ANALISIS

Catatan untuk Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pajak Internasional

Kamis, 12 Juli 2018 | 08:17 WIB
Catatan untuk Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pajak Internasional

Ganda Christian Tobing,
DDTC Consulting

JARGON pencegahan penghindaran pajak identik dan menghiasi mayoritas Rencana Aksi (Action Plan) dalam BEPS project. Fokus pada implementasi Rencana Aksi terkait pencegahan penghindaran pajak telah mengalihkan perhatian komunitas pajak dari implementasi BEPS project yang seharusnya berimbang dengan implementasi Rencana Aksi yang terkait dengan instrumen untuk memberikan kepastian hukum dan dapat diprediksi bagi pelaku usaha di era pasca BEPS.

Padahal, sebagai bagian dari prinsip transparansi yang diusung dalam BEPS project, Action Plan 14 mengenai efektifitas mekanisme penyelesaian sengketa pajak internasional yang didasarkan pada unsur kepastian hukum dan dapat diprediksi direkomendasikan sebagai standar minimum dalam implementasi BEPS project. Terkait dengan isu transparansi di dunia perpajakan, seharusnya tidak menyangkut transparansi di sisi wajib pajak saja, tetapi juga transparansi di sisi otoritas pajak.

Memang, terlihat adanya perubahan sikap terkait penyelesaian sengketa pajak internasional sejak Final ReportAction Plan 14 dirilis di tahun 2015 lalu. Di Indonesia, misalnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berpartisipasi dalam platform OECD MAP Forum dengan memublikasikan profil Mutual Agreement Procedure (MAP) dan secara transparan dalam mengungkap data statistik MAP di Indonesia.

Selama ini tidak banyak yang diketahui tentang data statistik MAP, selain misalnya dari Laporan Tahunan DJP tahun 2011 yang mencatat bahwa DJP sedang melakukan proses MAP dengan 4 negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), dan dalam Laporan Tahunan DJP tahun 2013 yang mengulas tentang keterlibatan DJP dalam proses MAP dengan 5 negara mitra P3B.

Akan tetapi, data statistik MAP di Indonesia menunjukkan tentang begitu tergantungnya proses MAP pada proses penyelesaian sengketa melalui jalur domestik (keberatan dan banding). Jika diidentifikasi, dari 32 kasus MAP yang diselesaikan di tahun 2016, 26 kasus diantaranya adalah kasus di mana DJP dan pejabat yang berwenang (competent authority) dari negara mitra P3B setuju untuk menutup proses MAP dan mematuhi serta melaksanakan putusan Pengadilan Pajak.

Kasus di atas menjadi catatan yang kurang mengesankan bagi wajib pajak yang berharap banyak kepada proses MAP. Walaupun MAP tidak mengharuskan adanya kesepakatan bersama, tetapi tindakan untuk menutup kasus MAP dan sepenuhnya menyerahkan penyelesaian kasus tersebut ke Pengadilan Pajak dapat menyebabkan MAP bukan menjadi pilihan yang menarik bagi wajib pajak untuk menyelesaikan sengketa.

Dalam hal ini penulis melihat perlunya suatu terobosan untuk membuat MAP efektif dalam proses pelaksanaannya. Itu bisa dilakukan dengan menangguhkan penyelesaian sengketa melalui jalur domestik bagi wajib pajak yang membawa kasusnya ke proses MAP (prinsip lis alibi pendens). Selain itu, mengingat Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang memuat koreksi yang diajukan MAP juga kemungkinan memuat koreksi yang tidak diajukan MAP, tetapi diajukan keberatan dan banding maka perbaikan aturan perlu dilakukan untuk menghindari kebuntuan dalam mengimplementasikan hasil MAP. Yaitu, ketika ternyata Pengadilan Pajak telah menerbitkan putusan terkait SKP atas kasus yang tidak berhubungan dengan kasus yang diajukan MAP tersebut.

Tidak adanya keharusan untuk mendapatkan kesepakatan bersama dalam MAP mendorong Action Plan 14 merekomendasikan perlunya menempuh jalur Arbitrase (mandatory binding arbitration) dalam penyelesaian sengketa pajak internasional. Rekomendasi untuk menempuh prosedur Arbitrase dalam Action Plan 14 merupakan pilihan dan bukan suatu keharusan dalam implementasi standar minimum BEPS project. Dengan perkataan lain, Arbitrase bukanlah standar minimum dalam BEPS project.

Perlu dicatat prosedur Arbitrase dimaksudkan sebagai suplemen dari proses MAP sehingga Arbitrase tidak bisa dilakukan tanpa terlebih dahulu melalui proses MAP. Dalam Pasal 25(5) OECD Model dan dalam Pasal 19 Multilateral Instrument (MLI), apabila dalam jangka waktu 2 tahun setelah MAP dimulai, competent authority dari kedua negara tidak dapat menyelesaian sengketa melalui MAP, maka terdapat kewajiban untuk meneruskan sengketa tersebut melalui prosedur Arbitrase.

Meskipun selama hampir 20 tahun Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan terkait Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 (UU Arbitrase), tetapi kondisi ini tidak membuat prosedur Arbitrase dikenal secara luas dalam dunia perpajakan Indonesia.

Permasalahan tersebut dikarenakan UU Arbitrase yang ada saat ini tidak mencakup sengketa pajak. Akan tetapi, prosedur Arbitrase maupun alternatif penyelesaian sengketa lainnya semestinya mendapat perhatian khusus atau mungkin menjadi gagasan inspiratif bagi pembuat Undang-undang perpajakan dalam menyusun instrumen hukum penyelesaian sengketa pajak di tengah tsunami sengketa yang terus mengalir dan menumpuk di Pengadilan Pajak.

Dalam jaringan P3B Indonesia, ketentuan Arbitrase hanya terdapat dalam P3B dengan Meksiko yang ditandatangani pada tahun 2002. Dalam Pasal 25(5) P3B Indonesia dan Meksiko, mengatur bahwa prosedur Arbitrase dapat dimulai jika wajib pajak dan kedua otoritas pajak setuju agar Arbitrase dilakukan, dan wajib pajak setuju untuk terikat pada putusan Arbitrase. Namun tidak ada informasi ataupun data statistik tentang pelaksanaan prosedur Arbitrase berdasarkan P3B Indonesia dan Meksiko dan juga terkait kebijakan Pemerintah Indonesia ketika menegosiasikan P3B dengan Pemerintah Meksiko.

Mempertimbangkan tidak adanya informasi tentang kebijakan yang ditempuh dalam negosiasi P3B dengan Pemerintah Meksiko, penulis menduga bahwa kemungkinan masuknya ketentuan Arbitrase merupakan strategi Pemerintah Meksiko dalam negosiasi P3B dengan negara-negara ASEAN. Dalam jaringan P3B dari negara-negara ASEAN yang saat ini sudah berlaku secara efektif, hanya ada dua P3B yang memiliki ketentuan Arbitrase, yaitu P3B antara Indonesia dan Meksiko serta P3B antara Singapura dan Meksiko.

Ketentuan Arbitrase dalam P3B Singapura dan Meksiko sangat identik dengan ketentuan Arbitrase dalam P3B Indonesia dan Meksiko. Malaysia sedang melakukan negosiasi P3B dengan Meksiko, dan menarik untuk menunggu apakah ketentuan Arbitrase ini juga dimasukkan dalam P3B Malaysia dan Meksiko nantinya.

Keengganan Pemerintah Indonesia untuk memasukkan ketentuan Arbitrase dalam jaringan P3B Indonesia tampaknya merupakan kebijakan yang diambil dalam negosiasi P3B. Itu terlihat dari tidak adanya ketentuan Arbitrase dalam berbagai P3B yang ditandatangani Pemerintah Indonesia setelah P3B dengan Meksiko dan posisi Pemerintah Indonesia untuk tidak mengadopsi ketentuan Arbitrase dalam MLI.

Meskipun demikian, tidak ada pernyataan resmi dari DJP dan Kementerian Keuangan terkait posisi untuk tidak mengadopsi ketentuan Arbitrase dalam P3B. Faktor-faktor yang umumnya melatari pilihan Pemerintah dari negara berkembang untuk tidak mengadopsi ketentuan Arbitrase diantaranya adalah terkait permasalahan kedaulatan pajak di mana permasalahan penerimaan pajak adalah hal yang sensitive. Dengan demikian, Pemerintah tidak mau melepas kedaulatannya kepada pihak ketiga untuk memutus sengketa pajak.

Meskipun prosedur Arbitrase mendorong kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa, namun tampaknya prosedur Arbitrase tidak akan diadopsi oleh banyak negara berkembang dalam waktu dekat ini. Penyelesaian sengketa pajak internasional di negara berkembang saat ini sebaiknya lebih berfokus pada upaya untuk meningkatkan efektifitas MAP. Alternatif penyelesaian sengketa, seperti mediasi dalam proses MAP, patut dicoba untuk meningkatkan efektifitas proses MAP.

Selain itu, agar competent authority semakin nyaman dalam proses penyelesaian sengketa melalui Arbitrase dan dalam rangka mendapatkan pengalaman yang cukup dalam penyelesaian sengketa melalui Arbitrase, maka terlebih dahulu perlu memberikan kesempatan kepada negara-negara berkembang untuk terlibat dalam proses Arbitrase dengan putusan yang tidak mengikat (non-binding arbitration).

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Yuridis Pengenaan PPN atas Jasa Kecantikan

Jumat, 27 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Maret 2024: Pemerintah Rilis Ketentuan Baru terkait Akuntansi Koperasi

Jumat, 20 Desember 2024 | 19:00 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa atas Koreksi DPP PPN yang Kurang Dibayar

Jumat, 13 Desember 2024 | 16:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa PPN atas Klaim Layanan Garansi Suku Cadang Mobil

BERITA PILIHAN