Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pajak karbon diyakini dapat menjadi solusi dalam penanganan masalah pemanasan global. Namun demikian, pengenaan pajak karbon juga dinilai berpotensi kontraproduktif terhadap kegiatan usaha dalam negeri.
Hal tersebut tergambar dari hasil survei yang dilakukan bersamaan dengan debat DDTCNews periode 23 September - 11 Oktober 2021. Seperti diberitakan sebelumnya, dari jumlah pemberi komentar tersebut, sebanyak 84% menyatakan setuju dengan adanya pengenaan pajak karbon.
Dari 239 pengisi survei tersebut, sebanyak 87% setuju dan sangat setuju pajak karbon dapat menjadi solusi untuk menangani pemanasan global. Hal ini sejalan dengan beberapa komentar peserta dalam kolom debat.
Seperti komentar dari Ahmad Ardhipa Taufiqurrahman misalnya. Dia berpendapat emisi karbon di Indonesia sudah tinggi sehingga dapat berdampak pada perubahan iklim menjadi tidak menentu. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah untuk meminimalisasinya.
“Salah satu langkah tersebut adalah dengan membatasi penggunaan bahan bakar yang menghasilkan emisi karbon berlebih. Sejalan dengan itu, penerapan pajak karbon sudah relevan dengan salah satu tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) 2045, yaitu penanganan perubahan iklim,” ujarnya.
Daffa Nurmansyah juga berpendapat pajak karbon merupakan salah satu instrumen dalam mewujudkan SDGs, terutama terkait dengan penanganan perubahan iklim akibat pemanasan global. Selain itu, pengenaan pajak karbon juga menjadi langkah awal mewujudkan ekonomi hijau.
Di sisi lain, sebanyak 56,8% pengisi survei juga setuju dan sangat setuju pajak karbon berpotensi kontraproduktif terhadap kegiatan usaha dalam negeri. Beberapa peserta menyampaikan kekhawatirannya terhadap risiko bertambahnya beban bagi dunia usaha dan masyarakat.
Rofi`atul Khusna mengatakan pengenaan pajak karbon memang sesuai dengan polluter pays principle. Namun, skema kebijakan ini memang pada akhirnya menimbulkan cost internalization dari sisi produksi sehingga berdampak pada kenaikan harga barang atau jasa.
“Pada akhirnya masyarakat sebagai konsumen yang akan menanggung carbon tax tersebut,” ujarnya.
Dia juga menyoroti salah satu sektor strategis penghasil emisi karbon yang cukup tinggi, yakni industri pupuk urea. Jika pajak karbon diterapkan pada industri tersebut, petani akan terdampak. Dengan demikian, perlu dibuat skema pembebasan atau pengurangan.
Terlepas dari hal tersebut, sebanyak 41% pengisi survei menilai waktu ideal implementasi pajak karbon adalah tahun depan. Sebanyak 29,5% pengisi survei memilih 2023. Sebanyak 10,8% pengisi survei menilai waktu ideal penerapan pajak karbon pada 2025.
Dalam Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pengenaan pajak karbon dikombinasikan dengan perdagangan karbon. Pengenaan dilakukan secara bertahap. Pertama, pada 2021 dilakukan pengembangan mekanisme perdagangan karbon.
Kedua, pada 2022—2024 diterapkan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax) untuk sektor pembangkit listrik terbatas pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Ketiga, pada 2025 dan seterusnya dilaksanakan implementasi perdagangan karbon secara penuh dan perluasan sektor pemajakan pajak karbon dengan penahapan sesuai dengan kesiapan sektor terkait.
Ketentuan pajak karbon akan dimulai pada 1 April 2020 dengan pengenaan pertama terhadap badan PLTU batu bara dengan tarif Rp30 per per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Simak, Ini Skema Pengenaan Pajak Karbon dalam UU HPP. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.