KAMUS PAJAK

Apa Itu Pajak Radio?

Nora Galuh Candra Asmarani | Rabu, 13 September 2023 | 17:00 WIB
Apa Itu Pajak Radio?

HARI radio nasional di Indonesia diperingati setiap 11 September. Hari peringatan ini bertepatan dengan berdirinya Radio Republik Indonesia (RRI) pada 11 September 1945. Kala itu, radio menjadi salah satu alat komunikasi yang populer di kalangan masyarakat.

Di tengah gempuran internet, radio tidak kalah dan turut berevolusi dengan merambah aplikasi berbasis internet. Kendati media komunikasi dan hiburan semakin beragam, radio pun tetap memiliki tempat tersendiri di hati para penikmatnya.

Berbicara perihal radio, ada sejarah panjang yang melekat pada media satu ini. Selain perannya dalam menyampaikan informasi dan media hiburan, terdapat histori pengenaan pajak radio yang berlaku di Indonesia. Lantas, seperti apa pajak radio pada masa itu?

Baca Juga:
Tindak Lanjuti Aktivasi Akun PKP, Fiskus Kunjungi Alamat Perusahaan

Pajak radio adalah pajak yang dipungut pada pesawat penerimaan radio. Adapun yang dimaksud sebagai pesawat penerimaan radio adalah segala alat yang dapat dipakai untuk menerima gelombang radio (Pasal 1 dan Pasal 2 Undang-Undang No. 12/1947).

Pemungutan pajak radio awalnya diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 12/1947. Kala itu, pajak radio dipungut untuk membiayai pengeluaran pemerintah terkait dengan penyelenggaraan siaran radio.

Hal ini juga berkaitan dengan peralihan penyelenggaraan siaran radio dari N.V Nirom ke pemerintah Indonesia. Sebelumnya, N.V Nirom (Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschappij) merupakan pihak yang mengurus siaran radio pada masa pemerintahan Hindia-Belanda.

Baca Juga:
Ketentuan Tarif PPh Pasal 21 Pasca Tarif Efektif Rata-Rata (TER)

Guna memperlancar operasional, badan siaran radio Hindia Belanda tersebut memungut iuran dari pemegang pesawat radio. Bergerak ke era pasca-kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengambil alih penyelenggaraan siaran radio.

Penyelenggaraan siaran radio kala itu mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Untuk itu, pemerintah memungut iuran dengan mengganti sifatnya sebagai pajak atas pesawat penerimaan radio atau disebut sebagai pajak radio.

Merujuk UU 12/1947, pajak radio dikenakan Rp5 per bulan. Pajak ini menyasar para pemegang pesawat penerimaan radio. Pengenaan pajak radio kala itu dinilai tidak memberatkan karena pemilik pesawat radio dipandang sebagai orang yang cukup mampu.

Baca Juga:
Baru! DJP Rilis Update Soal Bupot PPh dan Surat Teguran di Coretax

Menyusul jumlah radio yang terus meningkat, tarif pajak radio dinaikkan menjadi Rp7,5 per bulan mulai 1960. Pemerintah menaikkan tarif pajak radio karena menganggap nilai rupiah makin merosot dan pemerintah membutuhkan pendanaan lebih besar.

Pemerintah selanjutnya mengubah ketentuan pajak radio melalui UU 21/1948. Melalui undang-undang tersebut, pemerintah memperluas jenis-jenis pesawat radio yang dibebaskan dari pengenaan pajak radio.

Pembebasan tersebut di antaranya diberikan terhadap pesawat penerimaan radio yang dipakai oleh tentara untuk kepentingan ketentaraan dan yang dipakai untuk kepentingan jawatan-jawatan yang berwajib menyelenggarakan, mengawasi siaran radio, dan menyediakan radio umum.

Baca Juga:
DJP Terbitkan Buku Manual Modul SPT Masa PPh Unifikasi, Unduh di Sini

Selain itu, pesawat penerimaan radio yang dipakai duta, konsul dan wakil lainnya dari negara-negara asing, dan orang-orang yang bekerja serta mendiami tempat tinggal yang sama dengan mereka (sepanjang merupakan orang asing) juga dibebaskan dari pengenaan pajak radio.

Pada 20 tahun kemudian, pemerintah kembali mengubah ketentuan pajak radio. Kala itu, pemerintah mengalihkan kewenangan pemungutan pajak radio ke pemerintah daerah. Hal ini diatur melalui UU No.10/1968.

Dalam perkembangannya, pemerintah mencabut pengenaan pajak radio pada 1997. Pencabutan pengenaan pajak radio tersebut dilakukan seiring dengan diundangkannya UU No.18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). (rig)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 04 Februari 2025 | 18:00 WIB KPP PRATAMA KOSAMBI

Tindak Lanjuti Aktivasi Akun PKP, Fiskus Kunjungi Alamat Perusahaan

Selasa, 04 Februari 2025 | 17:39 WIB KELAS PPH PASAL 21 (6)

Ketentuan Tarif PPh Pasal 21 Pasca Tarif Efektif Rata-Rata (TER)

Selasa, 04 Februari 2025 | 16:47 WIB CORETAX DJP

Baru! DJP Rilis Update Soal Bupot PPh dan Surat Teguran di Coretax

Selasa, 04 Februari 2025 | 16:00 WIB CORETAX DJP

DJP Terbitkan Buku Manual Modul SPT Masa PPh Unifikasi, Unduh di Sini

BERITA PILIHAN
Selasa, 04 Februari 2025 | 17:39 WIB KELAS PPH PASAL 21 (6)

Ketentuan Tarif PPh Pasal 21 Pasca Tarif Efektif Rata-Rata (TER)

Selasa, 04 Februari 2025 | 16:47 WIB CORETAX DJP

Baru! DJP Rilis Update Soal Bupot PPh dan Surat Teguran di Coretax

Selasa, 04 Februari 2025 | 16:15 WIB PER-30/BC/2024

Bea Cukai Ubah Aturan Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari TPB

Selasa, 04 Februari 2025 | 16:00 WIB CORETAX DJP

DJP Terbitkan Buku Manual Modul SPT Masa PPh Unifikasi, Unduh di Sini

Selasa, 04 Februari 2025 | 15:33 WIB OPINI PAJAK

Menjadikan Pajak sebagai Instrumen Alternatif Memberantas Korupsi

Selasa, 04 Februari 2025 | 15:00 WIB PROVINSI JAWA BARAT

Tagih Tunggakan Pajak 5,4 Juta Kendaraan, Begini Strategi Pemprov

Selasa, 04 Februari 2025 | 15:00 WIB FOUNDER DDTC DARUSSALAM:

‘Pajak Tidak Boleh Dipungut secara Sewenang-wenang’

Selasa, 04 Februari 2025 | 14:30 WIB TIPS PAJAK

Cara Ubah Data Alamat Wajib Pajak di Coretax DJP

Selasa, 04 Februari 2025 | 13:00 WIB AMERIKA SERIKAT

Cegah Penerapan UTPR Pajak Minimum Global, AS Siapkan Skema Retaliasi