Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Skema presumptive tax kerap kali menjadi pilihan untuk mengatasi tantangan pemajakan terhadap pelaku UMKM. Tak sedikit negara yang menerapkan rezim khusus tersebut untuk memajaki UMKM dengan cara yang berbeda.
Manager DDTC Fiscal Research Denny Vissaro mengatakan banyak negara memilih presumptive tax karena dinilai bisa mengakomodasi berbagai tantangan, mulai dari karakteristik UMKM yang berbeda-beda, sulitnya memajaki sektor UMKM, hingga tingginya biaya kepatuhan bagi UMKM.
“Presumptive tax merupakan rezim khusus yang menghitung pajak terutang dengan indikator selain penghasilan neto, yang dinilai dapat mencerminkan penghasilan wajib pajak tertentu,” katanya, dikutip pada Kamis (10/6/2021).
Umumnya, sambung Denny, indikator selain penghasilan neto yang digunakan sebagai basis pajak merujuk pada indikator yang tidak rentan dimanipulasi. Indikator itu juga membuat wajib pajak lebih mudah diamati kepatuhannya.
Dia menyebut presumptive tax dapat menjadi alternatif tepat untuk memajaki UMKM, khususnya di negara berkembang lantaran memberikan kemudahan administrasi sehingga dapat meningkatkan partisipasi UMKM dan mendukung distribusi beban pajak.
“Sehingga sistem pajak tidak akan ditopang oleh wajib pajak yang ‘itu-itu saja’,” ujarnya.
Setidaknya ada tiga skema penerapan presumptive tax. Pertama, melalui lump sum tax atau pungutan pajak dengan besaran yang sama dan tetap bagi UMKM di bawah threshold tertentu. Skema ini umumnya dikenakan terhadap usaha kecil seperti nelayan, pangkas rambut, dan lainnya.
Skema tersebut memiliki keunggulan, baik dalam hal kesederhanaan, biaya kepatuhan yang rendah, dan administrasi. Namun, skema ini cenderung tidak adil dan mendistorsi kompetisi pasar sehingga mengharuskan adanya evaluasi nilai pungutan secara rutin untuk selaras dengan kondisi ekonomi.
Contoh negara yang menerapkan skema ini adalah Hungaria. Wiraswasta dengan penghasilan di bawah HUF6 juta (sekitar Rp301 juta) per tahun, dikenakan pajak bulanan dengan jumlah tetap sebesar HUF50 ribu (Rp2,5 juta).
Kedua, dikenakan atas peredaran bruto (turnover). Skema ini dinilai lebih adil karena memberikan beban pajak yang berbeda sesuai dengan skala usahanya. Skema ini dinilai cukup efektif dalam meningkatkan partisipasi UMKM baru dalam sistem pajak.
Selain Indonesia, contoh negara yang menerapkan skema ini adalah Meksiko. Negeri Sombrero ini mengenakan tarif 2% atas peredaran bruto bagi UMKM yang memiliki peredaran bruto di bawah MXN2 juta atau setara dengan Rp1,4 miliar/tahun.
Ketiga, skema presumptive tax berdasarkan indikator tertentu yang merepresentasikan skala usaha. Indikator skala usaha tersebut bisa berupa jumlah karyawan, luas ruangan usaha, jumlah meja/kursi makan, konsumsi listrik, nilai persediaan, dan lain sebagainya.
Indikator itu dinilai dapat menggambarkan secara tepat dan adil perusahaan berdasarkan skalanya. Namun, penggunaan indikator lain tersebut sering kali rentan dimanipulasi dan bertentangan dengan upaya pengembangan usaha.
Contoh negara yang menerapkan ini adalah India. Di negara tersebut, skema ini diberlakukan untuk bisnis transportasi dan pengiriman yang dihitung atas berat muatan barang. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.