Pertanyaan:
PERKENALKAN, saya Iwan, seorang staf keuangan yang bekerja di sebuah perusahaan yang memproduksi makanan kemasan. Dalam memasarkan produk, perusahaan tempat saya bekerja menerapkan metode penjualan konsinyasi, yaitu dengan menitipkan barang untuk dijual melalui toko kelontong modern.
Berdasarkan pada informasi yang saya dapatkan dari teman-teman yang bekerja di bidang usaha serupa, perusahaan tempat saya bekerja wajib memungut pajak pertambahan nilai (PPN) atas transaksi konsinyasi. Namun, sebagian teman saya yang lainnya menyebutkan tidak perlu. Lantas mana yang tepat dan bagaimana ketentuan PPN atas konsinyasi yang sebenarnya?
Jawaban:
Terima kasih Bapak Iwan atas pertanyaannya. Sebelum membahas lebih lanjut, penting untuk memahami kosa kata dari consignor dan consignee terlebih dahulu. Secara sederhana, consignor merupakan pihak yang menyerahkan dan menitipkan barang dagangannya. Consignee merupakan pihak yang menerima barang dagangan dari consignor.
Perlu diketahui, dalam Pasal 1A ayat (1) huruf g Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (UU 42/2009), consignor memiliki kewajiban untuk memungut PPN atas seluruh transaksi penyerahan barang kena pajak (BKP) yang dilakukan secara konsinyasi.
“(1) Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
…
g. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi;”
Dengan demikian, PPN wajib dipungut oleh consignor saat menyerahkan BKP kepada consignee meski produk tersebut belum terjual kepada konsumen akhir. Pada umumnya, consignor akan memungut PPN saat melakukan penyerahan barang kepada consignee.
Namun, ketentuan ini telah diubah sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020). Berdasarkan pada UU 11/2020, isi muatan materi Pasal 1A ayat (1) huruf g UU 42/2009 dihapus. Penghapusan Pasal 1A ayat (1) huruf g UU 42/2009 dalam UU 11/2020 masih dipertahankan juga dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU 7/2021).
Penghapusan klausul tersebut bukan semata-mata menghilangkan kewajiban PPN dalam transaksi konsinyasi. Penghapusan klausul hanya mengubah saat terutangnya PPN dalam metode konsinyasi yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha (PP 9/2021).
Berdasarkan pada Pasal 17A ayat (1) PP 9/2021, saat terutangnya PPN atas BKP dari transaksi konsinyasi terjadi sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten. Secara terperinci, dalam Pasal 17A ayat (2) PP 9/2021, terdapat 4 opsi yang menentukan saat terutangnya BKP dan waktu penerbitan faktur pajak.
Pertama, saat consignee menyerahkan BKP milik consignor secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga. Kedua, saat BKP milik consignor diserahkan secara langsung kepada penerima barang dalam rangka pemberian cuma-cuma, pemakaian sendiri, dan penyerahan dari pusat ke cabang atau sebaliknya, dan/atau antarcabang.
Ketiga, saat BKP milik consignor diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan. Keempat, saat harga atas penyerahan BKP milik consignor diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau saat faktur pajak penjualan diterbitkan oleh consignor.
Dengan demikian, saat terutang PPN dalam mekanisme konsinyasi ialah ketika BKP milik consignor diserahkan kepada konsumen akhir. Selain itu, penyerahan BKP dari consignor kepada consignee sudah tidak lagi menjadi saat terutang PPN. Demikian jawaban yang dapat disampaikan. Semoga bermanfaat.
Sebagai informasi, artikel Konsultasi Pajak hadir setiap pekan untuk menjawab pertanyaan terpilih dari pembaca setia DDTCNews. Bagi Anda yang ingin mengajukan pertanyaan, silakan mengirimkannya ke alamat surat elektronik [email protected].
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.