Predi Sinaga
, mahasiswa PKN-STANPADA era teknologi kini, berbagai pekerjaan semakin mudah dilakukan dengan memanfaatkan media sosial untuk mendapatkan penghasilan. Caranya dengan mempromosikan produk milik sendiri atau orang lain, yang umumnya memiliki tujuan sama yakni mendapatkan penghasilan.
Kebanyakan pekerjaan ini dilakukan di media sosial Instagram. Hal ini karena Instagram identik dengan berbagi video dan gambar sehingga sangat familiar untuk digunakan promosi. Orang yang melakukan pekerjaan ini disebut selegram atau endorser dan jenis pekerjaannya paid endorsement.
Perkembangan ini menjadi peluang bagi Ditjen Pajak (DJP) untuk menggali basis pajak yang menjadi potensi penerimaan pajak berkelanjutan. Pendapatan dari endorsement ini bisa menjadi penambah penghasilan yang dikenai tarif pajak PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23 atau PPh final.
Namun, sampai saat ini DJP belum mendesain kebijakan yang menjadikan pendapatan selegram sebagai basis pajak yang konsisten. Buktinya, DJP masih memperlakukan pendapatan tersebut sebagai tambahan atas penghasilan yang diterimanya di pekerjaan nyata.
Implikasinya penghasilan dari selegram itu berpotensi tidak dimasukkan ke dalam perhitungan pajak. Di sisi lain, DJP juga belum memiliki sistem yang efektif untuk melakukan pemeriksaan yang optimal atas penghasilan ini.
Hingga kini, kebijakan yang dirancang DJP untuk memajaki selebgram stagnan pada pendefinisian dan tarif. Selebgram berpotensi dikenakan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23. Selebgram dikenai PPh Pasal 21 jika melakukan pekerjaan independen dan tanpa agensi, PPh Pasal 23 sebaliknya.
Desain kebijakan seperti ini tentu sangat minim untuk menjadikan selebgram sebagai potensi pemajakan baru. Untuk diketahui profesi selebgram bisa terjadi dalam dua kondisi, pertama sebagai pekerjaan utama dan kedua sebagai pekerjaan sampingan.
Dengan adanya perbedaan kondisi ini, perlakuan yang diberikan pun harus berbeda. Misalnya terkait dengan wajib lapor dan perhitungan penghasilan kena pajak. Apakah biaya pembelian paket data juga dapat digunakan sebagai pengurang penghasilan atau tidak, dan seterusnya.
Tentu desain kebijakan seperti ini butuh waktu yang cukup lama dan dibutuhkan riset mendalam. Jika kebijakan yang didesain sudah baik secara administratif dan subtantif, dengan melihat perkembangan, maka penghasilan selebgram akan menjadi penerimaan pajak yang nyata dan konsisten.
Pemajakan dan Instrumen
PALING tidak ada 3 langkah yang bisa dilakukan untuk memajaki selebgram. Pertama, DJP mendesain sistem yang mampu mengenali dan mengendalikan selebgram. Pengendalian ini maksudnya agar DJP bisa melakukan pemeriksaan secara efektif jika ada potensi penghindaran pajak.
Salah satunya adalah menetapkan wajib Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi seseorang yang memiliki pengikut Instagram 50 ribu atau lebih. Hal ini karena mereka yang bisa mendapatkan order promosi produk adalah mereka yang memiliki jumlah pengikut banyak.
Skemanya, Instagram memberikan pin pada selebgram dengan pengikut 50 ribu ke atas sebagai tanda menjadi wajib pajak. DJP bisa menghubungi selebgram terkait untuk memberitahu kewajiban pajaknya. Skema ini juga menghilangkan pemikiran negatif karena pendekatannya lebih kooperatif.
Kedua, penguatan fungsi Direktorat Teknologi dan Informasi DJP untuk membangun sistem yang mampu mendeteksi transaksi jual beli atau promosi di Instagram. DJP dapat membuat sistem tagar detection yang akan memudahkan DJP mengetahui pengguna yang melakukan paid endorsement.
Selama ini, tagar menjadi salah satu yang biasa digunakan dalam promosi di Instagram. DJP dapat membuat tagar detection yang mampu mendeteksi tagar yang umum dipakai selebgram untuk melakukan endorsement.
Sistem ini akan menjadi alat pribadi DJP untuk mencari kegiatan yang berpotensi menjadi basis pajak. Jika kebijakan pertama tadi untuk memberikan tanda siapa yang menjadi subjek pajak, maka tagar detection menjadi alat untuk mendeteksi objek pajak.
Ketiga, perlu kerja sama antara DJP dan selebgram, baik dengan pemberian insentif atau fasilitas lain guna meningkatkan kepatuhan pajaknya. Misalnya dengan mengangkat selebgram yang patuh sebagai duta pajak, atau ada skema keringanan pajak dan kemudahan perpajakan lainnya.
Tentu ini akan menjadi penghargaan yang sangat berarti sekaligus merangsang selebgram lain untuk memenuhi kewajiban pajaknya. Di sisi lain, penghargaan ini juga memberikan efek berganda karena bisa meningkatkan popularitas selebgram yang dikenal sebagai wajib pajak taat.
Kebijakan ini tentu perlu dikolaborasikan dengan kebijakan yang sudah dijalankan sebelumnya. Perlu juga dilakukan evaluasi secara bertahap untuk menciptakan desain kebijakan yang dinamis dan efektif. Tentu, penguatan dan desain birokrasi menjadi fokus yang tidak bisa diabaikan.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
jika nanti mekanisme ini terealisasikan, saran saya yakni adanya batas minimum berapa jumlah endorsement yang bakal dikenai pajak, jadi tidak hanya fokus pajak yang subjektif (dilihat dari followers) tetapi pajak yang objektif juga berlaku (dilihat dari jumlah endorsement), untuk pengenaannya mungkin bisa lewat pengenaan tarif ppn 10% atas jasa (pengiklanan), dan dpp yang digunakan yakni harga kesepekatan keduanya (selebgram dan pemberi endorsement). Hal ini juga dapat memicu pengontrolan para penjual barang online untuk memiliki NPWP dan dikukuhnya menjadi PKP,