TAJUK PAJAK

Badan Penerimaan Negara, Bukan Hanya Soal Pisah dari Kemenkeu

Redaksi DDTCNews | Selasa, 04 Juni 2024 | 13:15 WIB
Badan Penerimaan Negara, Bukan Hanya Soal Pisah dari Kemenkeu

Ilustrasi. (freepik)

BADAN Penerimaan Negara (BPN). Institusi baru ini sudah secara gamblang diungkap presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, sejak masa kampanye pemilu 2024 sebagai salah satu janji politik.

Pendirian BPN merupakan salah satu dari 8 program hasil terbaik cepat yang disandingkan dengan upaya peningkatan rasio penerimaan negara terhadap PDB sebesar 23%. Artinya, BPN sudah diusung sejak awal sebelum mencuatnya agenda penambahan kementerian/lembaga saat ini.

Pertanyaannya, apakah pembentukan BPN juga termasuk di dalamnya? Terlebih, seperti kita ketahui, agenda pemisahan otoritas perpajakan dari Kementerian Keuangan sudah ada dalam 2 periode pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, hingga saat ini, belum dieksekusi.

Baca Juga:
Mobil Rp200 Juta Disita KPP, Bakal Dilelang Kalau Utang Tak Dilunasi

Padahal, pada 2016, nomenklatur baru sudah coba disodorkan dalam revisi Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Di bawah Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, saat itu diperkenalkan istilah lembaga untuk menggantikan Direktorat Jenderal Pajak.

Namun, pada tahun tersebut, pemerintah dan DPR mendahulukan agenda amnesti pajak yang digadang-gadang menjadi transisi sebelum ‘era baru’. Kenyataannya, setelah itu, pembentukan lembaga baru tidak pernah dibahas lagi di tangan menteri keuangan baru Sri Mulyani Indrawati.

Penguatan otoritas memang tetap diupayakan dari sisi sumber daya manusia (SDM), remunerasi, administrasi (teknologi), hingga struktur kelembagaan. Adanya 3 staf ahli menteri keuangan yang secara khusus membantu dirjen pajak menjadi salah satu bagian dari penguatan tersebut.

Baca Juga:
Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Namun, agaknya Prabowo-Gibran menilai pemisahan masih diperlukan. Menariknya, meskipun tidak ada pembahasan khusus dalam debat yang digelar KPU, ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu 2024 sepakat dengan adanya pembentukan BPN.

Sinyal dari presiden terpilih Prabowo adalah memisahkan antara pembuat kebijakan (policy maker) dan administrator/pemungut penerimaan perpajakan. Prabowo menyebut praktik ini sudah banyak dilakukan oleh negara-negara maju.

Bagaimana redaksi DDTCNews melihat wacana tersebut? Seperti diketahui, DDTCNews merupakan bagian dari DDTC. Sudah 1 dekade silam, tepatnya pada 2013, DDTC sudah merilis 2 publikasi mengenai desain kelembagaan otoritas pajak.

Baca Juga:
Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Pertama, Inside Tax edisi 16 (Juli-Agustus 2013) yang memuat artikel berjudul Desain Kelembagaan Administrasi Perpajakan: Perlukah Ditjen Pajak Terpisah dari Kementerian Keuangan? karya dari Darussalam, B. Bawono Kristiaji, dan Hiyashinta Klise.

Kedua, Working Paper Tax Law Design and Policy Series No. 0213, Agustus 2013 berjudul The Myths and Realities of Tax Performance Under Semi-Autonomous Revenue Authorities yang merupakan karya B. Bawono Kristiaji dan Adri A. L. Poesoro.

Melalui kedua publikasi tersebut, DDTC telah melakukan analisis mengenai konsep, studi komparasi, pengujian empiris, dan prospek implementasi Semi-Autonomous Revenue Authority (SARA). Simak ‘4 Kategori Kelembagaan Administrasi Pajak di Berbagai Negara’.

Baca Juga:
Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Apa yang bisa dipelajari? SARA – yang merupakan bentuk dari pemisahan otoritas perpajakan dari Kementerian Keuangan – memberikan peluang sekaligus tantangan baru. Oleh karena itu, faktor politik serta desain pengaturan kelembagaan akan berperan krusial.

Dalam working paper DDTC itu memang ditemukan adanya korelasi positif model SARA terhadap penerimaan karena efektivitas dan efisiensi otoritas. Namun demikian, aspek itu tidak boleh dilepaskan dari pengaturan area perpajakan yang luas serta konteks Indonesia.

Perlu dipahami, sistem pajak justru harus didesain secara customized dengan mempertimbangkan kebutuhan ‘pelanggan’, yakni masyarakat wajib pajak, dengan melihat berbagai sasaran yang hendak dicapai (Bird, 2013).

Baca Juga:
PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Oleh karena itu, redaksi DDTCNews memandang perlunya kajian mendalam yang melibatkan seluruh stakeholders, termasuk wajib pajak. Kehadiran BPN harus tetap menjamin perlindungan terhadap hak-hak wajib pajak yang notabene merupakan penyumbang dari penerimaan itu sendiri.

Harapannya, kekhawatiran terciptanya ‘entitas super’ yang bersinggungan dengan penyalagunaan kekuasaan dan sumber korupsi bisa dicegah. Hal ini berkaitan erat juga dengan pengawasan dari tax ombudsman, koordinasi dengan tax policy unit, serta penyelesaian sengketa di pengadilan pajak.

Artinya, pembentukan BPN juga harus diletakkan dalam kerangka reformasi perpajakan yang masih berjalan secara berkelanjutan. Terlebih, pembentukan BPN juga pada akhirnya perlu dimulai dengan penyesuaian sejumlah peraturan perundang-undangan.

Baca Juga:
Ada Coretax, Pembayaran dan Pelaporan Pajak Bakal Jadi Satu Rangkaian

Selain itu, penting untuk dipahami bahwa faktor kelembagaan merupakan salah satu dari sejumlah aspek yang memengaruhi penerimaan pajak. Misal, ada aspek struktur dan kegiatan ekonomi, sosial dan demografi, serta politik.

Dengan demikian, BPN bukan hanya sekadar memisahkan otoritas perpajakan dari Kementerian Keuangan. Pembentukan BPN harus menjaga prinsip-prinsip pajak. Buku Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional terbitan DDTC (2024) memuat prinsip-prinsip pajak itu antara lain keadilan, kepastian dan kemudahan, efisiensi, serta kesederhanaan. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:30 WIB KPP PRATAMA BENGKULU SATU

Mobil Rp200 Juta Disita KPP, Bakal Dilelang Kalau Utang Tak Dilunasi

Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:30 WIB KPP PRATAMA BENGKULU SATU

Mobil Rp200 Juta Disita KPP, Bakal Dilelang Kalau Utang Tak Dilunasi

Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?