LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Arah Kebijakan Pajak 2019-2023 Indonesia, Positif atau Negatif?

Redaksi DDTCNews | Kamis, 10 Januari 2019 | 14:59 WIB
Arah Kebijakan Pajak 2019-2023 Indonesia, Positif atau Negatif?
Atika Astri, S1 Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia

REPUBLIK Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Hal tersebut tercermin dalam perayaan pesta demokrasi yang diadakan tiap lima tahun secara serentak di seluruh wilayah Indonesia, di mana rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpinnya yaitu presiden dan wakil presiden.

Tidak dipungkiri, selain rekam jejak dari pasangan calon presiden dan wakil presiden, program kerja yang akan menjadi prioritas kebijakan juga menjadi pertimbangan rakyat dalam menentukan pilihannya. Program kerja yang biasa disoroti tidak terkecuali kebijakan ekonomi, khususnya di bidang perpajakan yang erat kaitannya di ruang lingkup masyarakat, pelaku bisnis, maupun negara.

Arah kebijakan perpajakan dengan tema ‘melanjutkan’ diusung oleh pasangan calon nomor urut 1 yaitu Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Arah tersebut wajar dilakukan karena kandidat adalah petahana yang ingin melanjutkan program kerja yang telah dikerjakan sejak 2014.

Terdapat dua program yang ingin dilanjutkan pasangan ini. Pertama, melanjutkan reformasi perpajakan yang berkelanjutan untuk mewujudkan keadilan dan kemandirian ekonomi nasional, dengan target terukur, serta memperhatikan iklim usaha dan peningkatan daya saing. Kedua, memberikan insentif pajak bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Reformasi perpajakan adalah kebijakan dengan arah yang baik untuk mengubah paradigma masyarakat terhadap kinerja otoritas perpajakan. Saat ini, paradigma yang terbangun di tengah masyarakat adalah masih banyaknya praktik korupsi yang dilakukan oleh otoritas negara terkait pajak.

Hal ini bisa dilihat dari beberapa kasus korupsi yang melibatkan otoritas negara dan wajib pajak yang sedang menjalankan proses upaya hukum perpajakan atau sengketa pajak. Bagi masyarakat awam, ada pula yang berpandangan pajak yang dibayarkan berpotensi dikorupsi oleh otoritas. Paradigma tersebut dapat menimbulkan dampak negatif berupa rendahnya tingkat kepatuhan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.

Bagaimanapun, tujuan reformasi perpajakan dapat dicapai dengan mengutamakan kualitas petugas otoritas pajak dalam hal melakukan pemeriksaan, mengamankan penerimaan negara, serta mengembangkan teknologi informasi terkait pajak. Kualitas pemeriksaan untuk mengamankan penerimaan negara harus dilakukan secara maksimal karena berkaitan dengan upaya hukum yang berimplikasi pada pengorbanan waktu, uang, dan tenaga dari sisi otoritas pajak maupun wajib pajak.

Pengenaan pajak harus dilakukan secara adil, di mana penguatan sektor teknologi informasi dapat menjadi pendukung otoritas pajak dalam mengenakan pajak bagi bisnis yang berbasis elektronik. Selain itu, insentif yang diberikan pada UMKM dapat menjadi salah satu daya dorong pajak dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Arah Kebijakan yang Agresif

Sementara itu, memiliki arah kebijakan yang kontradiktif dengan pasangan calon nomor urut 1, pasangan calon nomor urut 2 yaitu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno mengusung kebijakan perpajakan dengan tema ‘agresif’.

Hal tersebut tercermin dari arah kebijakan perpajakan yang ditawarkan. Pertama, menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) serta penurunan tarif pajak penghasilan (PPh Pasal 21) orang pribadi. Kedua, menghapus pajak bumi dan bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama.

Menaikkan batas PTKP serta menurunkan tarif PPh Pasal 21 dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dari sektor konsumsi maupun investasi oleh orang pribadi. Ini dikarenakan penghasilan yang sebelumnya dikenakan PPh Pasal 21 yang lebih tinggi dapat diturunkan. Dengan demikian, penghasilan yang diperoleh akan lebih besar dialokasikan untuk hal lain.

Namun, perlu diperhatikan pula, adanya kebijakan tersebut akan berdampak pada penurunan penerimaan negara pos PPh Pasal 21. Selain itu. insentif berupa penghapusan PBB bagi rumah tinggal utama dan pertama dapat memberikan gejolak di tingkat penerimaan daerah. Ini dikarenakan sejak 2010, penerimaan PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan adalah salah satu komponen penerimaan daerah.

Dengan pemberian insentif yang relatif besar tersebut, akan ada dampak berupa penurunan penerimaan perpajakan. Bagaimanapun, untuk melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan sumber dana yang tidak sedikit. Apabila terdapat penurunan penerimaan dari sektor perpajakan maka ada kemungkinan kebutuhan negara ditutup oleh sumber dana lainnya, seperti utang. Hal tersebut tentu tidak mengarahkan Indonesia menjadi negara yang memiliki kemandirian ekonomi.

Pada dasarnya pajak merupakan pilar sumber pendanaan negara yang harus dikelola sebaik mungkin untuk tujuan pembangunan negara dan pencapaian kesejahteraan masyarakat. Negara yang mandiri adalah negara yang memiliki sumber pendanaan dari sektor perpajakan yang kuat, sehingga tidak perlu bergantung dengan sektor lain dan negara lain.

Untuk mencapai kemandirian tersebut, dapat dilakukan melalui penguatan kualitas sumber daya manusia bagi otoritas pajak yang memiliki kewenangan untuk mengamankan penerimaan negara. Selain itu, kepatuhan perpajakan dari sisi wajib paja perlu ditingkatkan.

Kepatuhan pajak perlu ditingkatkan dengan membangun kepercayaan masyarakat dan pelaku bisnis kepada pemerintah. Ini dilakukan dengan pemberian kepastian hukum dari arah kebijakan yang diambil serta sikap mental integritas yang dijunjung tinggi. Oleh karena itu, semua pilihan kembali berada di tangan rakyat yang memiliki hak untuk menentukan arah kebijakan perpajakan Indonesia untuk lima tahun yang akan datang. *

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Selasa, 10 Desember 2024 | 15:48 WIB UNIVERSITAS INDONESIA

FIA UI Adakan Lokakarya Online, Ulas soal Pajak Minimum Global

Sabtu, 23 November 2024 | 12:25 WIB UNIVERSITAS INDONESIA

Babak Final Tax Case TIF FEB UI, Bahas Kenaikan PPN 12%

Kamis, 21 November 2024 | 18:35 WIB UNIVERSITAS INDONESIA

Coaching Career Talk Vokasi UI, Siapkan Mahasiswa Hadapi Dunia Kerja

Kamis, 21 November 2024 | 14:31 WIB UNIVERSITAS INDONESIA

Vokasi UI Gelar Career Coaching di Bidang Pajak, Softskills Jadi Kunci

BERITA PILIHAN