EKONOMI DIGITAL

Analisis Dampak Penerimaan Pajak Pilar 2 Konsensus Pajak Digital

Redaksi DDTCNews | Jumat, 05 Juni 2020 | 11:52 WIB
Analisis Dampak Penerimaan Pajak Pilar 2 Konsensus Pajak Digital

PROPOSAL untuk mengubah tatanan sistem pajak internasional dunia saat ini sangat bertumpu pada kesepakatan yang dikoordinasikan oleh OECD, yaitu melalui skema yang dikenal sebagai Pilar 1 dan Pilar 2.

Sayangnya, perhatian masyarakat dan para pemangku kebijakan lebih banyak pada Pilar 1 dari Unified Approach. Padahal, peran Pilar 2 jauh lebih komprehensif. Pilar yang dikenal sebagai Global Anti Base-Erosion (GloBE) ini dikonsep untuk mengembangkan kebijakan pajak multilateral sebagai jalan pembuka restrukturisasi sistem pajak internasional yang menyeluruh.

Selain ditujukan untuk mengoptimalkan hak pemajakan suatu yurisidiksi yang tidak terakomodasi dalam Pilar 1, GloBE juga memiliki komponen untuk menghindari kompetisi tarif pajak antarnegara melalui penetapan tarif pajak minimum lintas yurisdiksi atau yang dikenal sebagai income inclusion rule. Sebagai tambahan, terdapat pula komponen untuk menghindari pengikisan basis pajak di negara sumber melalui pengenaan pajak atas suatu transaksi melalui taxes on base eroding payment.

Baca Juga:
Perkaya Pengetahuan Pajak, Baca 11 e-Books Ini di Perpajakan DDTC

Kondisi tersebut dapat ditoleransi mengingat konsep GloBE sendiri belum terlalu banyak menyentuh tataran teknis sebagaimana halnya Pilar 1. Namun, di tengah terbatasnya informasi maupun data-data terkait, Michael P. Devereux bersama dengan tujuh penulis lainnya berhasil menyajikan analisis mendalam atas skema proposal GloBE. Analisis dampak ekonomi tersebut dituangkan dalam kajian yang berjudul “The OECD Global Anti-Base Erosion (“GloBE”) Proposal.”

Kajian yang diterbitkan pada Januari 2020 tersebut dapat dikatakan “selangkah lebih maju”, bahkan dibandingkan pelopor konsep GloBE itu sendiri. Hal ini mengingat bahwa OECD – sebagai penggagas – baru menerbitkan analisis awal atas dampak ekonominya pada Februari 2020.

Terlebih lagi, kajian tersebut juga dapat menjawab beberapa pertanyaan terkait Pilar 2 dalam dokumen progres proposal konsensus pajak digital yang disepakati oleh 137 negara Kerangka Inklusif BEPS pada awal tahun ini.

Baca Juga:
DDTC Gelar Temu Kontributor Buku Gagasan Perpajakan Prabowo-Gibran

Secara garis besar, dokumen terbitan Oxford University Centre for Business Taxation tersebut menjabarkan hasil-hasil simulasi penerimaan PPh badan dari berbagai skenario konsep GloBE yang ada. Gerak cepat yang dilakukan oleh Devereux dan rekan-rekannya meletakkan informasi yang bersumber dari dokumen konsultasi publik OECD per akhir 2019 sebagai landasan penyusunan asumsi dalam simulasi yang dilakukan.

Asumsi-asumsi yang disusun dalam kajian ini sangat kuat dan berdasar. Hal ini terutama dapat dilihat dari skema pemilihan informasi dan penggunaan data. Apabila beberapa kajian analisis dampak ekonomi atas Pilar 2 lainnya hanya mempertimbangkan pendekatan mikro dan berfokus pada komponen income inclusion rule, para penulis kajian ini melakukan lebih dari itu.

Selain menggunakan data yang bersifat mikro yang bersumber dari ORBIS, simulasi dalam kajian ini juga diekstrapolasi dengan menggunakan data yang bersifat makro dengan mempertimbangkan pula komponen taxes on bases eroding payment dalam estimasinya.

Baca Juga:
Kurang Kooperatif, Saldo Rekening Penunggak Pajak Dipindahbukukan

Hasilnya, GloBE akan mampu menambah penerimaan pajak global sebesar 14%. Ini berdasarkan simulasi dengan penetapan tarif pajak minimum efektif sebesar 10% lewat pendekatan di tingkat negara. Tambahan penerimaan pajak ini mayoritas berasal dari negara-negara suaka pajak.

Sementara itu, dengan tarif yang sama, apabila simulasi dilakukan dengan pendekatan blending di tingkat entitas perusahaan multinasional, tambahan penerimaan pajak secara global hanya berkisar 4%.

Pendekatan pertama menggunakan informasi yang bersumber dari laporan per negara. Sementara simulasi pendekatan kedua diasumsikan dengan menggunakan data laporan keuangan perusahaan multinasional yang terkonsolidasi.

Baca Juga:
Langganan Platform Streaming Musik, Kena PPN atau Pajak Hiburan?

Selain itu, salah satu temuan terpenting lainnya ialah adanya keterbatasan untuk menetapkan tujuan penetapan GloBE itu sendiri. Pemilihan sistem pendekatan – baik tingkat per entitas, per negara, maupun tingkat global – memiliki konsekuensinya masing-masing.

Apabila GloBE lebih ditujukan untuk mitigasi risiko BEPS maka para penulis merekomendasikan untuk mengimplementasikan GloBE dengan pendekatan per entitas. Sementara itu, apabila GloBE ditujukan utamanya untuk meningkatkan investasi secara global melalui penetapan tarif pajak minimum efektif global, kajian ini menjabarkan bahwa hal itu lebih mudah tercapai apabila GloBE diterapkan di tingkat per negara.

Satu-satunya hal yang tampak “janggal” dari kajian kuantitatif yang sangat komprehensif dengan landasan asumsi yang kuat ini ialah adanya bahasan mengenai dampak GloBE terhadap ketentuan hukum di Kawasan Uni Eropa. Bahasan bab terakhir kajian ini dirasa agak dipaksakan.

Namun, berbagai asumsi dan model untuk mengestimasi dampak tambahan penerimaan pajak yang tertera dalam kajian ini merupakan sesuatu yang terasa sangat mencerahkan. Apalagi, kapasitas Devereux untuk membangun suatu permodelan dampak ekonomi yang robust telah sangat teruji. Bahkan, kajian tarif pajak efektif yang ia susun pada 2003 juga digunakan oleh OECD dalam analisisnya untuk menyusun asumsi permodelan dampak ekonomi konsensus pajak digital.*

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 22 Oktober 2024 | 11:45 WIB LITERATUR PAJAK

Perkaya Pengetahuan Pajak, Baca 11 e-Books Ini di Perpajakan DDTC

Senin, 21 Oktober 2024 | 15:30 WIB HUT KE-17 DDTC

DDTC Gelar Temu Kontributor Buku Gagasan Perpajakan Prabowo-Gibran

Senin, 21 Oktober 2024 | 12:30 WIB KPP PRATAMA NATAR

Kurang Kooperatif, Saldo Rekening Penunggak Pajak Dipindahbukukan

Jumat, 18 Oktober 2024 | 15:30 WIB SERBA-SERBI PAJAK

Langganan Platform Streaming Musik, Kena PPN atau Pajak Hiburan?

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:45 WIB KABINET MERAH PUTIH

Tak Lagi Dikoordinasikan oleh Menko Ekonomi, Kemenkeu Beri Penjelasan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja