Adhimas Galih T.S
, Lumajang, Jawa TimurPANDEMI Covid -19 telah mengguncang stabilitas ekonomi nasional. Jika pada krisis moneter 1998 yang terdampak hanya korporasi besar, pada krisis kali ini sektor usaha mikro, kecil dan menengah juga tidak luput dari guncangan tersebut.
Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2020 terkontraksi 5,32%. Pertumbuhan ini terendah sejak krisis 1998. Permintaan melemah, sehingga produsen mengurangi pekerjanya. Ancaman resesi sudah di depan mata.
Ditjen Pajak (DJP) menjadi institusi yang sangat vital pada masa pandemi ini. Melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 48/PMK.03/2020, pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai atas barang/jasa dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PSME).
Upaya tersebut layak diapresiasi demi memperluas basis penerimaan. Dengan demikian, pemerintah dapat lebih banyak memberikan stimulus pada sektor yang melemah. Yang menarik, saat konsumsi barang melemah, konsumsi jasa hiburan digital justru meningkat.
Berdasarkan survei Nielsen Indonesia, industri hiburan daring seperti layanan streaming, gaming, podcast, dan musik berkembang pesat dan meraup untung selama pandemi. Hal ini wajar karena pada saat pandemi, masyarakat mengubah kebiasaannya dalam menikmati hiburan.
Salah satu perusahaan penyedia layanan hiburan streaming digital paling dikenal di Indonesia adalah Netflix. Riset Statista GmBh Jerman memproyeksi jumlah pelanggan Netflix di Indonesia tahun ini akan menembus 906.800 pelanggan. Ini belum termasuk pelanggan penyedia lainnya.
Dengan biaya langganan termurah Rp109.000/bulan, setahun minimal Rp1,1 triliun keluar tanpa manfaat ekonomi seperti pajak penghasilan (PPh) dan lapangan kerja. Jumlah penduduk Indonesia 267 juta dan dengan kategori negara menengah. Ini berarti peluang Netflix dkk masih sangat besar.
Tarif Tinggi PPN
PENGENAAN pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap layanan Netflix dkk akan menyebabkan kenaikan tarif langganan. Namun di masa pandemi ini, apakah kebijakan tersebut akan mengurangi daya beli masyarakat? Tentu tidak karena pelanggan Netflix dkk umumnya kelas menengah ke atas.
Dengan alasan itu, sebaiknya tarif PPN untuk Netflix dkk bisa dibedakan dengan tarif PPN 10% pada umumnya. Dengan demikian, Indonesia perlu menaikkan tarif maksimal PPN dari yang berlaku kini 10% dan menganut sistem multiple rates atau menggunakan lebih dari satu jenis tarif.
Ebrill, Keen, Bodin dan Summer (2001) berpendapat penerapan multiple rates dapat memberikan beberapa manfaat seperti efisiensi dan keadilan. Dengan demikian, manfaat yang diperoleh dengan menerapkan tarif PPN berbeda dan tinggi kepada Netflix dkk.
Pertama, efisiensi. Pengenaan tarif PPN lebih tinggi kepada Netflix dkk bisa karena mengoptimalkan penerimaan pajak tanpa memengaruhi daya beli konsumen. Pada masa pandemi sekarang, ketika daya beli masyarakat menurun, justru permintaan terhadap jasa layanan streaming meningkat.
Permintaan tersebut juga bersifat inelastis, yaitu perubahan harga menjadi tinggi tidak memengaruhi signifikan permintaan dan selera masyarakat, terutama kelas menengah atas, untuk menikmati layanan tersebut.
Kedua, dapat menciptakan keadilan. Permintaan jasa hiburan daring itu hanya dinikmati masyarakat berpenghasilan tinggi. Dengan kategori tersebut, layanan Netflix dkk layak disebut sebagai ‘barang mewah versi digital’, dehingga tarif PPN tinggi menciptakan distribusi penghasilan yang adil.
Terlepas dari manfaat di atas, alasan lain yang dapat mendukung kenaikan tarif tersebut adalah Netflix dkk berkedudukan di luar Indonesia dan enggan mendirikan bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Karena itu, DJP tidak bisa memungut pajak penghasilannya.
Jika tarif PPN yang lebih tinggi dikenakan, sebaiknya ia bisa menutup PPh yang seharusnya dibayar. Memang secara tidak langsung konsumen Netflix dkk akan merasakan beban lebih besar. Namun, ini pilihan yang realistis karena kita tidak berani mengenakan PPh kepada Netflix dkk. (Bsi)
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.