Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Ketentuan mengenai keberatan turut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 50/2022.
Ketentuan mengenai keberatan diatur dalam Pasal 31—Pasal 36 PP 50/2022. Dengan berlakunya PP 50/2022, PP 74/2011 serta Pasal 6 dan Pasal 9 PP 9/2021 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
“Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak atau pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan,” bunyi penggalan Pasal 31 ayat (1) PP 50/2022.
Jangka 3 bulan dihitung sejak tanggal Surat Ketetapan Pajak (SKP) dikirim atau sejak pemotongan atau pemungutan pajak, kecuali jika wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
Adapun keadaan di luar kekuasaan wajib pajak meliputi bencana alam; bencana nonalam; bencana sosial; diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan secara jabatan yang mengakibatkan jumlah pajak yang masih harus dibayar atau lebih dibayar yang tertera dalam SKP berubah; atau keadaan lain yang ditetapkan oleh dirjen pajak.
Jika terdapat penerbitan Surat Keputusan Pembetulan secara jabatan dan belum diajukan keberatan atas SKP, wajib pajak masih dapat mengajukan keberatan atas SKP tersebut. Pengajuan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 bulan sejak tanggal dikirim Surat Keputusan Pembetulan.
Sesuai dengan Pasal 32, wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada direktur jenderal pajak atas suatu SKP Kurang Bayar; SKP Kurang Bayar Tambahan; SKP Nihil; SKP Lebih Bayar; atau pemotongan/pemungutan pajak pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Wajib pajak yang mengajukan keberatan tidak dapat mengajukan beberapa permohonan. Pertama, pengurangan atau penghapusan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan.
Kedua, pengurangan atau pembatalan SKP yang tidak benar. Ketiga, pembatalan SKP dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau tanpa pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan wajib pajak.
Wajib pajak dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada dirjen pajak sebelum tanggal diterima surat pemberitahuan untuk hadir oleh wajib pajak.
Jika mencabut pengajuan keberatan, wajib pajak tidak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan SKP yang tidak benar. Wajib pajak tetap dapat mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administratif.
“Tata cara pencabutan pengajuan keberatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,” bunyi Pasal 32 ayat (6) PP 50/2022.
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 33 ayat (1), dirjen pajak harus menyelesaikan keberatan yang diajukan oleh wajib pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UU KUP.
Adapun jangka waktu paling lama 12 bulan tersebut dihitung sejak tanggal surat pengajuan keberatan diterima oleh dirjen pajak sampai dengan tanggal Surat Keputusan Keberatan diterbitkan.
Berdasarkan pada Pasal 34 ayat (1) PP 50/2022, jika pengajuan keberatan ditolak atau dikabulkan sebagian, wajib pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30%. Denda 30% itu dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) UU KUP.
Adapun jumlah pajak yang telah dibayar sebelum pengajuan keberatan meliputi pembayaran, baik atas jumlah yang disetujui maupun yang tidak disetujui, dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan.
Sanksi administratif berupa denda sebesar 30% tersebut juga dikenakan terhadap wajib pajak jika keputusan keberatan atas pengajuan keberatan wajib pajak menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.
Jika pengajuan keberatan dicabut atau tidak dipertimbangkan oleh direktur jenderal pajak karena tidak memenuhi persyaratan pengajuan sesuai dengan Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) UU KUP, wajib pajak dianggap tidak mengajukan keberatan.
Jika wajib pajak dianggap tidak mengajukan keberatan, pajak yang masih harus dibayar dalam SKP Kurang Bayar atau SKP Kurang Bayar Tambahan yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan SKP.
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 35 PP 50/2022, wajib pajak dapat dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60%. Denda 60% itu dari jumlah pajak berdasarkan putusan banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Sanksi administratif berupa denda sebesar 60% itu dikenakan jika putusan banding menolak; mengabulkan sebagian; menambah pajak yang harus dibayar; atau membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung yang menambah pajak yang masih harus dibayar.
Jika putusan banding berupa tidak dapat diterima, pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Keberatan menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
Adapun jumlah pajak yang masih harus dibayar itu ditambah sanksi administratif berupa denda sebesar 30%. Sanksi denda 30% itu dari jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal 36 PP 50/2022, wajib pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% dari jumlah pajak berdasarkan putusan peninjauan kembali dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
“[Pengenaan sanksi administratif berupa denda sebesar 60% itu berlaku] dalam hal putusan peninjauan kembali menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah,” bunyi penggalan Pasal 36 ayat (1) PP 50/2022.
Atas sanksi administratif tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak paling lama 2 tahun sejak tanggal diterima putusan peninjauan kembali oleh dirjen pajak. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.