STATISTIK KEBIJAKAN PAJAK

Bagaimana Tren Kontribusi Pajak Kekayaan di Negara-Negara OECD?

Redaksi DDTCNews | Senin, 05 Juli 2021 | 10:45 WIB
Bagaimana Tren Kontribusi Pajak Kekayaan di Negara-Negara OECD?

PAJAK kekayaan saat ini tengah menjadi instrumen yang dipertimbangkan banyak negara dalam upaya pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Selain untuk meningkatkan penerimaan, pajak kekayaan juga menjadi sarana solidaritas antar warga negara.

Tahun ini, pajak kekayaan mulai dikenakan oleh sejumlah negara, baik secara temporer maupun secara permanen, seperti halnya di Argentina dan Spanyol. Negara lainnya seperti Amerika Serikat dan Kenya juga terus mewacanakan pengenaan pajak kekayaan.

Berbagai lembaga internasional juga telah merekomendasikan pengenaan pajak kekayaan, terutama dalam masa pandemi. PBB (2021) menilai pajak kekayaan perlu dipertimbangkan guna mengurangi ketimpangan yang timbul akibat pandemi Covid-19.

Sementara itu, IMF (2021) juga mencatat penerimaan pajak yang lebih besar diperlukan untuk mendanai program-program yang diperlukan dalam penanganan dampak pandemi, salah satunya melalui pengenanaan pajak kekayaan.

Pada praktiknya, pajak kekayaan telah lama menjadi instrumen fiskal di berbagai negara, khususnya negara-negara OECD. Di Norwegia, pajak kekayaan bersih (net wealth tax) dikenakan tarif sebesar 0,85% dan hasil penerimaan dibagi antara pemerintah pusat dan daerah. Sementara itu, Swiss juga memungut net wealth tax di tingkat daerah dengan tarif yang bervariasi.

Tak hanya di Eropa, pajak kekayaan juga telah diterapkan oleh negara OECD di Amerika Latin seperti Kolombia. Pemerintah Kolombia menetapkan tarif 1% atas aset bersih senilai lebih dari COP5 miliar atau setara Rp19,3 miliar (Tax Foundation, 2021).

Selain net wealth tax, terdapat pula beberapa negara yang menerapkan jenis pajak kekayaan untuk sumber kekayaan lainnya seperti harta tidak bergerak, warisan, transaksi keuangan, dan sumber lain sebagainya (OECD, 2017).

Italia dan Austria merupakan contoh negara yang mengenakan pajak kekayaan atas aset keuangan dan properti. Simak, Taksonomi Pajak atas Kekayaan. Lantas, seperti apa tren kontribusi pajak kekayaan di negara-negara OECD?


Berdasarkan data dari OECD Revenue Statistics, pajak kekayaan menyumbang sekitar 1,1—1,7% dari total penerimaan pajak di empat negara sepanjang 2015-2019. Jika dibandingkan dengan PDB, nilai pajak kekayaan yang dikumpulkan juga tidak dapat dibilang kecil, yaitu sekitar 0,3—0,5%.

Secara umum, terdapat tren penurunan kontribusi pajak kekayaan antarwaktu. Namun, tren sebaliknya justru terjadi di Swiss. Pada empat tahun terakhir, persentase pajak kekayaan secara konsisten tercatat menyumbang 3,8% terhadap total penerimaan pajak dan 1,1% terhadap PDB Swiss.

Terdapat dua alasan utama yang menyebabkan tingginya realisasi pajak kekayaan di Swiss. Pertama, Swiss memiliki ambang batas (threshold) yang lebih rendah atas obyek pajak kekayaan dibandingkan dengan negara lainnya.

Selain memiliki ambang batas yang lebih rendah, Swiss juga memiliki variasi tarif pajak antardaerah. Kedua, wajib pajak di Swiss terbilang patuh dan responsif untuk membayarkan pajak kekayaannya (Brulhart, et. al., 2019).

Sebaliknya, net wealth tax di Perancis justru mengalami penurunan pada dua tahun terakhir yakni hanya 0,2% dari total penerimaan pajak. Pemerintah Perancis pun memutuskan untuk mencabut net wealth tax dan menggantinya dengan pajak kekayaan atas properti (Tax Foundation, 2021).

Sebelum Perancis, beberapa negara OECD seperti Swedia, Jerman, dan Belanda juga memutuskan untuk mencabut net wealth tax dan melakukan penyesuaian pada jenis pajak kekayaannya karena berbagai alasan. Pada akhirnya, pemilihan jenis pajak kekayaan yang ideal memang perlu diselaraskan dengan apa yang menjadi sasaran pemerintah (Yustisia, 2019).

Secara keseluruhan, dari pengalaman negara-negara OECD tersebut, dapat dilihat pajak berbasis kekayaan memiliki implikasi positif terhadap penerimaan pajak dan perekonomian, salah satunya untuk meningkatkan rasio pajak. Simak, Saatnya Saling Menopang, Saatnya Pajak Solidaritas.

Sebab, sebagaimana kita ketahui, perbaikan rasio pajak menjadi krusial pada fase pemulihan ekonomi. Hal ini dikarenakan rasio pajak yang rendah membuat kapabilitas pemerintah dan ruang belanja negara menjadi cenderung terbatas. (rig)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 18 Oktober 2024 | 09:14 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Pencantuman NITKU Bakal Bersifat Mandatory saat Pembuatan Bukti Potong

Kamis, 17 Oktober 2024 | 13:35 WIB DDTC EXCLUSIVE GATHERING 2024

Rezim Baru, WP Perlu Memitigasi Efek Politik terhadap Kebijakan Pajak

Kamis, 17 Oktober 2024 | 10:30 WIB DDTC EXCLUSIVE GATHERING 2024

Dibagikan Gratis, 2 Buku DDTC ITM 2024 Dwibahasa Telah Diluncurkan

Rabu, 16 Oktober 2024 | 12:00 WIB KILAS BALIK PERPAJAKAN 2014-2024

Satu Dekade Kebijakan Perpajakan Jokowi

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:45 WIB KABINET MERAH PUTIH

Tak Lagi Dikoordinasikan oleh Menko Ekonomi, Kemenkeu Beri Penjelasan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja

Selasa, 22 Oktober 2024 | 11:45 WIB LITERATUR PAJAK

Perkaya Pengetahuan Pajak, Baca 11 e-Books Ini di Perpajakan DDTC

Selasa, 22 Oktober 2024 | 11:45 WIB PERPRES 139/2024

Kemenkeu Era Prabowo Tak Lagi Masuk di Bawah Koordinasi Menko Ekonomi

Selasa, 22 Oktober 2024 | 11:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Anggota DPR Ini Minta Prabowo Kaji Ulang Kenaikan PPN Jadi 12 Persen