AWAL April lalu, kita mengetahui rencana resmi kebijakan pajak Presiden Joe Biden bagi Amerika Serikat (AS). Melalui dokumen The Made in America Tax Plan yang dirilis Departemen Keuangan AS, Biden mengemukakan 7 usulan, mulai dari penyesuaian tarif PPh badan hingga skema pajak untuk energi terbarukan.
Adapun sebagian dari usulan dalam dokumen tersebut sebelumnya sudah pernah diungkapkan Biden, baik pada saat kampanye maupun setelah dilantik. Tujuh poin dari rencana pajak Biden bisa dibilang sebagai koreksi—jika bukan antitesis—dari agenda pajak Presiden Trump yang termaktub dalam Tax Cut and Jobs Act (TCJA).
Dalam ranah pembicaraan publik, rencana Biden cenderung diletakkan dalam hal-hal populer, khususnya mengenai kenaikan tarif PPh badan dan keberpihakan kepada konsensus global pajak digital. Namun, bagaimana kita seharusnya membaca secara komprehensif rencana pajak Biden?
Masalah Sama, Pendekatan Berbeda?
JIKA dicermati, agenda pajak Trump dan Biden berangkat dari masalah yang sama. Tren pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah, kontribusi penerimaan PPh badan yang menurun, rendahnya tarif pajak efektif perusahaan multinasional AS, minimnya substansi aktivitas ekonomi, serta risiko dari jaringan dengan negara tax haven.
Pada masa Trump terbit TCJA yang efektif berlaku per 2018. Fitur-fitur kerangka kebijakan pajak ala TCJA jelas sangat mengagetkan karena sistem pajak AS berubah drastis.
Tarif PPh badan didiskon sebesar 40% dari sebelumnya 35% menjadi 21%, perubahan rezim ke semi-territorial, serta adanya berbagai instrumen baru seperti earning stripping rule, Global-Intangible Low Tax Income (GILTI), Base Erosion and Anti-Tax Abuse (BEAT), serta Foreign-Derived Intangible Income (FDII).
Lebih lanjut, Trump juga berpandangan skeptis atas kerja sama multilateral di bidang pajak. Ini tercermin dari ketidaksepahaman AS dengan proposal pajak digital yang disusun oleh OECD dengan mandat dari G20.
Simpulannya jelas. Trump melihat bahwa solusi atas persoalan pajak dan ekonomi AS justru harus mengedepankan dan menguntungkan posisi AS (inward looking). Di sisi lain, Trump percaya bahwa berbagai relaksasi, atas ketentuan yang selama ini justru mendorong praktik penghindaran pajak, akan memberikan dampak positif.
Semisal mereformasi rezim pajak worldwide yang menyuburkan praktik company inversion dan lock-out capital. Atau, menyesuaikan tarif PPh badan yang kerap mendorong praktik pengalihan laba ke negara dengan tarif pajak rendah.
Sayangnya, masih jauh panggang dari api. Alih-alih menyelesaikan persoalan secara komprehensif, TCJA justru menimbulkan beberapa persoalan. Studi yang dilakukan oleh Furman (2020), Gravelle dan Marples (2019), Kopp, et al. (2019), serta Rosenthal dan Burke (2020) memperlihatkan hal tersebut.
Berbagai relaksasi dalam TCJA tidak mampu memberikan dorongan bagi investasi riil dan pertumbuhan ekonomi. Sebagai contoh, dana penghematan pajak justru dipergunakan untuk buyback saham dan mengalirkan dividen lebih besar bagi pemilik modal. Di saat yang bersamaan, praktik penghindaran pajak justru kian meningkat.
Pemerintahan Trump bukan berarti menutup mata. Melalui Tax Cut 2.0 yang diusung saat kampanye, Trump justru mengusung agenda pemotongan pajak lanjutan. Salah satunya melalui insentif yang akan menyasar pengusaha asal AS yang ingin memindahkan pabrik atau menarik rantai pasoknya dari China.
Di sisi lain, pada saat kampanye, Biden secara konsisten mengkritik rezim pajak Trump. Dalam berbagai kesempatan, Biden menekankan pentingnya kesetaraan perlakuan pajak antara masyarakat berpenghasilan tinggi dan masyarakat berpenghasilan menengah, serta kegagalan kebijakan penurunan tarif PPh badan.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kurang dari 3 bulan setelah dilantik, terbit dokumen The Made in America Tax Plan yang merupakan buah pemikiran agenda politiknya. Singkatnya, agenda pajak Biden tersebut bersifat korektif dan mencoba menutupi kelemahan yang ada pada TCJA.
Tujuan yang diusung oleh Biden dan Trump sejatinya sama, yaitu menggerakkan ekonomi secara pragmatis. Jika Trump relatif lebih condong kepada pentingnya relaksasi kaum kaya dan dunia usaha. Biden mengedepankan perlakuan pajak yang adil dan kolaboratif dalam rangka mendanai anggaran pembangunan.
Di Balik Agenda Biden
DOKUMEN The Made in America Tax Plan sesungguhnya telah menjelaskan latar belakang dari agenda pajak Biden. Jargon sistem pajak yang lebih efisien, berdaya saing, adil, serta mengurangi kecurangan pajak, berkali-kali disebut dalam dokumen tersebut.
Namun demikian, sepertinya terdapat beberapa tujuan dan dasar pemikiran yang tidak tersurat secara gamblang, sebagai berikut. Pertama, kritik atas supply side tax policy. Supply side tax policy identik dengan jurus pemotongan beban pajak dalam rangka menggairahkan ekonomi.
Mazhab ini kerap diasosiakan dengan apa yang disebut sebagai trickle down economy, yang mana suatu penurunan tarif atau beban pajak kepada korporasi dan pemilik modal akan memberikan suatu dorongan kepada aktivitas ekonomi yang lebih besar sehingga meningkatkan lapangan kerja.
Perlu dipahami bukan berarti kedua konsep itu salah. Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi paradigma supply side tax policy kian tidak efektif menjamin trickle down effect, terlebih dalam perekonomian terbuka dan globalisasi. Atas penghematan yang muncul seiring dengan turunnya beban pajak, bisa jadi ‘menetes’ ke negara lain.
Kekecewaaan ini juga sulit dilepaskan dari perbedaan politik ekonomi yang menjadi nafas partai politik di AS. Walau keterkaitan antara Partai Republik (Grand Old Party/GOP) dan supply side economics masih bisa diperdebatkan (Burns dan Taylor, 2000), kita paham mazhab tersebut kerap muncul ketika Presiden AS merupakan kaum Republikan.
Dalam hal ini, Biden, sebagai representasi Partai Demokrat, berupaya memberikan posisi yang berbeda. Kritik atas supply side tax policy turut diperkuat oleh tren komposisi penerimaan pajak selama tiga dekade terakhir.
Kontribusi pajak atas imbal hasil dari labor (penghasilan upah) terus membesar, sedangkan kontribusi pajak atas imbal hasil capital (penghasilan pasif) justru sebaliknya. Berbagai fasilitas pajak atas modal ditengarai jadi penyebabnya. Akibatnya, pemilik modal yang notabene kelompok kaya kian diuntungkan dan ketimpangan meningkat.
Kedua, ‘memaksa’ negara lain mensukseskan kepentingan AS. Dalam rangka mengantisipasi dampak negatif rencana kenaikan tarif dari 21% menjadi 28%, Biden memanfaatkan peluang pembicaraan mengenai global minimum tax.
Kenaikan tarif tersebut pada dasarnya tidak hanya akan membuat daya saing AS akan menurun tapi juga meningkatkan risiko profit shifting. Pasalnya, merujuk pada laporan OECD mengenai Corporate Tax Statistics, rata-rata tarif pajak korporasi di 109 yurisdiksi tercatat sebesar 20,6% pada 2020.
Selain itu, kita juga perlu memahami bahwa keberhasilan rezim pajak territorial—yang diadopsi melalui TCJA—perlu dikombinasikan dengan tarif pajak yang relatif rendah.
Hal ini dikarenakan rezim territorial akan membuat investor asal AS terdorong memilih yurisdiksi yang menawarkan tarif PPh badan yang kompetitif. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mencegah kompetisi tarif pajak.
Ini mungkin jadi alasan rasional mengapa AS ‘balik badan’, mendukung proposal pajak digital. Tarif pajak minimum sebelumnya memang menjadi bagian dari pilar dua proposal pajak digital, walau besarannya belum ditentukan.
Pilar yang dikenal sebagai Global Anti Base-Erosion (GloBE) ini memiliki komponen untuk menghindari kompetisi tarif pajak antarnegara melalui penetapan tarif pajak minimum lintas yurisdiksi
Ketiga, mendorong daya tahan ekonomi Amerika. Pemulihan ekonomi pascacovid Covid 19 -suka tidak suka- turut berpengaruh bagi agenda reformasi pajak banyak negara, khususnya untuk mendorong investasi dan permintaan dalam negeri (OECD, 2021). Tak terkecuali bagi AS.
Sebagai negara capital exporter, AS sesungguhnya memiliki keunggulan. Namun, tinggal bagaimana menggoda para investor untuk melakukan reinvestasi ke dalam negeri di sektor yang secara riil bisa menggerakkan ekonomi. Menu dalam TCJA sebenarnya sudah didesain untuk mengatasi persoalan ini, tapi masih memiliki celah.
Sebagai contoh, kebijakan FDII dan GILTI gagal dalam mendorong perusahaan multinasional AS untuk memprioritaskan AS sebagai yurisdiksi berlokasinya fungsi dan aset yang signifikan serta memiliki imbal hasil besar (termasuk intellectual property/IP).
Apalagi, perencanaan pajak dengan upaya memindahkan IP merupakan salah satu skema yang kerap dilakukan perusahaan multinasional. Oleh karena itu, Biden berencana untuk memberikan insentif kegiatan litbang untuk menjamin substansi ekonomi dan imbal hasil dari kepemilikan IP berada di AS.
Daya tahan ekonomi—khususnya fiskal—AS juga berusaha dicapai melalui rencana pengurangan subsidi BBM dan memberikan insentif pajak bagi investasi sektor energi terbarukan. Di sisi lain, langkah ini berdampak positif bagi reputasi AS yang kembali ke Perjanjian Paris tentang perubahan iklim yang sempat ditinggalkan Trump.
Keempat, kebutuhan penerimaan. Dokumen The Made in America Tax Plan sesungguhnya cukup jujur terkait ini, walau dikemas dalam kaitannya dengan sistem pajak yang lebih adil.
Memang betul bahwa komposisi penerimaan AS dari PPh badan tidak signifikan, semisal jika dibandingkan rata-rata negara Asia Pasifik atau OECD. Selama periode 2000-2017, kontribusinya hanya 2%. Kemudian turun menjadi tinggal 1% setelah TCJA.
Yang jelas, ada dua fakta yang relatif mengganggu. Studi yang dilakukan Joint Committee on Taxation (2021) menunjukkan bahwa 7 dari 10 yurisdiksi tempat diparkirnya laba perusahaan multinasional AS adalah tax haven. Bermuda bahkan menjadi yurisdiksi di mana 10% laba perusahaan multinasional AS dicatatkan.
Di saat yang bersamaan, efektivitas otoritas pajak AS (IRS) dalam mencegah dan menindak skema penghindaran pajak kian terbatas. Pemangkasan anggaran IRS telah membuat rasio pemeriksaan atas perusahaan multinasional telah berkurang.
Mencermati kedua hal tersebut, Biden akan mendukung anggaran penegakan hukum IRS sekaligus memperkenalkan kebijakan baru yang menggantikan BEAT yaitu Stopping Harmful Inversions and Ending Low-tax Development (SHIELD).
Singkatnya, upaya memerangi penghindaran pajak akan memasuki babak baru. Pertanyaan yang masih tersisa ialah bagaimana sikap Biden terhadap negara bagian yang selama ini juga dikategorikan sebagai tax haven seperti Nevada, Delaware, dan Wyoming?
Kelima, kerapuhan dan perlunya reformasi sistem PPh badan. Secara tersirat, Biden dan jajarannya mahfum bahwa implementasi PPh badan adalah tugas yang kian sulit. Berbagai kebijakan untuk mengoptimalkan jenis pajak ini kerap hanya menghasilkan sistem pajak yang kian kompleks.
Ditinjau dari sejarahnya, AS selalu punya solusi yang kreatif dan bersifat terobosan dalam menciptakan sistem PPh yang optimal, di antaranya seperti ketentuan transfer pricing, CFC rules, alternative minimum tax, FATCA, hingga pemotongan pajak atas youtuber.
AS juga nyaris mengadopsi sistem PPh badan yang berbasis origin principle menjadi destination-based cash flow tax (DBCFT) yang mirip dengan PPN (destination principle).
Dalam The Made in America Tax Plan, Biden berencana untuk mengenakan tarif pajak minimum sebesar 15% atas book income dari korporasi. Hal ini dipicu oleh fenomena ketimpangan antara nilai book income (yang dilaporkan kepada investor) dengan taxable income (yang dilaporkan kepada IRS).
Rencana kebijakan tersebut kian memperkuat dugaan bahwa AS sudah lelah dalam upaya memastikan pembayaran PPh badan yang adil dan memilih ‘cara praktis’ untuk menarik kontribusi korporasi. Ini tentu perlu menjadi perhatian kita bersama.
Hasil final dari rencana Biden tersebut masih dalam proses pembahasan melalui rangkaian politik ke depan. Suara sumbang atas agenda tersebut juga sudah muncul baik dari dalam dan luar negeri. Kalaupun lolos secara politik, dinamika reformasi pajak secara global akan menjadi batu penguji keampuhan agenda Biden tersebut.
Lalu, apa hubungannya bagi Indonesia? Umumnya, langkah AS memberikan pengaruh bagi dinamika pajak global, termasuk Indonesia. Yang pasti, agenda Biden bisa kita pergunakan untuk memicu berbagai pertanyaan fundamental tentang desain kebijakan pajak Indonesia.
Apakah rencana pajak Biden adalah secuplik gambaran masa depan pajak global? Apakah proteksi basis pajak dan kebutuhan penerimaan seharusnya menjadi limitasi dari supply side tax policy agar tidak kebablasan?
Bagaimana cara memastikan kebijakan pajak yang memiliki intensi baik -seperti relaksasi- akan menghasilkan perilaku yang diharapkan dan justru tidak disalahgunakan? Hingga kapan kita bisa bergantung dari penerimaan PPh badan?
Mungkin pernyataan-pertanyaan itulah yang perlu kita resapi dan pikirkan dalam-dalam.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.