UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) telah mengatur adanya saat daluwarsa penagihan pajak. Adapun hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak akan daluwarsa setelah melampaui waktu 5 tahun.
Merujuk Pasal 22 ayat (1) UU KUP, jangka waktu 5 tahun tersebut dihitung sejak penerbitan surat tagihan pajak (STP), surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB), serta surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan (SKPKBT).
Apabila wajib pajak mengajukan permohonan pembetulan, keberatan, banding, atau peninjauan kembali, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal penerbitan surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, putusan banding, atau putusan peninjauan kembali.
Namun, daluwarsa penagihan pajak tersebut bisa tertangguh jika: wajib pajak diterbitkan surat paksa; ada pengakuan utang pajak; ada SKPKB dan SKPKBT yang diterbitkan terhadap wajib pajak karena melakukan tindak pidana; dan dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Jika daluwarsa pajak tertangguh maka saat daluwarsa itu bisa melampaui 5 tahun sejak diterbitkannya surat ketetapan atau keputusan yang menjadi dasar penagihan pajak. Bila tak ada penangguhan maka setelah melampaui 5 tahun, otoritas tidak dapat lagi menagih pajak yang telah daluwarsa.
Uniknya, pada literasi terdahulu, terdapat istilah uang pembasuh batin. Kendati tidak terdapat dalam peraturan terbaru, istilah uang pembasuh batin sempat tercantum pada surat dirjen pajak terkait dengan penagihan pajak. Lantas, apa itu uang pembasuh batin?
Istilah uang pembasuh batin di antaranya tercantum dalam Surat Dirjen Pajak No. S-196/PJ.44/2000 tentang Penagihan Hutang Pajak. Merujuk surat dirjen tersebut, uang pembasuh batin merupakan istilah untuk menyebut:
“Wajib pajak yang tagihan pajaknya karena sesuatu hal tidak dapat ditagih lagi, namun dengan pendekatan persuasif, bersedia membayarnya,”
Selain itu, pengertian uang pembasuh batin juga dijabarkan oleh Sahya Anggara dalam buku bertajuk Hukum Administrasi Perpajakan terbitan tahun 2016. Melalui buku tersebut, Sahya mengartikan uang pembasuh batin sebagai:
“Wajib pajak yang belum atau tidak dikenakan pajak berdasarkan kesukarelaan dan keinsafan sendiri dapat mendatangi Kantor Pelayanan Pajak dan menyatakan kehendaknya untuk membayar pajak yang telah kedaluwarsa, yang belum pernah dikenakan kepadanya. Hal ini disebut uang pembasuh batin.”
Menurut Sahya, uang pembasuh batin bisa menjadi media bagi wajib pajak untuk menghilangkan dosanya dan membersihkan batinnya atas kekhilafannya tidak membayar pajak. Besar jumlah yang akan dibayarkan terserah pada wajib pajak dan tidak dapat ditentukan secara tawar-menawar (Sahya, 2016).
Dalam hal demikian, wajib pajak tak dapat dikenakan sanksi. Berdasarkan 2 pengertian tersebut, uang pembasuh batin adalah pembayaran utang pajak yang sebenarnya telah daluwarsa yang dilakukan secara sukarela oleh wajib pajak.
Sebenarnya, utang pajak yang sudah daluwarsa tidak dapat ditagihkan lagi. Namun, melalui skema uang pembasuh batin, wajib pajak dapat membayar utang pajak yang telah daluwarsa secara sukarela guna menebus kekhilafannya karena belum melunasi utang pajak yang bersangkutan. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.