Charoline Cheisviyanny
Padang
DALAM perpajakan dikenal dua jenis biaya, yaitu biaya kepatuhan (cost of compliance) dan biaya untuk mengumpulkan pajak (cost of collection). Cost of compliance muncul dari wajib pajak sedangkan cost of collection muncul dari sisi fiskus.
Cost of compliance dapat diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Biaya ini bisa berupa biaya untuk menyetor, melapor, menyimpan arsip pajak, serta biaya gaji staf pajak atau honor konsultan pajak (Cheisviyanny, 2012).
Biaya ini berkurang signifikan sejak Ditjen Pajak (DJP) menerapkan e-filling dan e-tax lainnya (Vania, 2018). Namun, setelah pelaporan, kadang wajib pajak masih harus mengeluarkan biaya lagi (post-compliance cost). Biaya ini berupa biaya membayar sanksi administrasi yang timbul karena keterlambatan pembayaran atau pelaporan.
Atau juga biaya menghadapi penyelesaian sengketa pajak jika wajib pajak memilih menggunakan haknya untuk mengajukan keberatan dan atau banding atau biaya untuk membayar jasa konsultan pajak. Biaya ini akan semakin besar jika wajib pajak tidak memiliki tax planning yang memadai.
Di sisi lain, fiskus juga membutuhkan biaya untuk memastikan wajib pajak menjalankan kewajiban pajaknya dengan benar, yaitu cost of collection. Biaya ini dapat berupa biaya terkait dengan account representative (AR), biaya pemeriksaan, biaya menyelesaikan sengketa pajak, dan lainnya.
Biaya ini juga harus dikendalikan dan dianalisis secara periodik agar benefitnya, yakni penerimaan pajak, lebih besar daripada cost yang dikeluarkan. Tidak dapat dimungkiri penetapan target untuk AR dan bagian pemeriksaan sedikit banyak memengaruhi gaya komunikasi mereka ke wajib pajak.
Wajib pajak merasa terintimidasi setiap kali ketemu AR dan pemeriksa. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengurangi kepercayaan wajib pajak ke fiskus, yang kemudian bisa mengurangi tingkat kepatuhan pajak.
Penelitian Pujian dan Kodirin (2019) menemukan pemeriksaan pajak berpengaruh negatif terhadap kepatuhan wajib pajak. Ada tiga hal utama yang dapat menurunkan kepercayaan wajib pajak, yaitu aturan pajak yang rumit, gaya komunikasi fiskus, dan sengketa pajak yang lama dan melelahkan.
Kemampuan komunikasi AR dan bagian pemeriksaan sepertinya perlu menjadi perhatian DJP. Pada dasarnya wajib pajak menyadari mereka memiliki kewajiban untuk membayar pajak. Mereka juga menyadari pajak merupakan sumber penerimaan terbesar bagi negara.
Namun. kemampuan komunikasi fiskus yang rendah cenderung menyebabkan wajib pajak menjadi enggan melaksanakan kewajiban pajaknya. Ditambah lagi dengan banyak pemberitaan tentang korupsi di berbagai instansi pemerintahan yang dapat mengurangi kepercayaan wajib pajak.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan komunikasi fiskus adalah pengetahuan perpajakan yang mereka miliki. Pada banyak kasus, AR tidak memahami bisnis klien sehingga tidak memahami juga aturan perpajakan yang terkait dengan bisnis itu.
Sebagai contoh, ada AR yang beranggapan jumlah kredit pajak dari pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 yang dilaporkan harus sama dengan jumlah penghasilan. Sementara PPh 22 bisa timbul dari transaksi penjualan dengan pemungut dan transaksi pembelian dengan produsen.
Contoh lain, ada AR yang menyarankan wajib pajak dokter melaporkan penghasilan praktik di bagian penghasilan lain-lain, padahal seharusnya penghasilan praktik dokter dikenakan norma penghitungan penghasilan neto 50%. Dalam hal ini wajib pajak dirugikan karena harus membayar pajak lebih besar.
Faktor lain yang memengaruhi kemampuan komunikasi adalah target penerimaan pajak yang dibebankan ke AR dan bagian pemeriksaan. Orientasi target ini menyebabkan AR dan pemeriksa pajak mengabaikan pendekatan komunikasi yang lebih manusiawi.
Walaupun hal ini tidak bisa digeneralisasi, tetapi beberapa kali pengalaman kami dengan fiskus memang tidak menyenangkan. Beberapa kali AR mengancam menaikkan kasus menjadi pemeriksaan karena AR merasa wajib pajak tidak memberikan keterangan yang benar atau masuk akal.
Padahal, wajib pajak sudah memberikan informasi yang benar. Kadang AR juga melakukan kunjungan mendadak ke wajib pajak bersama kepala seksinya dengan bahasa tubuh yang menimbulkan persepsi negatif ke wajib pajak.
Sengketa juga memicu masalah tersendiri bagi wajib pajak. Di satu sisi, mereka memperjuangkan hak, tetapi di sisi lain biaya penyelesaian sengketa tidak cocok dengan benefit yang diperoleh. Aturan yang rumit dan tidak jelas kerap menimbulkan interpretasi yang berbeda antara wajib pajak dan fiskus.
Empat Solusi
ADA paling tidak empat hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi cost of collection ini. Pertama, menyederhanakan aturan dan administrasi pajak. Penyederhanaan ini seperti pajak final usaha mikro, kecil, dan menengah yang cukup membantu wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.
Memperbanyak objek pajak final bisa menjadi salah satu cara juga untuk mengurangi sengketa pajak. Self-assessment juga harus dipertimbangkan, apa masih efektif meningkatkan penerimaan. Selama wajib pajak diberi kepercayaan menghitung, membayar, dan melapor, sengketa akan tetap ada.
Sistem official assessment dan withholding justru lebih efektif meningkatkan penerimaan pajak, karena tidak ada salah interpretasi aturan sehingga dapat mengurangi sengketa pajak secara signifikan. Kantor pajak bisa fokus pada upaya ekstensifikasi.
Kedua, meningkatkan kemampuan komunikasi AR dan pemeriksa pajak. Kemampuan komunikasi ini paling tidak bisa digali dari dua hal, yaitu cara berkomunikasi yang efektif dan pengetahuan pajak yang memadai.
Pegawai pajak harus menyadari tidak bisa menggunakan teknik komunikasi yang sama dalam menghadapi wajib pajak dengan latar pendidikan dan budaya berbeda. Pegawai pajak harus paham proses bisnis wajib pajak dan mempunyai pengetahuan pajak terkait dengan bisnis tersebut.
Ketiga, meningkatkan kualitas sosialisasi aturan perpajakan. Banyak artikel yang memperlihatkan wajib pajak merasa sosialisasi kantor pajak masih kurang, baik secara frekuensi maupun kualitas. Sosialisasi yang rutin hanyalah pelatihan penyusunan SPT Tahunan pada Januari sampai April.
Penelitian Esi dan Charoline (2019) serta Sri dan Charoline (2019) tentang PP No 23 Tahun 2018 menunjukkan masih banyak calon wajib pajak yang belum tergali potensi pajaknya, padahal mereka sebenarnya menyadari harus membayar pajak, hanya tidak mengetahui caranya.
Keempat, sistem IT perpajakan harus semakin kuat. Server tidak gampang down, apalagi bertepatan dengan deadline pelaporan SPT Tahunan. Aplikasi e-faktur juga harus diperkuat, ke depan faktur pajak masukan harusnya bisa diekspor langsung dari sistem.
Di lapangan ada transaksi yang ada faktur pajaknya tetapi wajib pajak tidak menerimanya, sehingga tidak terlaporkan. Semua bukti potong harusnya bisa diambil langsung dari sistem, tidak perlu menunggu diterima. Urusan bukti potong ini jadi tambah rumit jika bertransaksi dengan pemerintah.
Acapkali mintanya susah, setelah dapat baru ketahuan kalau kode map pajaknya salah atau nominal pajaknya tidak cocok dengan faktur pajak. Ujungnya, wajib pajak yang dirugikan. Penguatan IT harus diikuti dengan kemampuan AR yang mampu menjelaskan semua aplikasi pajak kepada wajib pajak.
Perlu komitmen kuat dari semua pihak agar solusi tersebut dapat mengurangi cost of compliance sekaligus mengurangi post-compliance cost dan bisa meningkatkan kepercayaan wajib pajak sehingga meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Artikel ini sangat bagus sekali, dimana menggambarkan situasional yang terjadi serta memberikan solusi membantu wajib pajak dalam pengendalian cost of compliance dan mengurangi cost of collection terhadap fiskus. Disisi lain artikel ini juga membahas mengenai gaya komunikasi AR dan Ilmu perpajakan AR sendiri yang mana hal ini kadang menjadi miskomunikasi antara AR dengan WP. Jika gaya komunikasi antara AR dan WP bagus , maka akan meningkatkan kenyamanan oleh wp itu sendiri dan akan meningkatkan kepatuhan dan penerimaan pajak.