KEPATUHAN PAJAK

Bangganya Warga AS Bayar Pajak Sebagai Bentuk Nasionalisme

Denny Vissaro | Senin, 17 Agustus 2020 | 09:56 WIB
Bangganya Warga AS Bayar Pajak Sebagai Bentuk Nasionalisme

SETIAP penghasilan yang diperoleh, aktivitas ekonomi yang terjadi, dan kesejahteraan yang dimiliki, tidak akan mungkin terjadi jika tidak ada peran serta negara terlebih dulu. Apakah itu infrastruktur, keamanan, keberadaan hukum, atau bahkan kemenangan atas suatu perang, semuanya merupakan bentuk ‘sarana’ publik yang mutlak dibutuhkan.

Perspektif inilah, menurut Vanessa S. Williamson dalam buku ‘Why Americans Are Proud to Pay Taxes’, tertanam dalam cara berpikir orang Amerika Serikat (AS). Penduduk AS digambarkan sebagai orang-orang yang malu jika menjadi free rider dalam berbangsa. Dengan membayar pajak, mereka memiliki legitimasi sebagai orang yang turut berperan dalam memajukan negara.

Memang, tetap diakui oleh Williamson, tidak ada orang AS yang betul-betul senang membayar pajak. Orang kaya pasti membenci pajak penghasilan. Orang miskin tentu tidak senang dengan adanya pajak atas konsumsi atau sales tax. Perokokpun tidak suka dengan cukai rokok.

Baca Juga:
Pemda Adakan Pengadaan Lahan, Fiskus Beberkan Aspek Perpajakannya

Namun, berdasarkan survei yang dilakukan penulis buku terbitan Princeton University tersebut, ketidaksukaan itu tidak menghentikan mereka dari membayar pajak. Hal yang paling mereka benci bukanlah besarnya pajak yang mereka bayar, melainkan adanya kemungkinan wajib pajak lainnya yang tidak memenuhi kewajiban pajak.

Kemudian, hal nomor dua yang paling mereka tidak suka adalah belanja pemerintah yang tidak tepat sasaran. Williamson mengutarakan mayoritas orang AS bahkan tidak senang dengan adanya subsidi terhadap penduduk berpenghasilan rendah yang berlebihan.

Saking sadar betul anggaran pemerintah merupakan pajak yang mereka bayar, pemerintah dituntut untuk memprioritaskan belanja yang bermanfaat bagi pembayar pajak. Artinya, mereka begitu ‘posesif’ dengan pajak yang sudah disetor kepada pemerintah.

Baca Juga:
Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Tidak jarang mereka rela, bahkan mendukung adanya peningkatan beban pajak atau jenis pajak baru ketika keselamatan mereka terancam. Saat terjadi perang saudara (civil war), contohnya, peningkatan pajak penghasilan diterima dengan baik oleh masyarakat. Hal serupa juga terjadi ketika negara butuh pendanaan untuk membiayai perang dunia kedua.

Ketika hal segenting itu terjadi, solidaritas dan komitmen warga AS pun meningkat. Sebagaimana diterangkan Wiliamson, tingkat kepatuhan pajak di AS membaik seiring dengan semakin besarnya kerelaan mereka untuk turut berkontribusi.

Dalam buku tersebut diceritakan bagaimana kerelaan mereka untuk berkontribusi diikuti dengan kekritisan mereka dalam menilai program pemerintah. Williamson bercerita bagaimana orang AS mudah kecewa dengan keputusan pemerintah dalam menggunakan anggarannya.

Baca Juga:
Kantor Pajak Minta WP Tenang Kalau Didatangi Petugas, Ini Alasannya

Negara yang menjunjung tinggi kemerdekaan berpendapat itu pun mudah dikritik oleh berbagai lapisan warganya yang merasa kontribusi pajaknya disalahgunakan. Penyalahgunaan uang pembayar pajak tersebut tidak sekadar dinilai dari segi moral saja, tapi juga dari segi pilihan kebijakan yang ditelaah dari diskursus keilmuan dan kecenderungan politik.

Tak dapat dipungkiri, masyarakat yang majemuk dari berbagai ras, komunitas tertentu, dan kepercayaan tersebut menginginkan agar program pemerintah berpihak pada mereka. Tak jarang kelompok warga tertentu menolak anggaran sedemikian besar ditujukan pada kaum minoritas yang dianggap sedikit membayar pajak.

Meningkatnya kontribusi wanita dalam pembayaran pajak pun dianggap sebagai justifikasi sudah seharusnya pemerintah AS semakin peduli dengan pemenuhan hak-hak perempuan.

Baca Juga:
Jelang Natal, Pegawai DJP Diminta Tidak Terima Gratifikasi

Pada intinya, sebagaimana disimpulkan penulis, kerasnya suara masyarakat AS dalam melibatkan dirinya ke dalam dinamika politik merupakan bentuk kelanjutan logis mereka usai membayar pajak.

Meskipun sering kali memberi kesan debat kusir atau kekacauan, rasa memiliki dan peduli mereka terhadap ke mana Paman Sam berlabuh didorong kredensial mereka sebagai pembayar pajak yang taat.

Dengan kata lain, semakin bangga masyarakat suatu bangsa membayar pajak, semakin besar pula kepedulian masyarakat akan nasib bangsa ke depan. Semoga demikian halnya juga dengan Indonesia. Simak lebih dalam isi buku tersebut dengan membacanya di DDTC Library. (kaw)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra