Zaidan Ikhlasul Amal
,PANDEMI Covid-19 belum berakhir. Dampaknya terhadap perekonomian masih besar. Kinerja fiskal juga terkena imbasnya karena pemerintah berupaya untuk memberikan stimulus terhadap perekonomian.
Defisit anggaran mengalami peningkatan karena turunnya pendapatan, terutama pajak, di tengah besarnya kebutuhan belanja negara. Kondisi ini menuntut pemerintah untuk menggali sumber pajak yang tepat. Salah satunya adalah pajak berbasis kekayaan seperti pajak atas warisan.
Berdasarkan pada Pasal 4 ayat (3) UU Pajak Penghasilan (PPh), harta warisan bukan merupakan objek pajak. Terhadap harta warisan hanya memiliki kewajiban pelaporan.
Ketentuan yang berlaku pada saat ini tidak mencerminkan realitas kehidupan yang berkeadilan. Hal ini dikarenakan pajak atas warisan justru akan menjadi salah satu instrumen untuk mengurangi ketimpangan dan kemiskinan.
Adapun dalam situasi pandemi seperti saat ini, sangat dibutuhkan kepedulian sosial yang tinggi dari masyarakat kelas atas, khususnya yang menerima harta warisan. Dengan demikian, kebijakan saat ini yang mengecualikan harta warisan sebagai objek pajak perlu untuk disesuaikan.
Pajak warisan atau yang dikenal sebagai inheritance tax dan estate tax sejatinya telah diterapkan di berbagai negara. Berdasarkan pada data OECD pada 2021, terdapat 24 dari 37 negara OECD yang telah menerapkan pajak warisan.
Implementasi pajak warisan dapat dianalogikan seperti pajak hadiah atau pemberian karena memiliki berbagai kesamaan. Kebijakan ini juga dapat mewujudkan keadilan karena hadiah dan warisan merupakan suatu bentuk pemberian yang berpotensi meningkatkan pendapatan.
Namun, penerapan pajak warisan memperhatikan beberapa ketentuan seperti subjek, objek, tarif, serta keringanan dan pengecualian. Tidak hanya itu, mekanisme penghitungan, pelaporan, proses administrasi, dan pengawasan perlu disusun dengat tepat dan akurat.
Pada umumnya, subjek pajak warisan ialah pihak yang memperoleh manfaat atas harta warisan. Objek pajaknya dapat berupa barang bergerak maupun tidak bergerak yang diklasifikasikan sebagai pendapatan atas perhitungan nilai pasar berdasarkan pada nilai minimum yang telah ditentukan.
Atas dasar keadilan, tarif pajak secara progresif perlu diterapkan. Namun, pada tahap awal, tarif tunggal (flat rate) lebih mudah untuk disosialisasikan. Terlebih, untuk mengakomodasi eksistensi pajak warisan, aspek administrasi yang tidak menimbulkan kerumitan juga perlu diperhatikan.
Administrasi tersebut perlu disesuaikan. Administrasi perlu dirancang secara matang dengan menonjolkan sisi kesederhanaan dan kemudahan agar wajib pajak terdorong untuk membayar pajak warisan.
Selain itu, mengenai keringanan pajak warisan, otoritas dapat menentukannya berdasarkan pada hubungan tertentu dengan pemberi warisan. Bisa juga warisan yang ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan dan kepentingan publik mendapat pengecualian.
SELAIN mencermati desain kebijakan yang tepat untuk diimplementasikan, pemerintah perlu juga mengawasi potensi terjadinya pemajakan berganda (double taxation) dengan mempertimbangkan secara unilateral melalui metode kredit (credit method). Khususnya dalam hal ketika penerima warisan, pemberi warisan, dan/atau harta warisan berada di lebih dari 1 yurisdiksi.
Dengan metode yang diatur pada Pasal 24 UU PPh ini, negara sumber (source state) memiliki hak pemajakan utama. Sementara itu, negara domisili melakukan eliminasi dengan skema pengkreditan pajak.
Adapun metode ini didasarkan pada prinsip keadilan (equality) terhadap pajak terutang atas seluruh penghasilan, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri. Dengan demikian, permasalahan pajak berganda dapat diatasi.
Selain itu, diperlukan juga penegasan peraturan secara komprehensif disertai akuntabilitas, transparansi, dan komitmen yang kuat dari semua pihak. Hal ini penting untuk mengantisipasi adanya perilaku penghindaran pajak warisan.
Pajak warisan dapat menjadi salah satu kebijakan untuk meningkatkan penerimaan pajak dari wajib pajak orang pribadi. Apalagi, penerimaan PPh orang pribadi pada 2020 hanya tumbuh 3,22%. Besaran ini jauh di bawah kinerja pada tahun lalu yang tumbuh hingga 19,06%.
Salah satu indikator penerimaan pajak warisan di beberapa negara ialah proporsionalnya terhadap produk domestik bruto (PDB). PDB Indonesia pada kuartal I/2021 mencapai Rp3.969,1 triliun dan berada di posisi ke-16 negara-negara G20. Dengan demikian, potensi penerimaan pajak warisan cukup besar.
Kehadiran UU 9/2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan dapat mengidentifikasi potensi serta kepatuhan pajak atas warisan. Lalu, era digitalisasi dan transaparansi perpajakan yang makin berkembang pun turut mendukung penguatan perencanaan pajak warisan.
Dengan demikian, pajak warisan siap untuk diimplementasikan dengan harapan dapat mengatasi ketimpangan serta akumulasi kekayaan. Lebih dari itu, pajak warisan juga diharapkan dapat membantu pemulihan ekonomi.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
kereen🔥
👏🤩
Indonesia perlu menerapkan pajak warisan guna meningkatkan pendapatan, seperti negara lain yang sudah menerapkan.