LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK

Dompet Digital dan Penerimaan Pajak

Redaksi DDTCNews | Selasa, 23 Januari 2018 | 16:48 WIB
Dompet Digital dan Penerimaan Pajak
Putra Aryotama, Politeknik Keuangan Negara STAN - Bintaro

BAYANGKAN dunia di mana setiap orang bisa keluar rumah tanpa perlu khawatir karena tidak membawa dompet dan uang. Penggunaan uang fisik dalam kehidupan sehari-hari yang sudah mendarah-daging dalam kehidupan masyarakat sehingga ide perihal cashless ekonomi bisa dibilang radikal.

Penggunaan uang fisik sudah semakin berkurang dengan hadirnya kartu debit, kartu kredit, serta internet banking. Kemajuan teknologi komunikasi yang pesat melahirkan inovasi-inovasi yang tidak diprediksi sebelumnya. Siapa sangka, saat ini ada kemungkinan keberadaan uang fisik bisa dieliminasi sepenuhnya.

Di Tiongkok, dampak teknologi terhadap uang fisik sudah sangat terasa. Disana, penggunaan dompet digital dalam melakukan pembayaran diperkirakan telah melampaui penggunaan uang konvensional.

Melalui teknologi quick response code (QR code), penyedia platform seperti WeChat dan Alipay memudahkan penggunannya untuk memindahkan “uang” yang dimilikinya kepada pihak lain menggunakan smartphone. Supermarket, toko kelontong, penjual di pasar, pedagang kaki lima dan bahkan pengemis pun memakainya sebagai media transaksi dan pembayaran.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?, dari total populasi, hanya 47% diantaranya yang memiliki smartphone dan 51% yang punya akses internet. Saat ini, pembayaran digital sudah mulai digunakan oleh masyarakat dengan hadirnya beberapa aplikasi meski penggunaannya masih terbatas.

Platform seperti TCash dan PayPro misalnya, hanya bisa digunakan untuk melakukan pembayaran di vendor dan tempat-tempat tertentu. Begitu juga GoPay dan GrabPay hanya bisa digunakan di internal aplikasi masing-masing yaitu GoJek dan Grab.

TAX RATIO RENDAH

LALU apa hubungannya dengan pajak? Berdasarkan data World Bank, Indonesia saat ini merupakan salah satu negara dengan tax ratio terendah di dunia. Jika melihat negara tetangga seperti Singapura dengan 14,3% dan Thailand 15,7%, Indonesia masih berada di bawah.

Negara-negara maju rata-rata memiliki tax ratio diatas angka 30%. Salah satu permasalahan utama rendahnya tax ratio Indonesia adalah kurangnya tingkat kepatuhan dan kontribusi masyarakat. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP), jumlah Wajib Pajak (WP) yang terdaftar sampai dengan akhir 2016 adalah sebesar 32.769.215 WP, sekitar 29 juta diantaranya adalah WP Orang Pribadi. Angka yang sangat kecil jika dibandingkan dengan total populasi 261,1 juta penduduk.

Berdasarkan laporan kinerja DJP tahun 2016, dari 20 juta WP yang wajib menyampaikan SPT, baru 63,15% (sekitar 12 juta) yang melaksanakan kewajibannya. SPT yang disampaikan pun belum tentu benar. Kapasitas pajak di Indonesia belum maksimal.

Sebagai informasi, DJP telah melaksanakan program Sensus Pajak Nasional pada tahun 2012, namun hasil dan dampaknya terhadap penerimaan negara tidak terlalu menggembirakan.

Kenaikan realisasi penerimaan pajak tahun 2011 sebesar 114,51 triliun, 2012 sebesar 92,69 triliun, dan 2013 sebesar 85,968 triliun. Begitu juga dengan jumlah penambahan Wajib Pajak orang pribadi yang terus menurun: tahun 2011 sebesar 3.001.035 orang sedangkan 2012 sebesar 2.249.639 orang. Inventarisasi secara door to door tidaklah efektif dan efisien.

Salah satu cara yang paling efektif bagi DJP untuk meningkatkan penerimaan pajak ialah melalui kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi dengan mengandalkan basis data. Data yang akurat dan handal tidak bisa memberikan ruang bagi wajib pajak untuk mengelak.

Undang-undang KUP saat ini telah memberikan legitimasi kepada DJP untuk mendapatkan data dari berbagai pihak: instansi pemerintah (pusat dan daerah) maupun swasta (perbankan, asosiasi, dsb). Saat ini data yang diperoleh DJP hanyalah data ekonomi formal.

Sementara itu, data ekonomi informal masih sangat sulit ditelusuri dan direkam. Padahal sektor informal di Indonesia memiliki ukuran yang sangat besar, namun kontribusi pajaknya kecil. Selain itu masih banyak juga usaha-usaha di sektor formal yang masih bisa menyembunyikan penghasilannya tanpa terdeteksi.

Pada titik inilah ekonomi digital memainkan peran. pemerintah dapat memanfaatkannya dalam usaha menggali potensi pajak yang sebelumnya belum pernah tersentu.

Penggunaan ekonomi berbasis digital, dimana semua data transaksi (arus kas masuk dan keluar seseorang) akan terekam. Pemerintah bisa mendapat akses data ini melalui penyedia platform dan kemudian menggunakannya untuk menggali potensi pajak serta sebagai alat pembuktian yang kuat. Tidak ada celah bagi seseorang untuk mengelak dari pajak. Dengan begitu, kepatuhan dan penerimaan diharapkan akan meningkat.

SKEMA INSENTIF

UNTUK mencapai keadaan tersebut, dukungan pemerintah sangat diperlukan. Dari segi aturan, potongan tarif PPN untuk pembelian smartphone mungkin bisa meningkatkan penggunaannya di Indonesia. Skema insentif pajak bisa diberikan kepada mereka yang mengembangkan platform dompet-dompet digital ini.

Insentif juga diberikan kepada mereka yang menggunakan dompet digital dalam keseharian transaksinya, mungkin penurunan tarif PPh sebesar 1-2% lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak menggunakan dompet digital. Tujuannya yaitu mendorong semakin banyak pengguna agar beralih menggunakan dompet digital. Semakin banyak yang beralih, maka akan menimbulkan efek domino.

Mereka yang tidak ikut dalam revolusi digital ini akan merasakan sebuah disinsentif, biaya dari tidak menggunakan dompet digital akan semakin besar. Pemerintah juga bisa membuka akses langsung pembayaran pajak melalui dompet digital ke kas negara. Hal ini akan memberikan tambahan alasan bagi penggunaan dompet digital.

Penggunaan dompet digital juga membutuhkan dukungan infrastruktur pemerintah. Ketersediaan dan kecepatan akses internet harus bisa menjangkau seluruh wilayah negara. Ini adalah faktor yang krusial dalam mendukung ekonomi digital.

Selain itu, masyarakat juga harus merasa aman terkait data transaksi ekonomi mereka. Pemerintah perlu membuat ketentuan yang menjamin kerahasiaan data-data transaksi ini. Simplifikasi dan dukungan regulasi dari Bank Indonesia juga sangat diperlukan, tanpa mengorbankan stabilitas moneter.

Harapannya dalam jangka panjang, dengan semakin berkembangnya ekonomi digital maka sistem perpajakan yang telah dibangun ini akan bekerja secara autopilot dalam menarik dana dari masyarakat.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 08 November 2024 | 14:00 WIB LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Cerita Analis DJP, Juara II Lomba Menulis Artikel Pajak DDTCNews 2024

Jumat, 01 November 2024 | 13:49 WIB HUT KE-17 DDTC

Temu Kontributor Buku DDTC: Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran

Rabu, 30 Oktober 2024 | 15:45 WIB ARTICLE WRITING FAIR - KOSTAF FIA UI

Optimalisasi Penerimaan Pajak Era Digital, Menilik Peluang Taxologist

Selasa, 29 Oktober 2024 | 16:25 WIB ARTICLE WRITING FAIR - KOSTAF FIA UI

Jangkau Gen Z: Strategi Komunikasi DJP untuk Gapai Kepercayaan Publik

BERITA PILIHAN