BERITA PAJAK HARI INI

Dirilis, Beleid Perlakuan Khusus Perdagangan Negara Kurang Berkembang

Redaksi DDTCNews | Senin, 23 September 2019 | 08:54 WIB
Dirilis, Beleid Perlakuan Khusus Perdagangan Negara Kurang Berkembang

Ilustrasi impor. 

JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah merilis beleid tata cara pemberian preferensi perdagangan kepada negara kurang berkembang. Topik tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Senin (23/9/2019).

Beleid yang dimaksud adalah Peraturan Presiden (Perpres) No. 57/2019. Beleid yang diundangkan dan berlaku mulai 27 Agustus 2019 ini mengatur pemberian preferensi perdagangan barang maupun jasa kepada negara kurang berkembang.

Preferensi perdagangan adalah pemberian perlakuan khusus dan berbeda di bidang perdagangan barang dan jasa. Perlakuan khusus untuk perdagangan barang ini diberikan dalam dua bentuk. Pertama, penurunan dan/atau penghapusan tarif. Kedua, pemberian dan/atau penghapusan kuota.

Baca Juga:
Masih Ada Fasilitas Kepabeanan Tak Dimanfaatkan, DJBC Beri Penjelasan

Selanjutnya, perlakuan khusus untuk perdagangan jasa dapat diberikan dalam bentuk pengurangan atau pengecualian atas persyaratan dan/atau pembatasan terhadap penyedia jasa dari negara berkembang dibandingkan dengan penyedia jasa dari negara-negara lainnya.

Adapun yang dimaksud dengan negara kurang berkembang adalah negara-negara di dunia yang tercantum dalam daftar negara kurang berkembang (least developed countries) yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pemberian preferensi perdagangan secara unilateral kepada negara kurang berkembang didasarkan pada perjanjian atau kesepakatan internasional sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional.

Baca Juga:
Coretax Diterapkan 1 Januari 2025, PKP Perlu Ajukan Sertel Baru

Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti masalah penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan. Apalagi, pekan lalu, pemerintah India telah memangkas tarif PPh badan dari semula 30% menjadi 25,17%.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Penurunan dan Penghapusan Tarif

Untuk preferensi perdagangan barang kepada negara kurang berkembang berupa penurunan dan/atau penghapusan tarif, Menteri Perdagangan berdasarkan rekomendasi dari menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian terkait, menetapkan jenis barang dan jangka waktu pemberian preferensi.

Baca Juga:
PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

Selanjutnya Menteri Perdagangan menyampaikan jenis barang dan jangka waktu pemberian preferensi, serta usulan besaran tarif kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan sesuai dengan mekanisme penetapan tarif.

  • Tarif Efektif

Hingga saat ini, rencana penurunan tarif PPh badan Indonesia dari 25% menjadi 20% masih belum terealisasi. Belum lama ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan akan memasukkan penurunan tarif dalam omnibus law berupa RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan sembari menunggu penurunan tarif PPh badan, WP bisa memanfaatkan fasilitas yang ada sehingga tarif efektif bisa turun.

Baca Juga:
Tahap Pra-Implementasi Aplikasi Coretax, DJP Imbau WP Soal Ini

“Misalnya, [memanfaatkan] tax holiday, tax allowance, super tax deduction, dan pasal 31. Secara umum, dengan berbagai insentif ini, tingkat tarif efektif PPh kita sudah sekitar 23%,” katanya.

  • Debt Switch

Pemerintah merencanakan pelaksanaan debt switch yang lebih sering pada tahun ini. Langkah ini bertujuan untuk mendukung strategi perpanjangan durasi utang jatuh tempo. Saat ini, rata-rata utang pemerintah jatuh tempo 2019—2024 cukup besar, yaitu mencapai Rp333,4 triliun.

“Dalam rangka pengelolaan portofolio SUN dan memanfaatkan kondisi pasar keuangan yang cukup kondusif pasca pengumuman penurunan Fed Fund Rate, pemerintah melakukan debt switch,” kata Dirjen Pengelolaan, Pembiayaan, dan Risiko Kemenkeu Luky Alfirman. (kaw)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 27 Desember 2024 | 12:30 WIB LAPORAN BELANJA PERPAJAKAN

Masih Ada Fasilitas Kepabeanan Tak Dimanfaatkan, DJBC Beri Penjelasan

Jumat, 27 Desember 2024 | 09:07 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Coretax Diterapkan 1 Januari 2025, PKP Perlu Ajukan Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:45 WIB BERITA PAJAK HARI INI

PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

Rabu, 25 Desember 2024 | 08:00 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Tahap Pra-Implementasi Aplikasi Coretax, DJP Imbau WP Soal Ini

BERITA PILIHAN
Jumat, 27 Desember 2024 | 15:15 WIB KONSULTASI PAJAK

Pedagang Gunakan QRIS untuk Pembayaran, Konsumen Bayar PPN 12 Persen?

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:00 WIB KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu Pembukuan dalam bidang Kepabeanan?

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Yuridis Pengenaan PPN atas Jasa Kecantikan

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:00 WIB KELAS PPN

Konsep PPN, Deviasi, dan Isu Kenaikan PPN 12%

Jumat, 27 Desember 2024 | 13:30 WIB UU HKPD

Berlaku Mulai 5 Januari 2025, Begini Penghitungan Opsen Pajak

Jumat, 27 Desember 2024 | 12:30 WIB LAPORAN BELANJA PERPAJAKAN

Masih Ada Fasilitas Kepabeanan Tak Dimanfaatkan, DJBC Beri Penjelasan

Jumat, 27 Desember 2024 | 12:00 WIB PMK 81/2024

Catat! Dokumen WP Badan Era Coretax Diteken Pakai Sertel Pengurus

Jumat, 27 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 168/2023

Penghitungan PPh 21 Pegawai Tidak Tetap untuk Masa Pajak Desember

Jumat, 27 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Analisis Kesebandingan dalam Tahapan Penerapan PKKU

Jumat, 27 Desember 2024 | 10:45 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jamin Stimulus Ekonomi Efektif, Birokrasi Penyaluran Perlu Dipermudah