BERITA PAJAK HARI INI

AR dan Pemeriksa Berpeluang Dilebur, Penagihan dengan Surat Paksa Naik

Redaksi DDTCNews | Sabtu, 26 November 2022 | 08:00 WIB
AR dan Pemeriksa Berpeluang Dilebur, Penagihan dengan Surat Paksa Naik

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) membuka opsi peleburan jabatan account representative (AR) dan pemeriksa pajak di kantor pajak. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan otoritas saat ini sedang melakukan analisis atas hasil uji coba fleksibilitas kompetensi kegiatan pengawasan dan pemeriksaan.

Isu yang erat kaitannya dengan pengawasan dan pemeriksaan ini sukses menyedot perhatian netizen dalam sepekan terakhir. 

"Saat sudah ada hasil analisisnya, DJP akan menetapkan apakah akan dilebur atau tidak untuk jabatan AR dan pemeriksa pajak," ujar Neilmaldrin.

Seperti diketahui, DJP melakukan uji coba fleksibilitas kompetensi kegiatan pengawasan dan pemeriksaan pada tahun ini. Awalnya, uji coba ini hanya akan dilaksanakan pada 7 Februari 2022 hingga 30 Juni 2022.

Namun, jangka waktu uji coba pada akhirnya diperpanjang. Uji coba dilaksanakan di 14 KPP yang berlokasi di Jakarta. Lewat uji coba ini, pengawasan terhadap wajib pajak dilakukan oleh tim yang terdiri atas pemeriksa pajak sebagai ketua tim dan AR sebagai anggota.

Uji coba ini dilakukan mengingat pengawasan yang dilaksanakan AR dan pemeriksaan oleh pemeriksa pajak memiliki kemiripan pola kerja. Dengan demikian, terdapat potensi untuk melebur fungsi pengawasan dan pemeriksaan dalam suatu jabatan fungsional tertentu.

Lantas seperti apa mekanisme peleburan AR dan pemeriksa pajak? Baca artikel lengkapnya, 'Dilebur atau Tidaknya Jabatan AR dan Pemeriksa Pajak Tergantung Ini'.

Masih berkaitan dengan pengawasan, DJP mencatat bahwa penagihan pajak dengan penyampaian surat paksa mengalami kenaikan sepanjang 2021 lalu. 

Berdasarkan pada Laporan Tahunan Ditjen Pajak (DJP) 2021, frekuensi pemberitahuan surat paksa tercatat sebanyak 446.136. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sekitar 11,7% dibandingkan dengan frekuensi penyampaian surat paksa pada 2020 sebanyak 399.395.

“Serangkaian tindakan penagihan pajak agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dilakukan dengan cara … memberitahukan surat paksa, …,” bunyi penggalan penjelasan DJP dalam laporan tersebut.

Dengan frekuensi tersebut, pencairan piutang pajak dari tindakan pemberitahuan surat paksa pada 2021 tercatat senilai Rp6,8 triliun. Pencairan piutang pajak ini tercatat mengalami kenaikan sekitar 38,6% dibandingkan dengan capaian tahun sebelumnya senilai Rp4,9 triliun. Baca artikel lengkapnya, 'Frekuensi Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Naik, Ini Laporan DJP'.

Selain 2 topik di atas, masih ada sejumlah isu yang cukup hangat diperbincangkan netizen dalam sepekan terakhir. Berikut ini adalah 5 artikel DDTCNews terpopuler yang sayang untuk dilewatkan:

1. Pengumuman! Kenaikan Upah Minimum Provinsi 2023 Maksimal 10%

Pemerintah resmi menetapkan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2023 paling tinggi sebesar 10%.

Permenaker 18/2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 menyatakan kebijakan kenaikan UMP merupakan salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Penetapan kenaikan UMP 2023 juga telah melalui penghitungan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.

"Penetapan atas penyesuaian nilai upah minimum ... tidak boleh melebihi 10%," bunyi Pasal 7 ayat (1) Permenaker 18/2022.

2. Covid Terkendali, Layanan Kunjung Pajak DJP Bakal Dibuat Permanen

Sejak tahun lalu, DJP mengharuskan wajib pajak yang ingin berkonsultasi ke kantor pelayanan pajak (KPP) untuk melakukan reservasi lebih dulu melalui aplikasi Kunjung Pajak.

Neilmaldrin Noor mengatakan awalnya layanan Kunjung Pajak dilakukan untuk memitigasi risiko penyebaran Covid-19 di kantor pajak. Kendati begitu, layanan tersebut bakal terus berlanjut meski pandemi Covid-19 makin terkendali.

"Layanan kunjung pajak tidak hanya digunakan untuk memitigasi risiko penyebaran Covid-19, namun merupakan fasilitas bagi wajib pajak untuk memperoleh kepastian dan kemudahan mendapatkan nomor antrean di unit kerja," katanya.

3. Ada UU HKPD, Pemda Perlu Tetapkan Target Pajak Secara Lebih Presisi

Pemda dipandang perlu menetapkan target penerimaan pajak dan retribusi daerah secara lebih presisi seiring dengan ditetapkannya UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).

Researcher DDTC Fiscal Research & Advisory Lenida Ayumi mengatakan Pasal 102 UU HKPD mengamanatkan kepada pemda untuk menyusun target pajak daerah dengan mempertimbangkan kebijakan ekonomi daerah dan juga potensi pajak. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh DDTC FRA, diketahui masih terdapat pemda yang menetapkan target pajak di bawah potensi di daerahnya.

"Pemda masih memiliki banyak potensi yang belum tercermin pada target APBD," ujar Ayumi dalam Seminar Pajak UU HKPD yang digelar oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Islam Malang (Unisma).

4. Penerimaan Pajak Sudah Tembus 97,5%, Sri Mulyani: Naik Luar Biasa

Pemerintah mencatat realisasi penerimaan pajak tumbuh 51,8% hingga Oktober 2022.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penerimaan pajak hingga Oktober 2022 senilai Rp1.448,2 triliun. Angka itu setara 97,5% dari target yang tertuang dalam Perpres 98/2022 senilai Rp1.485 triliun. Adapun outlook penerimaan pajak tahun ini diperkirakan mencapai Rp1.608,1 triliun.

"Ini growth-nya 51,8%, naik yang luar biasa," katanya dalam konferensi pers APBN Kita.

5. Tren Surplus Berakhir, Kinerja APBN Akhirnya Defisit Rp169,5 Triliun

Kementerian Keuangan mencatat kinerja APBN hingga Oktober 2022 mengalami defisit senilai Rp169,5 triliun. Angka tersebut setara 0,91% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan defisit ini akhirnya terjadi karena realisasi pendapatan negara tercatat Rp2.181,6 triliun dan belanja negara Rp2.351,1 triliun. Menurutnya, defisit tersebut juga menandakan pengelolaan APBN telah optimal sebagai shock absorber.

"Dibandingkan dengan Perpres 98/2022 yang merupakan landasan UU APBN, defisit masih jauh lebih rendah," katanya dalam konferensi pers APBN Kita. (sap)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 24 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Selasa, 24 Desember 2024 | 18:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA BARAT

Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:13 WIB KANWIL DJP JAKARTA KHUSUS

Jelang Tutup Tahun, Realisasi Pajak Kanwil Khusus Capai 95% Target

Selasa, 24 Desember 2024 | 16:30 WIB PROVINSI SUMATERA SELATAN

Realisasi Pajak Rokok di Sumsel Tak Capai Target, Ini Penyebabnya

BERITA PILIHAN
Selasa, 24 Desember 2024 | 21:30 WIB CORETAX SYSTEM

Simak! Keterangan Resmi DJP Soal Tahapan Praimplementasi Coretax

Selasa, 24 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Selasa, 24 Desember 2024 | 18:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA BARAT

Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:27 WIB CORETAX SYSTEM

WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:00 WIB PMK 81/2024

Ini Aturan Terbaru Pengkreditan Pajak Masukan Sebelum Pengukuhan PKP

Selasa, 24 Desember 2024 | 16:30 WIB PROVINSI SUMATERA SELATAN

Realisasi Pajak Rokok di Sumsel Tak Capai Target, Ini Penyebabnya

Selasa, 24 Desember 2024 | 16:00 WIB CORETAX SYSTEM

Nanti Ada Coretax, Masih Perlu Ajukan Sertifikat Elektronik?

Selasa, 24 Desember 2024 | 15:00 WIB KPP PRATAMA KOSAMBI

Utang Pajak Rp632 Juta Tak Dilunasi, Mobil WP Akhirnya Disita KPP