TIDAK dapat dimungkiri pajak merupaakn salah satu faktor yang sangat krusial bagi Indonesia. Sekitar 70% lebih dari pendapatan negara diperoleh dari pajak. Bahkan di tahun 2016, total penerimaan pajak mencapai 74,63% dari total Rp1.822,5 triliun penerimaan negara atau sekitar Rp 1.360,1 triliun.
Namun, problematika perpajakan di Indonesia seolah tidak kunjung mereda. Demikian halnya otoritas fiskal belum alias masih terjebak dengan kontroversi yang muncul ketika sesekali mereka menjamah peraturan perpajakannya.
Bagaimana tidak? Bahkan saat siklus ekonomi membaik, pemerintah harus tetap berhati-hati memasang peraturan untuk menstabilitaskan perekonomiannya. Belum lagi beberapa masalah ketidakseimbangan APBN yang berakhir pada defisit anggaran karena rendahnya penerimaan pajak.
Mirisnya, sejak beberapa tahun terakhir realisasi penerimaan pajak tidak pernah mencapai dan bahkan tidak pernah melebihi perencanaan APBN yang telah dirancang.
Jika dicermati, berbagai permasalahan ini terjadi karena dua penyebab. Pertama, dari sisi pemerintah yaitu karakter perekonomian negara di mana terdapat ketergantungan kebijakan fiskal yang besar pada pertumbuhan ekonomi. Kedua, dari sisi masyarakat, yaitu kepatuhan pajak yang masih rendah.
Belenggu Pro Siklis
DEFISIT APBN yang selalu terjadi di setiap tahun karena rendahnya penerimaan negara, akhirnya berujung pada kondisi yang lebih parah. Bukan hanya berdampak pada peningkatan utang luar negeri, namun meluas hingga Indonesia terjebak dalam belenggu prosiklikalitas kebijakan fiskal mereka.
Sekali lagi, permasalahan krusial perpajakan selalu menjadi jangkauan analisis para pakar ekonomi. Banyak penelitian dilakukan yang membuktikan bahwa negara berkembang masih terjebak dalam zona pro-siklis di mana kebijakan fiskal masih sangat bergantung pada pertumbuhan siklus ekonomi negaranya.
Demikian halnya untuk Indonesia. Hal tersebut pernah dibuktikan oleh Abdurohman dan Budy P. Resosudarmo dari Menteri Keuangan Indonesia pada penelitiannya tahun 2017. Padahal, di negara maju mereka cenderung counter-cyclical alias kontra terhadap siklus ekonomi.
Dengan kata lain, pada saat siklus ekonomi berjalan membaik, hal tersebut tidak langsung direspon dengan kebijakan fiskal ekspansif dan sebaliknya pada saat ekonomi sedang memburuk, kebijakan fiskal tidak segera direspon dengan kebijakan fiskal kontraktif.
Konsekuensi utama apabila prosiklikalitas terjadi akan berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, peningkatan volatilitas output, inflasi yang lebih tinggi, sekaligus meningkatkan ketidakpastian dalam makroekonomi.
Dari sudut pandang kebijakan pemerintah, bahwa tidak dapat dipungkiri inilah yang menjadi pekerjaan rumah terberat bagi banyak negara berkembang seperti Indonesia agar terlepas dari jebakan prosiklis tersebut.
Pengalaman negara maju dapat menjadi pembelajaran berharga bagi negara Indonesia. Memang semestinya Indonesia harus berkaca dari negara maju, dengan beranjak menjadi kontra dengan siklus ekonomi dalam menetapkan kebijakan fiskal mereka.
Kepatuhan Rendah
TERLEPAS dari sisi kebijakan pemerintah tersebut, sebenarnya yang lebih krusial berasal dari masyarakat dimana masih rendahnya tingkat kesadaran dan kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak mereka.
Fakta menunjukkan bahwa kesadaran pajak di Indonesia masih terbilang sangat rendah. Berdasarkan data yang dihimpun dalam Booklet Inklusi Kesadaran Pajak oleh Ditjen Pajak, tingkat kepatuhan pajak WP orang pribadi hanya mencapai 59 persen sementara WP Badan masih berkisar di angka 47%.
Komitmen pemerintah dalam meningkatkan tingkat kesadaran dan kepatuhan pajak telah dilakukan melalui peningkatan inklusi dan literasi pajak. Sebagaimana yang diprogramkan pemerintah saat ini, komitmen tersebut lebih diarahkan ke ranah pendidikan baik formal maupun informal.
Inklusi kesadaran pajak dengan judul Pajak Bertutur sendiri berbicara tentang pengedukasian pajak yang menyasar para pelajar mulai dari SD hingga perguruan tinggi, di mana edukasi tersebut dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi dengan banyak pihak terkait seperti tenaga pendidik, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Keuangan, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dan pihak lainnya.
Jelas bahwa komitmen pemerintah bersifat jangka panjang. Pemerintah juga sudah menyiapkan langkah jitu dan roadmap untuk beberapa tahun ke depan dalam program inklusi kesadaran pajak tersebut. Target yang jelas juga telah ditetapkan.
Faktanya, saat ini pendidikan mencetak manusia dengan kecerdasan yang tinggi namun kurang moral. Literasi yang coba dimasukkan dalam area pendidikan, namun kurang modal manusia hanya akan memperparah keterpurukan pajak akibat korupsi dan penyelewengan pajak.
Banyak yang pesimis jika edukasi pajak sebatas menggali potensi pajak tanpa adanya pembaharuan karakter. Inilah yang menjadi salah satu fokus pembenahan. Salah satunya dengan mengoptimalkan program Nawacita ke-8 Revolusi Karakter Bangsa yang kemudian diselaraskan dengan momentum inklusi ini, maka tidak menutup kemungkinan kelak tingkat kesadaran pajak juga akan meningkat.
Akhir kata, seperti halnya indeks inklusi dan literasi keuangan yang menjadi acuan di sektor keuangan, cukup menarik jika kelak inklusi dan literasi pajak di Indonesia juga dihitung berdasarkan indeks yang baku. Ini akan meningkatkan upaya pemerintah dalam merangsang pertumbuhan tingkat kesadaran pajak di masa depan.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.