga kerjasama dengan instansi lainnya untuk penyediaan data dan informasi transaksi.

Lebih dari itu, dalam penyusunan kebijakan, pemerintah memang seharusnya tidak hanya memperhatikan hak pemajakan, tetapi juga harus memperhatikan keseimbangan pemajakan dengan pertumbuhan ekonomi. Pertimbangan cost-benefit dalam pengaturan suatu kelompok ekonomi, misalnya ekonomi digital, harus benar-benar diperhatikan. Jangan sampai pemerintah tidak mendapatkan apa-apa dari euforia perkembangan sektor ekonomi tertentu. Di sisi lain, jangan sampai juga ada langkah terkait pajak yang menghambat perkembangan salah satu sektor ekonomi.

Namun demikian, semakin banyaknya pengaturan khusus di bidang perpajakan pada gilirannya akan semakin menghilangkan sifat netralitas pajak khususnya di dalam ekonomi. Idealnya, pengenaan pajak seharusnya mengikuti prinsip-prinsip perpajakan umum yang sudah berlaku sehingga tidak ada perbedaan antara sektor yang satu dengan yang lainnya. Pengaturan khusus dapat dilakukan selaras dengan perkembangan di dunia internasional.

Dalam upaya pemajakan aktivitas ekonomi digital di Indonesia, pemerintah menghadapi tantangan yang baik dari sisi identifikasi pelaku usaha, aktivitas perekonomian, hingga administrasinya. Sejalan dengan pendapat Arthur Vanderbilt, pajak merupakan kewajiban warga negara sehingga sudah selayaknya pemajakan atas aktivitas ekonomi digital dilakukan saat ini.

Sayangnya, pemerintah tidak dapat memungkiri adanya tantangan penyusunan aturan yang sederhana dan mudah, sebagaimana diutarakan oleh Henry David Thoreau, Simplify, simplify”. Adam Smith pun pernah berkata“Little else is requisite to carry a state to the highest degree of opulence from the lowest barbarism but peace, easy taxes, and a tolerable administration of justice: all the rest being brought about by the natural course of things".*

*Artikel esai ini merupakan salah satu dari 15 esai terpilih yang lolos seleksi awal DDTCNews Tax Competition 2018.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Sabtu, 23 November 2024 | 12:25 WIB UNIVERSITAS INDONESIA

Babak Final Tax Case TIF FEB UI, Bahas Kenaikan PPN 12%

Selasa, 24 September 2024 | 15:45 WIB LOMBA PAJAK

Peringkat Universitas di Kuis Tax Genius Battle Perpajakan DDTC

Selasa, 17 September 2024 | 14:00 WIB LOMBA PAJAK

FEB UI Adakan Kompetisi Kasus Pajak untuk Mahasiswa, Tertarik?

Kamis, 29 Agustus 2024 | 10:21 WIB KANWIL DJP JAKARTA TIMUR

Dorong Literasi Pajak Siswa SMA, DJP Jaktim Gelar Lomba Cepat Tepat

BERITA PILIHAN