DEBAT PAJAK

PPN 12%, Setuju atau Tidak? Tulis Komentar Anda, Hadiahnya Buku DDTC

Redaksi DDTCNews | Kamis, 21 November 2024 | 08:00 WIB
PPN 12%, Setuju atau Tidak? Tulis Komentar Anda, Hadiahnya Buku DDTC

JAKARTA, DDTCNews - Isu pajak tidak luput dari sorotan publik pada masa awal kerja Kabinet Merah Putih dibawah Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran. Salah satu isu yang cukup menyita perhatian publik akhir-akhir ini adalah kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN).

Sesuai dengan amanat UU HPP yang mengubah UU PPN, kenaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap. Kenaikan tarif pertama mulai berlaku pada 1 April 2022, yakni dari 10% menjadi 11%. Kemudian, tarif akan kembali naik menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025.

Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Rabu (13/11/2024), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pembahasan mengenai kenaikan tarif sudah berlangsung sejak lama. Sekarang, pemerintah mempersiapkan implementasi kebijakan tersebut.

Baca Juga:
Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

“Jadi di sini kami sudah membahas bersama Bapak Ibu sekalian [anggota Komisi XI DPR], sudah ada undang-undangnya. Kita perlu untuk menyiapkan agar itu bisa dijalankan tapi dengan penjelasan yang baik," ujar Sri Mulyani dalam rapat bersama Komisi XI DPR, Rabu (13/11/2024).

Sri Mulyani menegaskan pemerintah tidak ‘membabi-buta’ dalam pengenaan pajak. Dalam konteks ini, kesehatan APBN memang harus dijaga. Selain itu, APBN juga harus dapat merespons situasi, seperti saat krisis keuangan global atau pandemi.

Meskipun tarif PPN dinaikkan secara bertahap, Sri Mulyani mengatakan pemerintah sesungguhnya telah memberikan berbagai fasilitas, mulai dari pengurangan tarif (reduced rate) hingga pembebasan. Hal ini menjadi langkah afirmatif terhadap banyak sektor ekonomi.

Baca Juga:
Apa Itu Barang Tidak Kena PPN serta PPN Tak Dipungut dan Dibebaskan?

Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengatakan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025 merupakan amanat UU HPP. Namun, menurutnya, kondisi ekonomi saat ini memang sangat berbeda ketimbang ketika UU HPP disahkan.

"Kalau pemerintah tidak menjadikan itu pertimbangan, berarti pemerintah masih beranggapan bahwa kondisi ekonomi masih stabil, ekonomi masih tidak terpengaruh dengan daya beli masyarakat," katanya.

Misbakhun menjelaskan pemerintah dan DPR telah menyepakati kenaikan tarif PPN sejak 2021. Dalam proses pembahasannya, DPR juga sudah meminta kajian yang mendalam mengenai dampak kebijakan kenaikan tarif PPN.

Baca Juga:
Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Meski demikian, lanjut Misbakhun, pemerintah tetap bisa mempertimbangkan penundaan kenaikan tarif PPN. Apabila memutuskan untuk menunda, masih ada banyak jalan yang dapat ditempuh dan tidak bertentangan dengan konstitusi.

Sesuai dengan ketentuan, ada ruang untuk menurunkan PPN serendah-rendahnya menjadi 5%. Ruang ini termuat dalam Pasal 7 UU PPN s.t.d.t.d UU HPP. Perubahan tarif diatur dengan PP setelah disampaikan pemerintah kepada DPR untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan RAPBN.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah berhati-hati dalam menaikan tarif PPN menjadi 12%. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam mengatakan kenaikan tarif PPN berpotensi menekan konsumsi masyarakat. Alhasil, tujuan optimalisasi penerimaan negara melalui kenaikan tarif PPN tidak terwujud.

Baca Juga:
Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

"Kami selalu sampaikan ke pemerintah, kan pemerintah mau naikin PPN. Tidak selalu kenaikan PPN itu berujung ke kenaikan revenue. Jadi hati-hati," katanya.

Lantas, bagaimana menurut Anda? Apakah Anda setuju jika kenaikan tarif PPN menjadi 12% dilanjutkan? Atau Anda tidak setuju sehingga tarif PPN sebaiknya tetap 11%? Berikan pendapat dan uraikan alasan-alasan Anda dalam kolom komentar.

Sebanyak 6 pembaca DDTCNews yang memberikan pendapat pada kolom komentar artikel ini akan berkesempatan terpilih untuk mendapatkan buku terbitan DDTC berjudul Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional.

Baca Juga:
Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Buku ini merupakan cetakan kedua. Sebanyak 1.000 buku cetakan pertama April 2024 telah diterima banyak pihak, termasuk pemerintah, anggota DPR, pelaku usaha, karyawan swasta, konsultan pajak, akademisi, hingga mahasiswa.

Buku ini ditulis oleh Founder DDTC Darussalam dan Danny Septriadi bersama dengan Tax Expert, CEO Office DDTC Atika Ritmelina Marhani. Buku ini sangat penting sebagai bekal awal setiap orang yang ingin berkecimpung atau mendalami dunia pajak.

Adapun debat ini hanya bisa diikuti oleh warga negara Indonesia dan tidak berlaku untuk karyawan DDTC. Pemenang dipilih berdasarkan pada pengisian kolom komentar yang konstruktif, berdasarkan fakta, dan tidak mengandung unsur SARA.

Keputusan pemenang ditentukan oleh tim DDTCNews dan bersifat mutlak serta tidak dapat diganggu gugat. Penilaian akan diberikan atas komentar yang masuk sampai dengan Jumat, 29 November 2024 pukul 15.00 WIB. Pengumuman pemenang akan disampaikan pada Selasa, 3 Desember 2024. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

Pilih Setuju atau Tidak Setuju lalu tuliskan komentar Anda
Setuju
Tidak Setuju
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

Setuju
22
14.01%
Tidak Setuju
135
85.99%

DONNY DANARDONO

21 November 2024 | 10:06 WIB
Lho kok setuju dengan kenaikan tarif PPN menjadi 12%? Ya, tentunya ada alasan saya berpendapat demikian. PPN adalah salah satu jenis Pajak Tidak Langsung dan ditanggung oleh Konsumen Akhir. Jika ditinjau dari perspektif Ekonomi Makro, kenaikan tarif PPN akan meningkatkan penerimaan Negara yang - sesuai definisi Pajak - keuntungannya akan dinikmati secara merata oleh Rakyat Indonesia. Dengan kenaikan penerimaan Negara, maka Pemerintah akan memiliki dana tambahan untuk membayar subsidi, cicilan hutang, fasilitas pendidikan. Efek domino yang diharapkan tentunya mengurangi pengangguran, meningkatkan daya beli Masyarakat, dan berujung kepada kesejahteraan. Realistis saja bahwa saat ini Pemerintah membutuhkan dana segar. Jayalah Indonesiaku!

aditpm

21 November 2024 | 10:03 WIB
Tidak setuju. paradigma yg salah dari pemangku kebijakan. saat ingin menaikkan tarif pajak selalu referensi nya negara maju seperti eropa, jepang, china dsb. giliran soal kesejahteraan patokannya negara2 selevel sperti asia tenggara dsb. aneh. klo terus seperti ini image pajak akan selalu buruk di mata masyarakat. kreatif sedikit dong jadi pembuat kebijakan terkait pajak. contoh, WP yg bayar pajak harus bisa dipastikan menerima manfaat secara langsung seperti dapet uang tunai setiap ulang tahun WP tersebut atau sbgnya.

pt. tembakau djajasakti

21 November 2024 | 10:02 WIB
untuk saat ini kenaikan PPN menjadi 12% di rasa kurang tepat, mungkin pemerintah bisa melakukan penundaan untuk kenaikan tersebut sampai keadaan ekonomi agak membaik. untuk menjaga kesehatan APBN karena penundaan tersebut mungkin pemerintah bisa mengoptimalkan sektor pendapatan pajak lainnya atau mengadakan efesiensi pengeluaran.

Juwandi

21 November 2024 | 10:00 WIB
Sebagai warga yg punya sifat konsumtif tentu nilai ppn 12% termasuk tarif yg tinggi jd sbg konsumen tentu kita memilih tarif yg lebih murah Dari segi pemerintah tentu menjadi hal yg sangat berarti karna dapat meningkatkan penerimaan negara Kemudian krn amanat UU tentu kemenkeu tetap harus menjalankan karena sdh di atur dalam UU Semoga harapan2 pemerintah dg menaikkan tarif ppn ini dapt berbanding positif dg penerimaan negara Harapan lain tentu semoga PKP2 di indonesia tdk mengalamai penurunn penjualan krn tentu efeknya harga akan menjdi lebih tinggi

Amin Heri Sanjaya

21 November 2024 | 09:49 WIB
Pemerintah kurang tepat menaikan PPN 12 % per januari 2024 mengingat daya beli maysarakat menurun dan dengan kenaikan PPN 12% akan berakibat naiknya barang barang dan komoditas lainnya

Dedy Amirsyah

21 November 2024 | 09:48 WIB
Ketika PPN menjadi 12 persen akan membuat hampir semua barang dan jasa yang dikonsumsi menjadi lebih mahal. Akibatnya, masyarakat menengah ke bawah, yang memiliki porsi pendapatan terbesar untuk konsumsi kebutuhan pokok, akan merasakan dampaknya secara langsung. Hal ini juga berdampak ke golongan menengah.

Muhamad Soleh

21 November 2024 | 09:44 WIB
Saya sangat tidak setuju walaupun ada beberapa hal yg TDK dikenakan pajak, tp tau sendiri lah oknum oknum di Indonesia ini , sangat memanfaatkan momen kenaikan pajak ini

Tono

21 November 2024 | 09:44 WIB
Menurut saya tidak cocok atau tidak pas untuk diterapkan PPn 12% dalam kondisi ekonomi lagi susah serta APBN kurang sehat, serta membebankan para Pengusaha UMKM dan Rakyat. Seharusnya pemerintah harus mengambil langkah yang baik dan solusi terbaik bagi rakyat.

christian marbun

21 November 2024 | 09:42 WIB
situasi ekonomi lagi susah

Arky Ristiandicta

21 November 2024 | 09:41 WIB
Jelas tidak, kenapa ada rencana Tax Amnesty di saat PPN naik 12%? para pembayar pajak yang "terpaksa" patuh, yaitu para karyawan, tidak pernah dapat benefit, insentif, fasilitas, reward apapun, malah harus menanggung kenaikan target melalui PPN 12% sementara para pengusaha yang selama ini mungkin banyak yang ngemplang pajak miliaran bahkan triliunan, malah diberikan ampunan, dimana keadilan? coba cek berbagai jurnal internasional di mana Tax Amnesty di negara yang diteliti diterapkan, apakah ada efek meningkatkan Compliance? Nope, ga ngefek, yang ada para pembayar pajak patuh jadi antipati dan malas untuk comply, sementara para pengemplang malah berpikir "ngapain gw comply, tar juga ada tax amnesty lagi" kalau negara butuh pemasukan untuk nutup defisit anggaran, bukan dengan membebani kaum proletar dengan kenaikan 12%, karena PPN itu yang paling merasakan dampaknya adalah konsumen akhir
ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Selasa, 24 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra